NavBar

Friday, May 15, 2015

Poem: Missing Teaching

Now i'm missing the time
saying Good morning, How are U and everything
Asking about something interesting
even sometimes it could be so boring

Here i'm understanding
how much i love teaching
while sharing makes heart beating
It's because i'm understanding
The way u're feeling and thinking

I always talk to the mirror all day long
Trying to get a new path
How to be the one...
who makes the beautiful world

Wednesday, May 13, 2015

Terima kasih Tuhan, Terima Kasih BRI

Eitsss...!! jangan nyinyir, jangan nyengir dulu.
Begini ceritanya...
Judul diambil dari kejadian ane hari ini persis. Tentang Tuhan, ane yakin betul bahwa setiap kejadian adalah ujian. Sedangkan, setiap ujian yang diterima tidaklah lebih dari yang mampu kita pangku (kata pak Ustadz ane dulu-era 90an).
Tentang BRI - Bank Rakyat Indonesia, karena memang TKP nya disitu. ehehe...

Tuesday, May 12, 2015

Puisi Jalanan : Sandiwara Mereka



Malam...
Tubuhku menggigil, dinginnya menggerogot tulangku
Aku semakin merengkuh, tapi sepertinya percuma
Di sana, manusia-manusia kaya tetap saja bersuka cita
Dengarlah! Jangkrik saja sepertinya tertawa
Mungkin melihat diriku yang berbeda....

Siang..
Berharap, hujan selalu menyambutku gembira
Aku benci dengan terik, yang selalu menjerat leherku
Pada hujan, setidaknya mampu membuatku berbicara
Menyapihku, seperti pertama kalinya menatap dunia
Tapi, sepertinya ia enggan bercerita
Pada ragaku yang semakin terkikis udara....

Begitulah siang dan malamku..
Takkan pernah seperti mereka, yang selalu tertawa
Sesekali bersandiwara, saat melihatku datang membawa duka
Hingga sampai di penghujung nyanyian parauku,
Aku tak pernah menyadari peranku di setiap sandiwara
Yang kutahu, peranku akan selalu sama, seperti sebelumnya, selamanya...

Puisi Jalanan: Tuhan, Kutahu, Aku Berbeda

Aku bukanlah seorang bocah seperti mereka,
Berlarian kecil, sambil tertawa mengudara,
Berlompatan riang, lalu mengepakkan lengannya ceria,
Aku? Tak ada waktu dengannya...

Entahlah, aku adalah aku, bukan mereka,
Meski berukuran sama, tapi aku tak seperti mereka,
Aku menantang terik yang melepuhkan kulit,
Jalanan yang menguap hendak memangsa telapak kaki,
Aku berlari, berlompatan, tapi... meringis kesakitan!

Manusia sekarang menatapku, lalu mengutuk,
Pada tubuhku yang terbungkus kain lagi tak berbentuk,
Lalu mereka sibuk mengais kata, ‘busuk!’
Telingaku mendadak lumpuh layu,
Tapi, hati ini cepat-cepat berkata: memang begitu kenyataannya..
Oh, Tuhan... sepertinya aku lupa satu hal,
Jika Engkau menciptakanku berbeda..

Bulan Sipit

Semua manusia pasti setuju, jika pagi sangat pantas digambarkan dengan suasana yang sejuk. Bola-bola kecil nan putih dan bening tampak bersahaja bertengger di atas dedaunan, kemudian meluncur mengetuk tanah-basah. Belum lagi kicauan burung. Wah, sungguh sedap bila di dengar. Apalagi nih, kalau sambil menyeruput secangkir kopi, terus membaca koran pagi di teras rumah. Wuih! adesoy sekali pastinya. Tapi, entahlah manusia macam mana yang tega merusak itu semua. Pagi yang seharusnya hening, menjadi gaduh tak beraturan. Dentuman suara sepatu beramai-ramai menghujam bumi. Udara yang bening, tampak berkabut debu.

