Semua manusia pasti setuju, jika pagi sangat pantas
digambarkan dengan suasana yang sejuk. Bola-bola kecil nan putih dan bening
tampak bersahaja bertengger di atas dedaunan, kemudian meluncur mengetuk
tanah-basah. Belum lagi kicauan burung. Wah, sungguh sedap bila di dengar. Apalagi
nih, kalau sambil menyeruput secangkir kopi, terus membaca koran pagi di teras
rumah. Wuih! adesoy sekali pastinya. Tapi, entahlah manusia macam mana yang
tega merusak itu semua. Pagi yang seharusnya hening, menjadi gaduh tak
beraturan. Dentuman suara sepatu beramai-ramai menghujam bumi. Udara yang
bening, tampak berkabut debu.
"Paakkk.... tunggu sebentar!!"
Demikianlah mereka berteriak kompak sambil berlari
tergopoh-gopoh. Persis seperti sudah menahan kencing berjam-jam lamanya. Pak
Ahmad, satpam di SMA 3 itu terpaksa menghentikan tarikannya pada pintu gerbang
besi. Lalu sembari mengintip ke arah arlojinya, ia mulai sedikit-sedikit
menggeser pintu gerbang itu kembali. Semakin waktu mendekati pukul tujuh,
semakin cepat pula cericit gerbang berbunyi.
07.00. Dua bibir gerbang sudah saling mengecup. Segera
pak Ahmad meneruskan tugasnya di pos jaga, tempatnya memantau. Kemudian sambil sesekali
menyeruput segelas teh hangat yang dipesan dari kantin sekolah, ia membolak-balikkan
lembaran kertas berita terkini dengan santainya. Sedangkan di luar gerbang,
tampak seorang laki-laki dengan sepedanya meluncur kencang. Sepatunya terlihat
menginjak pedal dengan kuatnya. Hingga kemudian ia berhenti tepat di depan
gerbang sekolah. Debu-debu berterbangan menyambutnya.
"Paak!!", teriaknya. Tak seorangpun
mendengarnya. "Paaakkk!!!", teriaknya lagi.
Mendengar teriakan laki-laki itu, pak Ahmad hanya
mengintip sebentar melalui korannya, kemudian kembali lagi ia membacanya.
"Anak itu lagi... selalu!", gumam pak Ahmad.
Tidak menyerah, laki-laki yang berambut urakan, dengan
baju OSIS yang dibiarkan berjuntai itu lantas mengambil sebongkah batu. Tak
lama, dipukulkannya batu itu pada pintu gerbang. tengg!!..tengg!! tengg!! , tiga kali ia memukulkannya keras. Karena
jengah, dan merasa terganggu, akhirnya
pak Ahmad bangkit dari duduknya, kemudian dengan memasang wajah yang
garang, ia mendatangi laki-laki yang masih berada di balik pintu gerbang
tersebut.
"Jonnnnn...jon! kamu lagi... .kamu lagi,
selalu!", ucapnya ketus.
Joni, demikian laki-laki itu hanya meringis nyinyir.
"Ah, bapak ini bisa saja...", katanya," Bukain gerbangnya dong
pak,", pintanya.
Pak Ahmad tak lantas membukakan pintu gerbang. Bahkan,
ia lalu memajukan kedua bola matanya agar efek garangnya nampak. "Enak
saja! emang ini sekolah nenek moyangmu?!"
"Yaah... bapak. Masak nggak kasihan sama saya
sih? kan ini hari pertama saya di kelas
tiga?"
"Terus, apa urusannya? kamu ini nggak kelas satu,
kelas dua, kerjaannya telatttt melulu,", celoteh pak Ahmad, "Ini lagi
sekarang kelas tiga. Mau jadi apa kamu??"
Tanpa ada rasa bersalah, Joni terus berusaha merayu
pak Ahmad, "Yaah.. begini pak, ini kan hari pertama saya masuk kelas tiga.
Nah, saya pengin duduk paling depan pak, biar pinter gituu.. masak nggak boleh
sih pak?. Saya mau jadi pinter dikiitttt aja,” Joni menunjukkan ujung kukunya
di bagian 'dikiitt'nya. “Ini sekolah, kalau saya mendadak pinter nih pak ya,
wuihhh!! pak Ahmad yang bakal saya sebut pertama ucapin terima kasih deh!. Seneng
kan?". Katanya lagi sambil menepuk dada.
Mendengar perkataan Joni, pak Ahmad lalu memutar bola matanya.
