gue
menjalankan instruksinya. kali ini gue gak bisa berbuat apapun. gue hanya bisa
mengotori buku dengan coretan angka yang tak berujung. soal perkalian faktor
yang harusnya diberikan di kelas enam harus terpaksa gue kunyah. hingga
akhirnya gue benar-benar berhenti mengukir, semua angka sudah gue jamahi, tiga
langkah percobaan sudah gue lucuti.
“coba lagi!”, teriak mbak Erna kalut.
gue
mengangguk menyerah. sepertinya sia-sia saja gue mengerjakannya. gue hanya bisa
memegang bolpoin dan menancapkannya di atas buku yang kurasa tak membantu gue.
“gak bisa,”, ucap gue lirih sambil menunduk.
“sini!”,
ujar mbak Erna sambil meraih merebut bolpoin yang di genggaman gue. gue
tahu, perasaannya kalut saat itu, mengajari gue, seorang Tarmudi Bahari yang
tergolong berotak tumpul (pada saat itu). “nih,”, ucapnya lagi lebih dekat.
kali ini, orang yang di depan gue, berpindah tempat tepat disamping gue, tanpa
jarak. tangannya menarik kencang buku gue, kemudian dengan tegas dia mengukir
di atas buku gue dengan bolpoin yang masih di genggamannya. “gini loh! gini!”,
ucapnya selalu sambil mencoret-coret hingga gue saksikan dia menyisakan lubang
di atas buku gue. hati gue menjerit. “paham?!!”
gue
mengangguk penuh misteri. air mata mulai bergelayut.
“nih, kerjain nomer enam! harus bisa!! kamu tuh bentar lagi
kelas enam, harus bisa!”
6.
35=3 x 7 FPB= 2x3x5x7 =
210
40=23 x 5 KPK= 23x3x5x7
= 840
selesai.
kali ini tanpa hambatan gue mengerjakannya, meski cukup lama untuk
menyelesaikannya. bukan karena benar-benar belum bisa, tetapi kali ini gue
sengaja memperlambat otak untuk bekerja, agar waktu belajar gue terkikis oleh
waktu, nah. gue harap malam segera larut. keringat dingin sudah jelas mengucur
bersiap mendengarkan komentar sadis mbak Erna.
“sudah...”,
ucapku ragu, sambil menyodorkan buku.
“mana?”,
ucapnya setelah berhenti dari mengikis kukunya. matanya terlihat jeli
mengoreksi tiap sudut angka. dengan pengikis kukunya, dia menunjuk setiap angka
yang terukir. “ya..”, komentarnya pelan lalu sedikit mengangguk.
kruyukk..kruyuk... perut gue menjerit kelaparan.
mbak
Erna beralih menatap gue dengan membabi buta. “apa itu?”
gue
menggeleng pelan, lalu berkata, “eng..enggak”
“yap!
benar!”, teriaknya kemudian tanpa menghiraukan jawaban gue barusan.
gue
membuang menarik nafas lega. akhirnya gue bisa...
“sekarang
lanjutkan nomer tujuh, sampai.....”, ujarnya memotong harapan gue. gerakan
tangannya membuka buku membuat gue merasa terpasung. “sampai dua puluh”
gubrakkkkk!!! alamakkkkkk!!! tiga belas soal?? boro-boro! satu soal saja gue... lama banget!
gak
ada komentar sedikitpun yang patut gue lemparkan. percuma saja, hasilnya pasti
sama. “bentar lagi kelas enam! kelas
enam! kelas enam!”. Sembari megukir yang membutuhkan waktu lama, gue
meremas perut yang bermain musik gendang riuh. mbak Erna yang melanjutkan diri
mengikis kukunya seolah-olah tak mendengarnya. sesekali dia memang menatapku,
dan bertanya bukan mengenai perut gue, tetapi.. ”sudah belom??!”. soal nomer tujuh sudah gue takhlukkan. berikutnya
menginjak nomor delapan. soalnya gue rasa bertambah rumit. tetapi kali ini gue
harus cepet selesai. perutku baby, bentar
lagi papah selesai.. sabar yah, gue dalam hati.
“belajarnya
belum selesai yah?”, seseorang berucap dari arah dapur. disusul dengan aroma
sayur ketupat yang tak asing lagi di kepala hidung gue.
gue
mencuri perhatian pada ukiran di depan gue, dan dengan cemas gue melengos ke
arah suara. tepat seperti yang gue bilang. emak datang dari dapur dengan dua
piring penuh berisi ketupat sayur yang masih menyembulkan asap. saat itu, emak
bagaikan pahlawan gue, yang menyelamatkan masa-masa penjajahan dari mbak Erna.
“eh,
mak, hati-hati..”, ucap mbak Erna setelah melihat emak. gue langsung beralih
kembali menatap buku.
“udah,
makan dulu saja..”, ujar Emak sambil menaruh dua piring ketupat di atas meja.
gue menggeleng dalam ketakutan. sedangkan mbak Erna masih menatap gue tajam.
“udah, gak papa...”, lanjut Emak kemudian menata buku yang sedang gue kerjakan.
sepertinya dia tahu apa yang sedang terjadi.
“udah,
makan dulu saja..”, susul mbak Erna sedikit ramah.
prosesi
makan bersama dimulai. hap..hap..hap..
kali ini berasa semuanya tergantikan. emak memang jago memasak.
“eh,
Ri, habis makan kamu cuci muka, terus tidur,”, papar mbak Erna.
gue
menyeringai mendengar perkataanya. masih penasaran akan kebenarannya. “tapi kan
belum selesai..”
‘udah,
buat besok lagi,”
mendadak
selera makan menghilang. besok??! perang dunia keempat!. gue mengangguk kaku
kemudian.
“Ri,
tambah lagi gih,”, emak berujar.
“iya..”,
jawab gue dengan senang hati.
“wuhhh...
giliran tambah makan saja senengnya sampai bikin mulut belepotan. kalau suruh
tambah soal saja tadi, malah nangis....”, ejek mbak Erna menatap gue.
“tapi
Er, buat kamu gak ada lebihnya. kali ini mengalah sama adikmu yah, kalau saja
daun di pekarangan cukup, emak bisa bikin lebih,”
“daun
di pekarangan emangnya kenapa mak??”
“sepertinya
ada orang yang Cuma mengambil pelepahnya saja. daunnya dibiarkan berserakan di
tanah, sampai layu dan gak bisa kepakai lagi,”
pelepah??!!?!
“mak,
Bahri...”, ucap gue memenggal pembicaraan mereka. gue bermaksud menjelaskan
yang sebenarnya. tatapan dua orang gadis itu begitu serius. “bahri mau ke
belakang,”, gue melanjutkan menaggalkan niat. wah, bisa-bisa telinga gue bisa hancur nih kalau gue ngaku!
hingga
sampai malam larut, gue masih berpikir pelepah itu masih menjadi misteri buat
emak. dan buat gue, menyembunyikannya adalah keputusan yang terbaik.
#phuss...phusss
No comments:
Post a Comment