Titik Terakhir - Guruku



Memasuki jam ketiga, Satrio, dengan cepat menghapus seluruh coretan yang bersarang di atas papan hitam. Coretan yang tak begitu indah, namun syarat makna. Sesekali kuperhatikan, mulutnya komat-kamit tiap mulai meleburkan ukiran debu putih dihadapannya itu. Bahkan tak jarang, ia sengaja menghentikan diri, lalu melongok ke coretan sebelahnya. Tak lama, ia manggut-manggut seolah-olah ada yang mengajaknya bicara. Lalu ia segera menghapus coretan kapur di hadapannya kembali.
Bukan hanya Satrio, yang saat itu memang petugas piket. Tapi, hampir semua teman sekelas melakukannya dengan cara yang sama. Mereka pikir, terlalu sayang, jika coretan yang dibuat oleh Ibu Kiki terbang mengabu begitu saja.  Hingga satu hal yang sering aku perhatikan, yakni sebuah titik yang tertinggal. Sebuah titik yang selayaknya menjadi saksi akhir dari permainan bersama kimia.
***
Masih tersimpan dengan rapi semua memori mengesankan bersama beliau. Terutama pada jam pertama dan kedua di hari selasa. Mendengar nama kimia saja, rasanya menjadi hari yang sangat menyeramkan. Bayangkan saja, suasana pagi yang segar, sudah dicekoki dengan materi yang begitu sangar. Di mata teman-teman juga, mungkin sosok Ibu Kiki menjadi momok yang sangat menakutkan. Guru yang berjasa dibalik pelajaran kimia itu bahkan tak jarang meletupkan suaranya hingga membuat keadaaan kelas menjadi tenang seketika. Ya, tenang dalam ketegangan.
Pagi itu, tak seorangpun yang berani datang terlambat, meski sedetik. Anehnya, ini hanya terjadi pada pelajaran kimia. Jelas, lontaran pedas yang diucapkan Ibu Kiki tak seorangpun yang mau menerimanya.
“Kenapa kamu telat?”, tanya beliau dengan penuh letupan. “Kamu mau jadi apa?”, lanjutnya lagi. Biasanya, siapapun yang menerima pertanyaan dari Ibu Kiki, hanya berbicara sedikit, “Maaf bu..”, tentunya dengan nada yang meliuk gemetar.
“Sudah. Besok, kalau pas pelajaran saya datang terlambat lagi, kamu mending keluar. Tidak usah ikut ulangan juga, apalagi tanpa alasan yang tidak jelas!”, ucap beliau lagi menjejal. “Kamu ini bisa mengganggu yang lainnya, tau tidak??”
Seperti sebuah tradisi, mereka yang mendapati ini, langsung menunduk pasrah, lalu hati berkobar berorasi untuk merubah diri. Terbukti nyata, hampir setiap pelajaran kimia menjadi jam yang pertama, siapapun yang pernah dicap sebagai anak siang, berangkat lebih awal, entah dengan kondisi mata yang masih tampak sayu, ataupun rambut yang tak begitu rapi tersisir. Di lain hari, diluar pelajaran kimia, entahlah. Kebiasaan si anak siang kembali seperti semula.
Antara kegarangan dan ketegasan memang tidak dapat kami bedakan terhadap sosok Ibu Kiki. Justru antara hidup dan matipun, sepertinya kami enggan membedakannya, meski hanya menyebutkan satu saja. Bagi kami, pelajaran kimia adalah hal yang paling terpenting. Meski harus berkali-kali memutar otak, hingga tiba-tiba memanas begitu saja lalu merontokkan benih-benih keceriaan di pagi hari.
Tubuhnya yang tinggi semampai berdiri di depan kami. Sambil menyebarkan pandang, ia melempar senyum ramah pada murid yang dididiknya-kami.
“Selamat pagi..”, sapanya.
Seperti biasa pula, sapaannya berbalas lusuh, “Pagi bu..”, kami kompak.
Sebuah intermezo pun dilemparkan beliau untuk kami. Beliau bercanda, memuji beberapa muridnya, kemudian disusul dengan gelak tawanya. Sedangkan kami, harus sedikit meringis mengirit energi akan leluconnya. Setelah sedikit intermezo, beliau lalu membuka buku materi yang akan disampaikan. Tak lama, beliau lalu mencermatinya sambil duduk di atas kursinya.
“Fandi tolong bacakan halaman tiga puluh dua...”, perintahnya sambil membenarkan posisi kacamatanya yang melorot.
Fandi, temanku, tentu dengan segera membuka halaman yang dimaksud. Kemudian dengan lantangnya ia membaca, meski dengan suara yang meliuk-liuk bak kaset pita yang molor. Sedangkan gerakan matanya tampak setia mengikuti gerakan jari telunjuknya yang berjalan mengikuti tiap susunan kata yang berderet menjadi sebuah kalimat, kemudian paragraf. Selesai.