Otaknya beringas berpikiran naas. Hatinya apalagi, mendadak bisa terbang!. Tak
lama setelah itu, tanpa berpikir ulang pak Ahmad membuka pintu gerbang. Begitu
gerbang dibuka, Joni, tanpa permisi, tanpa berucap terima kasih, dengan sepedanya ngacir menuju tempat parkir.
Sesampainya, sepeda bergiginya itu dilempar begitu saja tanpa ampun. Lalu,
segera ia melangkahkan kaki lebar-lebar menuju ruang kelas 3D. "Sial! apes
banget gue, dapet jatah di kelas 3D. Sudah kelas paling kumuh, jauh dari
kantin...ehhh deket sama toilet!",gusarnya dalam hati. "Ini sekolah
aturannya memang ribet! pake acara pisah sana pisah sini, pindah sana pindah
sini. Lama-lama kepala gue pecah gonta-ganti kelas,".
Hanya beberapa menit saja, ia sudah berdiri di depan
ruang kelas 3D. Tak keburu masuk, matanya justru mengintip dari balik jendela
kaca, sambil sesekali memasukkan bajunya yang menjulur. Selagi mengintip, ia
melihat sosok bayangan wajahnya sendiri di permukaan kaca jendela. Langsung, ia
mengusap rambutnya yang terlihat lusuh. Terlebih menurutnya, agar kelihatan
lebih klimis, lidahnya diusapkannya ke telapak tangannya. "Kerennn..",
katanya sambil menanjakkan rambut diatas jidatnya. Sudah tertata rapi, ia
kembali mengintip kembali. Di dalam, terlihat teman-temannya satu persatu
memperkenalkan diri. Sedangkan di meja guru, dilihatnya sosok bu Andri, guru
bahasa Inggris Joni sewaktu kelas dua dulu. Joni, yang kemudian merasa sudah
cukup keren plus tanpa guratan sesal di dahinya, ia mulai berjinjit
melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam kelas. Tapi ketika baru sampai di bibir
pintu, seseorang mendehem sampai menghentikan langkahnya sesaat. Tak perduli,
ia mencoba meneruskan langkahnya kembali.
"Jonnii... kesini!", perintah bu Andri yang
memergokinya dengan lantang.
Berhenti lagi, lalu ia memutar arah sambil nyengir
kuda. "Maaf, ada apa ya bu??”
"Jam berapa ini?", tanya bu Andri, diikuti
dengan teriakan anak-anak seisi ruangan.
"Jam tuuuu...juh bu,",jawabnya sambil
mendekat.
"Kurang atau lebih?"
"Kurang lebih segitu buu..."
Huuuuuu....!!
"Eh, bu, ini pelajaran bahasa Inggis ya?",
tanya Joni berusaha mengalihkan perhatian."Wah bu.. Joni seneng banget
kalau yang ngajar bahasa Inggris itu bu Andri. Wuihh.. may paporit ticer
gitu..."
"Ibu tidak mengajar kalian. Ibu hanya ditujuk untuk menjadi wali kelas
kalian,"
Dalam hati, Joni sebenarnya berteriak
"merdekaa!!!", karena pada kenyataanya guru yang ada dihadapannya itu
sungguhlah ter-la-lu!
"Kamu bisa kembali,", ujar bu Andri, “Dan
besok jangan sampai diulangi lagi!”
Joni manggut-manggut mengiyakan sambil meninggalkan bu
Andri. "Eh, tunggu.", sergah bu Andri. Joni segera membalikkan
badannya lagi. "Ibu kelupaan satu hal. Bahwa, ibu dipindah tugas untuk
menjadi guru sejarah kalian juga,"
"Mampuss!!", kata hati joni. “Hallo
pemerintah, kok bisa sih??”. Masih saja Joni terheran-heran. Sementara itu sambil menuju bangkunya,
beberapa gadis tampak antusias saling bercubitan greget menyaksikan tampangnya
yang keren abis. Beberapa juga ada yang cuma melongo pasrah. Murid yang cowo?
Tepok jidat!.
Hanya dalam beberapa detik, Joni berdiri di depan
mereka. Bukan dalam rangka tebar pesona memang, justru ia memasang wajah yang
kosong. Seluruh bangku sudah terisi penuh. Melihat gelagat Joni, banyak gadis
yang rela saling dorong untuk sekedar mengorbankan tempat teman sebangku mereka.
Tapi... tunggu! Mata Joni menyelidik ke bangku paling depan. Ya, tepat di
depannya berdiri. Ditatapnya sesosok anak dengan wajah yang tertutup buku
“Sejarah untuk kelas XII semester ganjil”. Tak menunggu lama, ia langsung
mendekat, berharap bisa sebangku. Semakin mendekat, semakin dia bergejolak,
“Bulan?? Aihhh... kok?!”