“Fandi, coba sekarang tutup bukunya, terus terangkan lagi apa yang dimaksud dengan Ion, Molekul, dan senyawa yang barusan kamu baca.”, berondol Ibu Kiki melabrak otak Fandi. Tak elak, tantangan yang didapatnya membuat badannya setengah kaku. Lalu sembari menutup bukunya, ia menerawang ke langit-langit mencoba mengingat. Hal ini menjadi agenda rutin yang kami dapatkan secara bergulir. Ada yang grogi setengah nyawa, ada juga yang enteng menjawab dengan ringan, karena sebuah persiapan yang sudah dilakukan. Pada setiap pertanyaan yang terlontar, hampir seluruh muridnya terperanjat hebat. Dan tanpa komando pun, kami langsung berkomat-kamit menghafal jawaban yang mungkin akan dilontarkan ke lain pihak. Dahsyat!
Sebuah guratan yang dihidangkan oleh Ibu Kiki sangat kontras dengan mimik kami yang memerah padam. Senyum beliau terlihat menyebar melihat gelagat dan ekspresi yang kami tuangkan.
“Baguss.. pinter....”, pujinya pada siapa-siapa yang mampu menjawab pertanyaannya. Lega.
Tak lama setelah itu, beliau bangkit dari tempat duduknya, kemudian pada sebuah papan tulis ia mulai menggerakkan kapur putih mengukir angka. Tulisannya terbilang singkat, padat, ringan dan jelas. Demikian dengan setiap penjelasan yang dilontarkannya, selalu menjurus pada hal yang sebenarnya sulit, namun dibuatnya lebih mudah. Kami, dengan seksama memperhatikan dengan jeli setiap goresan yang terangkai jelas di depan mata. Lemparan pertanyaan selalu beliau berikan untuk kami yang kepergok tidak memperhatikannya. Sepanjang penjelasannya pula, kami dilarang menyentuh sebujur pena. Jika satu saja melanggar, tentu, akan semakin banyak lontaran pertanyaan yang menyerbu kepala.
Pada penjelasan terakhirnya, tak pernah terlewatkan pula saat beliau memberikan waktu pada kami untuk bertanya. Di sini, sedikit sekali yang memiliki nyali. Hingga akhirnya, kembali beliau menunjuk beberapa dari kami untuk maju ke depan kelas, kemudian mengerjakan soal yang akan beliau berikan. Seperti biasa, keadaan menjadi kalang kabut.
Tak butuh waktu yang singkat memang, untuk memahami dalam pelajaran kimia khususnya. Tetapi seperti sudah terancang dengan rapi, Ibu Kiki menunjuk satu dari kami untuk bisa menjelaskan ataupun memaparkan kembali apa yang telah beliau jelaskan kepada murid-muridnya. Tentu dengan bahasa yang lebih halus, penuh rasa persahabatan. Hal tersebut tentunya tidak diberikan secara Cuma-Cuma. Guru kita yang berkacamata ini juga selalu memberikan sedikit ceklist pada nama muridnya yang berani tampil ke depan kelas. Seperti uji nyali, banyak dari kami yang mau mau ragu. Tetapi tak sedikit pula yang berani menjelaskan materi secara terperinci, meski dengan segerompolan peluh di dahinya, ataupun jemari yang bergetar, serta suara yang tersendat-sendat.
Bel pergantian pelajaran berdering, beliau tidak pernah absen untuk memberikan tugas kepada kami, kemudian perintahnya untuk membaca materi berikutnya.
***
Dari dalam ruang kelas, beberapa dari kami terlihat panik sambil menulis apa yang dihadapan kami. Ya, terkadang kami tidak menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Bisa dikatakan kemampuan kami terbatas. Tapi bagaimanapun itu, ditengah gurun pasir yang tandus selalu ada oase yang mencegah dehidrasi, membasahi tenggorokan. Pasti dua atau tiga orang dari kami selalu menjadi harapan yang selalu menyala sepanjang waktu.
“Eehhh.. ada ibu Kiki!”, bisik siapa saja yang melihat kepala menyembul naik turun dari balik jendela kaca kelas. Jelas sekali, itu bu Kiki! Dari bentuk kepalanya yang terbungkus kain halus saja sudah kentara. Apalagi... suara celetukan sepatunya yang semakin mendekat. Buru-buru kami kembali ke tempat masing-masing, lalu berharap-harap cemas. Ada yang terlihat sumringah sudah pasti, mengingat tugas yang sukses tergarap dengan sempurna.