“Joni..., silahkan duduk di sebelah Bulan. Itu hanya
tempat satu-satunya,”, bu Andri berseloroh kencang.
Tanpa berpikir ulang, Joni langsung duduk di sebelah
Bulan. “Cewek ini.. ya ampunn!! Cewek yang dikenal pelit seantero sekolah.
Lihat aja, dia sendirian kan? Itu bukti kalau tak ada satu anakpun yang mau
duduk sama dia! Bujug dah, apes banget gue!”, Joni membatin. Wajahnya mendadak
menciut. Tapi bagaimanapun, ia tidak ingin menghilangkan aura kejantanannya. Selanjutnya,
Joni mengangkat pantatnya sedikit, kemudian kursinya digeserkannya pelan. Ini
salah satu triknya dalam membuka obrolan. Tapi sayang, Cewek yang bermata sipit
di sampingnya masih menyibukkan diri dengan bukunya.
“Uhuk!”, Joni mencoba dengan trik keduanya, "Hai,
bulaann....", sapanya lembut.
Bulan melengos sebentar. "Eee... iya, hai,",
jawabnya diimbuhi dengan senyum simpulnya, lalu membaca buku lagi.
Entah kenapa, Joni merasakan ada hembusan yang berbeda
dari bibir Bulan. Persis, seperti di iklan permen gitu. Secepat kilat, ia langsung mengusapkan
jambulnya ke belakang. Pikirnya, agar terlihat lebih ketjeh. Lalu, segera ia
menjulurkan tangannya, "Nama saya Joni Iskandar, kamu Bulan, kan?"
Seperti sebelumnya, Bulan melengos ke arah Joni ringan.
“Iya. Bulan,”, jawabnya sedikit ketus tanpa menyambut uluran tangan Joni.
Kembali ia membaca bukunya.
Merasa tidak diperlakukan manusiawi, Joni langsung
meliukkan tangannya kembali ke arah jambulnya. Sebut saja pengembalian harga
diri. "Cantik sih cantik. Kulit kayak kunyit. Mata sipit. Tapi sayang,
pelit,", gerutu Joni pelan.
Mendengar, Bulan langsung menutup bukunya. Lalu
menghadap ke Joni sambil berusaha menonjolkan
dua bola matanya, kelopaknya dipaksakan melebar agar telihat bulat penuh,
"Kamu bilang apa tadi?”.
Joni gelagapan nggak menyangka jika Bulan mendengar
ucapannya. "Hehe... Bulan ternyata denger yaa..."
Merasa membuang waktu, Si Bulan kembali membuka bukunya.
Tapi sayang, kali ini pikirannya bersarang sebal sesebal-sebalnya. Ia kemudian
menggeser kursinya menjauh. Buku yang ia baca sengaja dibacanya lebih dekat.
Sesekali digunakannya untuk menutupi celah pandang Joni. Sedangkan bibirnya
terlihat komat-kamit tak jelas persis seperti ikan mas terdampar ke daratan.
Melihat pongkah Bulan yang sepertinya cuek, Joni tak
lagi memikirkannya. Kemudian sambil mengetuk-ngetuk mejanya pelan, ia menatap
papan tulis di depannya. Bayangannya menerawang jauh ke masa esok. "Gila!
gue sudah kelas tiga. Bentar lagi ujian, terus lulus, terus kuliah... eh,
tunggu! lulus?? boro-boro, nilai gue kan ancur bangettt. Tapiii....", Joni
tak meneruskan kata hatinya, hanya saja melirik tajam ke arah Bulan.
"Untung ada dia! hehehe..", katanya membatin.
Bulan masih menyibukkan diri dengan bukunya. Sedangkan
si Joni pikirannya terlihat kosong harap-harap cemas. “Dia kan pelit??!! Lupa
gue!”
"Baiklah anak-anak,", seru bu Andri sambil
bangkit dari tempat duduknya. Semua tampak antusias mendengarkan. Joni yang
semula terlihat kikuk, sedikit melebarkan matanya. Si Bulan? gadis itu segera
meletakkan garis pembatas pada buku yang dibacanya. Kemudian ditutupnya buku
itu.
"Kalian sudah saling mengenal??"
"Belumm buu...";"Sudahhh bu..",
beberapa anak menjawab berbenturan.
"Ya sudah. Ibu anggap belum saling mengenal. Nah,
tugas kalian adalah mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya minimal tentang
teman sebangku kalian,"
Setelah mendengar tugas dari bu Andri, Joni kemudian
melengos ke arah Bulan. Seperti Joni, Bulan pun demikian. Oopss!! Mereka saling tatap. Beradu pandang. Mendadak Joni
merasakan ada yang berdesir di hatinya. Lama menatap Bulan, sedang Bulan hanya
sekilas saja menatapnya.