Seperti biasa, Ibu Kiki berbicara sambil menyebar senyum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tugas. Beliau meminta kami untuk maju dan membahas setiap tugas satu-persatu. Siapapun yang maju, sudah pasti memasang wajah yang berbinar-binar, karena sudah selesai mengerjakannya. Tapiii.... tunggu!
“Kalian kalau maju tidak usah membawa buku tugas. Cukup ditulis diketahui, kemudian dijawab, dan terangkan pada yang lain!”, terangnya menyentak sanubari.
Dunia serasa hendak runtuh. Mereka yang terlanjur menempel pada papan hitam mendadak kaku. Wajah yang berbinar? Mendadak mengkerut.
Hampir saben tugas, kami tidak bisa menyelesaikan satu dua pertanyaan. Lalu dengan semangatnya beliau mengukir tiap lambang senyawa kimia dengan beberapa angka. Ukirannya sangat jelas. Tebal, bahkan lebih tebal dari ukuran biasanya dan terlihat lebih besar. Sedangkan kedua bola matanya terlihat jeli menatap puluhan pasang mata di depannya. Hingga kemudian ukirannya berakhir dengan suara ketukan keras. Dan setelah kulihat, itu tanda titik.
***
Ulangan harian. Layaknya sebuah kereta, kami mengerjakannya dengan penuh keyakinan. Betapa tidak? Ingatan itu... ya, paling tidak membekas di dalam otak. Beberapa soal yang diajukan pun tak jauh beda dari yang beliau paparkan. Semuanya terekam secara sempurna, meski terkadang harus menggigit ujung pulpen untuk mengoreknya, ataupun dengan menggaruk rambut, agar semua ingatan terbuka sempurna, kami bisa melakukan itu semua.
Hingga pada hasil akhir yang menentukan. “Ini dia, yang ibu inginkan!”, katanya sambil bedecak kagum pada hasil yang kami peroleh. Meski tak secara keseluruhan. Titik terakhirnya, menyentak, hingga membekas sampai pada ingatan yang takkan pernah berbekas, dan selalu ada tentangnya.
***
Beberapa bulan kemudian, Senin, diatas sebuah podium Kepala Sekolah Negeri 3 Slawi berdiri dengan penuh senyu semangat. Kedua tangannya tampak kuat membentang sebuah stopmap berwarna merah jambu. Kumisnya yang tebal terlihat mulai mendekat pada sebuah mikrofon.
“Anak-anakku yang saya banggakan. Bapak di sini ingin memberikan ucapan selamat kepada putra-putri sekolah kita yang tercinta, yang telah memenangkan perlombaan atau olimpiade yang diadakan satu minggu yang lalu. Bagaimanapun, kita harus berbangga pada mereka yang sudah mengharumkan nama sekolah kita.”, tukas pak Susono menggema. “Juara Tiga Olimpiade Matematika oleh Dwi Agus... Juara Tiga Olimpiade Komputer oleh Opik...”, demikian ak Susono beruntun membacakan. Lautan remaja berbaju putih abu-abu tampak antusias mendengarkan. Dan semakin antusias, ketika yang ditungu-tunggu itu datang... “Juara pertama Olimpiade kimia, diraih oleh Dayat..”
Tepukan meriah menyusul dengan cepat. Semakin meriah tepukannya, hingga mengantarkan langkah sahabat berprestasi kami, terkhusus Dayat hingga sampai di hadapan pak Susono. Pada deretan para pahlawan di depan kami, terlihat senyum yang mengembang dari seorang Ibu Kiki. Kacamatanya berkerlip memantulkan cahaya yang berpendar, entah dari mana. Bahagia!
 “Beliau telah membimbing saya dengan penuh kesabaran dan semangat. Beliau juga mengajari saya bagaimana caranya menjadi siswa yang unggul. Kerap kali saya melakukan kesalahan, beliau menegur saya, tapi dengan cara yang berbeda. Yang kutahu, itu cambuk, cambuk agar saya percaya, semuanya bisa. Dan ini semua terjadi.... Terima Kasih Ibu Kiki..”, kata Dayat berseloroh.
Antara ketegasan dan kegarangan adalah dua hal yang berbeda. Tapi kebanyakan insan menganggapnya sama saja. Padahal jika diruntut, sebuah ketegasan selalu berdasarkan pada alasan dan tujuan yang kuat yang bisa memberikan suatu hasil yang lebih baik, bahkan memuaskan. Sedangkan kegarangan hanyalah subuah emosi yang meletup-letup yang tidak anda kemanfaatannya sama sekali. Dan pada akhirnya, kami mengerti. Titik.