Bukkkkk!!! sebuah buku
tebal mendarat di kepala Joni, rupanya Bulan geram dengan polahnya.
"Aduuh!!", Joni meringis kesakitan. Tangannya
mengusap-usap kepalanya persis pada tempat buku tebal bulan mendarat. "Elo
tega ya lan... ".
Entah, apa yang dirasakan Bulan, seketika saja ia
melemparkan senyum tipisnya. "Itu cuma percobaan. Kenapa? Mau lagi Lo?!",
gertaknya sambil mengangkat bukunya lagi.
"Eiitts... iya....iya... ampun nek,",ucap
Joni cepat sambil memasang kuda-kuda tangkisan di atas kepalanya.
"Eh, nek?? maksud lo??", Bulan mencoba
mengangkat bukunya lagi.
"Engg...eenggak.. siapa bilang..", kilah
Joni.
Tak lama, Bulan menyodorkan paksa buku tulisnya di
depan Joni. "Sekarang, nih. tulis biodata elo di sini!", perintahnya.
Joni tertawa nyinyir. Jarinya ditunjukkannya ke arah
bulan, "Idihh,, ngepens sama gue ya??", ledeknya. "Tapi ogah ah,
bisa gila gue kalo punya pens kayak elo,"
Bulan meringis garang. Hidung, alis, dan dahinya
dikerutkannya ke atas. "Elo nggak denger yang dibilangin bu Andri
apa?"
"Emang apaan?", jawab Joni santai.
"Nulis biodata!,"
"Apa tadi?? nggak denger gue,", balas Joni
lagi sambil meletakkan tangannya dikuping.
Mulai sebal, dengan cepat Bulan menarik telinga Joni.
"Nulis biodata eloooo.. paham??!"
"Adaaaaaaawww....", Joni mengaduh kesakitan.
"Wuih!! gila nih ya, kayak nenek sihir lo!",ucapnya lagi sambil
meringis kesakitan.
"Eheem.. kalian berdua sepertinya sudah saling
kenal ya? akrab bener..", ucap bu Andri yang tiba-tiba sudah berdiri di
depan bangku mereka. Tanpa diundang loh.
Joni dan Bulan segera memasang wajah innocent.
"Belumm bu...", kata Bulan.
"Sudahhh bu...", susul Joni cepat.
Mereka beradu pandang kembali. Mata sipit bulan
terlihat melebar. Sedangkan kakinya dengan cepat menginjak kaki Joni. Kode!.
"Iiyy...iya bu, kita belum kenal kokkk....",
Jawab Joni sambil menahan sakit. Bulan? tersenyum ceria sambil mengangguk
mengiyakan jawaban Joni.
"Ya sudah, lanjutkan..",ujar bu Andri lagi
sambil meninggalkan ruangan kelas.
***
Siang yang menyengat, ditambah udara yang tak
bersahabat, membuat sebagian orang, remaja termasuk Bulan terlihat tak begitu bersemangat.
Apalagi dengan tubuh yang bau keringat.
"Maaf ya dek, kakak kali ini nggak bisa jemput. Ada
acara. tutt...tutt...tutt...". Bulan terlihat menatap hapenya kesal.
Mungkin lebih tepatnya ditujukan untuk Bintang, kakaknya yang baru saja
mengabarkan. Tak sempat memohon lagi, ucapan Bulan hanya dibalas dengan suara
tombol putus.
“Baiklah..”, ucapnya pasrah. “Hmmm.... pulang dengan
dua kali naik angkot, atau.. sekali kemudian disambung dengan naik ojek?. Jelas
keduanya bukan pilihan yang menarik.”. Seperti sudah menemukan jawaban, segera ia
melambaikan tangannya pada angkot yang melintas di depannya. Angkot berhenti,
lalu ia masuk dan duduk berdesakan sebentar kemudian---"Kiri Om,", ucapnya
lantang. Kemudian sesudah turun, ia menyodorkan koin 500.
"Kok cuma 500 neng?", si sopir protes.
"Pan deket bang, cuma berapa meter doang,"
"Tau deket jalan kaki dong, nggak usah naik
angkot,", si supir naik pitam. Alhasil, dalam hitungan detik angkot yang
ditumpangi Bulan langsung ngacir.
Bulan hanya memasang mimik kesal. Kesal kuadrat! Matanya
bertambah semakin sipit. Kali ini dia kelelahan. Tanpa berpikir ulang, segera
ia melangkahkan kaki menuju ke gerobak minuman di dekatnya. “Ibu, es gula asem
satu ya..”, katanya memesan, kemudian memilih tempat duduk yang adem
menurutnya.