Lukisan Ronsok

Aku berjalan menyusuri lorong perkampungan mewah. Sungguh terlampau mewah jika dibandingkan dengan rumahku yang hanya berdinding kayu, pun tak begitu rapat berjajar. Di siang hari, semburat matahari selalu menerobos masuk melalui celah-celah genting lalu membentuk banyak garis putih panjang menyilaukan-bagai pedang yang baru diasah-tajam. Saat malam datang,  lampu minyak harus bekerja ekstra mengedarkan cahayanya ke setiap sudut ruangan, tapi tak begitu berdaya  memberikan kehangatan untuk kami walau sekali. Dan satu lagi! tikus menyukai rumah kami.
“Kak!!  ini banyak botol..”, teriak seorang gadis menghentikan langkahku. Segera aku berbalik arah. Kulihat, gadis yang memanggilku sedang memasukkan kepalanya ke dalam sebuah tong besar. Tanpa berpikir ulang, aku langsung meletakkan karung yang kupanggul di tanah begitu saja. Kemudian berjalan cepat mendekati Citra sambil memperhatikan sekeliling.
“Dede, kakak sudah bilang, mulai sekarang dede tidak perlu mencari rongsok!”, kataku sedikit meletup.

Monday, May 11, 2015

Cara Mengatasi Blog Error

Buat kamu yang tiba-tiba website/ blognya nongol tulisan begini:

Error. Page cannot be displayed. Please contact your service provider for more details.

Ane kasih tahu permasalahannya, tetapi sebelum itu, kamu harus melakukan prosedur atau kata ane- SOP (Standar Operasional Procedure) gimana disaat-saat yang genting dan gegana yang terjadi dengan perasaan yang sedih, panik dan campur aduk juga harus dinetralisir. Nah, pertama yang harus kamu lakuin adalah tarik nafas. Yap, tarik napas kabarnya bisa bikin nenangin mood. Selain itu, dengan tarik napas juga akan membuat kamu sedikit tenang sehingga permasalahan yang sedang kamu hadapi bakal tersolusikan. Insya Allah

Kedua, ikuti prosedur dengan kata -why. kenapa? kenapa bisa error?

Jujur saja, baru nih. ane syok pas liat blog ane tiba-tiba eror begitu. Tetapi dengan tarik napas yaa kepala ane jadi dingin. Langsung dah ane cari solusi di berbagai situs.

Pertama, ane lupa situsnya (payah) disana dituliskan... eror terjadi karena pada template blog kamu ada yang dirubah komposisinya. dengan kata lain sudah tidak virgin-eh, bukan template aslinya lagi. Sebagai contoh mungil ibarat kamu beli kaos, terus dimodifikasi lagi sampe menjadi celana. itu berarti sudah mengubah substansi dan bentuk dari produk asal. Itu yang bikin error. caranya?

kamu lari ke blog template - klik Edit HTML - pilih Revert widget to default. pilih mana yang menurut kamu bermasalah. 

penyelesaian ini, menurut ane kurang berhasil. karena jujur, ane juga bingung.

kedua, ane dapet lagi situs. Disana ane dianterin ke sebuah situs google, dimana berisi link-link upgrade windows, blaaa...blaa...blaaa... yang ane sendiri kagak ngerti (#plakkk!!). Belum menyerah, ane lari lagi ke blog lain.

ketiga nih, terakhir. Di sana tertulis cara jitunya, yaitu dengan menghapus konten aplikasi yang asal kita comot, trus dipasang di blog kita. Disana juga dikatakan bahwa kebusukan terjadi karena pembuat aplikasi yang nakal dan ingin iseng ama blog kita. yaaa gitu kata dianya. ane sih percaya aja. Tips dari dia sudah ane jalanin. tapi ane juga gak nemuin yang dimaksud si -empunya. Alhasil, ane hapus aplikasi 'clock'... ane view blog ane lagi... hasilna? tetep eror! faggggzzzz!!!

 Sebagai manusia yang sedikit pandai menganalisis, ane kemudian perhatikan dengan jeli tuh website yang bikin erorr... "www.searching ........//freeblog...com" Nah looh!!! ada free blog gitu?

ting!

ane coba buka tampilan blog ane lagi, ternyata yang ane lihat ajaib! yap! di sana ada aplikasi yang nongol tulisan freeblog (hasil comotan) teaa..... langsung saja, ane lari ke template, trus ane hapus tuh.....

tak lama ane save changes, lalu view blog.....

hampir 10 menit an, gak terjadi perubahan tampilan menjadi error!

ane seneng, sumringah, merasa berhasil. Selanjutnya, tugas ane kudu nge-share nih pengalaman. :)

kalo masih bingung dengan cara ane, bisa search sendiri di google. ane juga kadang bingung cara nulisinnya :D

Cerita Pendek Anak "Mandiri, yuk!"

Hai teman-teman. Perkenalkan, namaku Priska. Di sini, aku akan menceritakan pengalamanku yang sangat memalukan. Begini ceritanya,
Ketika aku duduk di kelas dua SD, teman-temanku selalu bilang kalau aku anak yang sangat manja. Mulai dari memakai baju, menyisir rambut, hingga memakai sepatu pun semuanya mama yang melakukan. Bahkan, ketika berangkat sekolah, meski jaraknya dekat, aku tidak mau berjalan. Bagaimana menurutmu? apa aku ini anak yang manja? tentunya tidak, hehehe. Eh, setiap hari aku meminta mama membantuku melakukan itu semua loh, meskipun mama pernah menyuruhku untuk melakukan itu sendiri, tapi aku ngambek tidak mau berangkat. Akhirnya, mama menuruti keinginanku hingga aku menjelang kelas tiga. Tahu tidak? aku tidak melakukan sendiri karena bagiku itu terlalu sulit. Alasan itu biasanya terlontar untuk mama sih, tapi mama setuju-setuju saja tuh, hehe..
Nah, menginjak kelas tiga SD, aku mempunyai teman yang bernama Bela. Antara usia dan tinggi badan tidak berbeda jauh denganku sih, apa lagi kecantikanku. Kata mama, aku yang lebih cantik sedikit dari Bela loh, hehe. Eh, tau tidak? setiap sore Bela berkeliling menjual gorengan ibunya loh. Pertama sih aku sungkan membeli gorengannya, tetapi setelah mama mencoba dan membelinya, aku mencobanya juga, dan akhirnya aku menjadi ketagihan. Habis rasanya enak sih. Nah, sejak saat itu, aku berteman dengannya.
Waktu terus berjalan. Aku semakin menyadari, berteman dengannya bukanlah hal yang mudah. Tetangga selalu membeda-bedakan antara aku dengan Bela. Ugh, sialnya, aku selalu dibilang anak manja. Tak hanya itu, Bela yang sudah mengetahui kebiasaanku, menjadi sok tahu, jika aku harus melakukan semuanya sendiri. Seperti yang saya sebutkan diatas. Beberapa hari kemudian, aku merasa bosan dengan nasihat dari Bela. Mentang-mentang ia sudah bisa melakukannya sendiri, kataku dalam hati saat itu.
Esok harinya, menjelang berangkat sekolah, aku tak menemukan seragamku di atas kasur. Tidak seperti biasa yang dilakukan mama. Ah, sepertinya mama menyuruhku untuk melakukannya sendiri. Tidak mau!, kataku dalam hati. Lalu dengan penuh amarah, aku segera menuju kamar mama. Aku marah sekali sama mama. Tapi.. ternyata mama masih tidur, tidak seperti biasanya. Lalu aku memanggil mama dan membangunkannya. Aku kaget bukan kepalang ketika tanganku merasakan aliran panas dari badan mama!. Akupun panik setengah mati. Aku tak bisa melakukan apapun. Saat itu terlintas dalam pikiranku untuk meminta bantuan Bela, tetapi aku malu. Aku sudah membencinya, tidak mungkin aku harus meminta tolong padanya. Tak lama kemudian mama terbangun dan memintaku untuk mengambilkan segelas air putih.
“Mama lagi tidak enak badan,”, kata mama lirih.
Karena sedang sakit, aku terpaksa melakukannya sendiri. Mulai dari memakai seragam, menyisir rambut, hingga mengikat tali sepatu. Karena takut terlambat, aku melakukannya terburu-buru, tanpa memikirkan apapun. Yah, meskipun sebenarnya baru pertama kali melakukannya sendiri sih. Sambil berlari sekuat tenaga, aku berangkat sekolah. Dan tak lama kemudian aku sampai pada pintu kelas. Oopss... ternyata aku terlambat!. Di sana, bu Dina sedang mengabsen anak-anak.
“Selamat pagi bu,”, kataku setengah malu sambil masuk ke kelas.
Entah aku tak mendengar balasan dari bu Dina, yang kudengar saat itu adalah suara gemuruh dari teman-teman. Yah, mereka terlihat puas mentertawakanku. Bahkan, beberapa dari mereka sampai meremas perut mereka. Aku benar-benar tak berdaya saat itu. Selanjutnya, kulihat bu Dina sedikit merasa kesal dengan keterlambatanku. Tetapi dari senyumnya sudah kubaca, jika ia memaafkanku.
“Silahkan duduk,”, kata Bu Dina kemudian. Tetapi, mendadak kakiku terasa kaku, saat beberapa dari teman-teman meneriakiku begini:
“Wah, rambutnya model sapu ijuk tuh?”. Lalu disusul dengan teriakan lainnya. Mendengar teriakan mereka, aku lalu meraba rambutku sendiri, dan ternyata mereka benar. Aku tak menyisir rambut dengan sempurna. Aku maluuuu sekaliiii. Lalu dengan segera aku menundukkan kepala. Di bawah, kulihat tali sepatu kiriku terlepas, dan yang lainnya masih mengikat meski tak terlihat rapi. Dari sana, kemudian aku menelusuri tiap bagian seragamku. Di sana, kutemukan bajuku yang tak masuk sempurna ke dalam rok bawahku. Aku benar-benar malu. Saat itu pula, air mataku benar-benar tak bisa terbendungkan lagi.
“Priska, kenapa?”, tanya bu Dina pura-pura tidak tahu.
“A..anu bu,”, aku menjawab agak gugup sambil memperhatikan penampilanku sendiri.
Bu Dina tersenyum, lalu ia menyuruhku untuk merapikannya.
Apahh?, seruku dalam hati terkejut. Penampilanku berantakan, itu karena aku melakukannya sendiri. Terus?? bagaimana caraku memperbaikinya? pikirku saat itu. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama setelah itu, seseorang mendekatiku. Ia segera meraih rambutku, lalu menyisirnya. Aku hanya pasrah melihatnya merapikan bajuku, lalu mengikat dengan rapi dan kuat tali sepatuku. Aku benar-benar berhutang budi padanya. Terima kasih Bela...
Bajuku kembali rapi. Bela, temanku yang kubenci, justru menolongku. Dengan cekatan ia melakukan hal yang tidak bisa aku lakukan. Akhirnya, sepulang sekolah aku meminta maaf dan berterima kasih padanya. Lalu Bela mengatakan bahwa ia membantuku karena ia mengetahui jika aku belum bisa melakukannya sendiri.
“Memangnya mama kamu ke mana?”, tanya Bela penasaran.
Aku menceritakan semua, bahwa ibu tidak mungkin memakaikan baju untukku, menyisirkan rambutku lagi, hingga mengikatkan tali sepatuku, karena dia sedang sakit. Mendengar ceritaku, Bela menawarkan diri untuk membantuku merawat ibu, termasuk mengajariku bagaimana caranya melakukan pekerjaan rumah sendiri. Hal itu sangatlah mudah bagi Bela, karena ia sudah terbiasa melakukan itu di rumahnya.
Beberapa hari berlalu, aku sudah bisa melakukannya sendiri berkat pertolongan Bela. Kata Bela, kita harus menjadi anak yang mandiri. Tidak selalu bergantung pada orang lain, apalagi hanya memakai baju, menyisir rambut, dan mengikat sepatu. Oh iya, saat itu juga, mama sembuh dari sakitnya. Alhamdulillah. Aku senang sekali, sama seperti mama yang senang melihatku sudah mandiri.


oleh Tarmudi
Cerpen Anak - Mandiri Yuk!