Seruputan pertama, berhasil membuat moodnya sedikit membaik. Seruputan
kedua,"Hei Bulannnnn...".
"Iya!", jawabnya sedikit meletup. Mendadak
ia merasa ada sesuatu yang menendang tenggorokannya. Ia berdahak. Beberapa
bulir air tampak lolos dari katupan telapak tangannya. Uhukk..uhukk... Mata sipitnya segera berpendar, dilihatnya beberapa
pasang mata sedang menghujaninya dengan pandangan aneh. Ia hanya melempar
senyum. Kemudian kembali ia mengaduk minuman dengan sedotannya, sedangkan
pikirannya terbuka menyambut kedatangan Joni yang tiba-tiba mampir kedalam lamunannya begitu saja.
Joni. Laki-laki super ganteng menurut versinya sendiri
nggak bakalan dilekang oleh waktu. Laki-laki yang super aneh plus kebangetan
joroknya itu nggak ada duanya. Meski terkadang membuat nafsu makan Bulan
hilang, entahlah.. apa yang otak Bulan pikirkan di sana tentang Joni. Terpaksa,
sengaja ia membuka memori yang sudah ia lewati bersama Joni di rumahnya.
***
Satu semester lewat dua bulan. Hampir semua guru
dipuncak kekhawatiran. Terkhusus bagi bu Andri, keningnya kian mengkerut kala
melihat nilai akademik Joni yang semakin terjun bebas. Pikirnya, harus
menyelamatkan anak di kelas yang sudah menjadi tanggungjawabnya. Tanpa berpikir
panjang lagi, bu Andri menyuruh salah satu muridnya untuk memanggilkan Bulan.
Pikirnya, mungkin bisa saja Bulan mampu membantu Joni. Bulan, si cewek kutu
buku ini, segera menghadap bu Andri, tentu dengan wajah keheranan.
"Ibu memanggil saya? Ada apa bu?”, tanya Bulan
sesaat setelah tiba di meja kantor bu Andri. Bibir Bu Andri segera menyambut,
lalu mulai menjelaskan sampai pada akhirnya memintanya untuk tidak menolak
keputusan menjadi "mentor" bagi Joni.
Bulan hanya manggut-manggut menyiyakan. Tetapi,
malamnya dia menangis sendu. Sudah satu semester lebih, cowok yang duduk
dengannya tidak pernah menunjukkan etika baik padanya. Setiap ulangan selalu
saja mengkopi miliknya. Setiap tugas kelompok, hanya dia yang mengerjakan.
Joni? Molor!. Tapi, mungkin penjelasan dari bu Andri mengubah pemikirannya.
Hingga keesokan paginya ia membujuk Joni untuk belajar bersama dengannya.
***
Ada-ada saja tingkah Joni. Disaat Bulan menerangkan,
ia justru asyik mengetuk-ngetuk pulpennya ke meja. Saat ditanya, "Mengerti?”;“paham?;”do you understand?". Joni mengangguk
pelan sambil tersenyum. Giliran Bulan memintanya mengulang apa yang telah
dijelaskan, disini puncaknya. Joni terdiam cukup lama. Terlihat seperti
berpikir (atau mungkin berpura-pura). Dan sesekali disambi dengan kebiasaan
joroknya yang tak pernah hilang: Memasukkan jari telunjuk dan kelingking secara
bergantian kelubang hidung sambil cengengesan.
Pernah suatu ketika, mata sipit Bulan menangkap
bongkahan kecil melayang lalu mendarat di buku kesayangannya. "Iiih.. itu
apa?", kata Bulan sambil meringis jijik. Jari telunjuknya tertuju pada titik
koordinat dimana bongkahan itu mendarat. Bulan lalu berlari menjauh, meninggalkan
Joni sendirian diruang tamu. Sedangkan ia sendiri hanya menggaruk kepalanya sambil
memicikkan mata menilik benda yang tanpa
sengaja terlontar dari hidungnya.
"Ah, dasar cewek aneh. Sudah jelas begini, masih
nanya itu apa?", ucap Joni sambil mencolek ‘benda’ miliknya. Selang
beberapa menit kemudian, ia mengemasi bukunya. Tanpa menunggu Bulan, dia
berpamitan dengan si empunya rumah. "Tante - Joni pulang duluan,”, pamitnya
sambil merogoh isi tasnya. “Eh iya tan, Joni nitip ini buat bulan ya,",
katanya lagi sambil menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna hijau. Sedangkan
dari balik celah tirai, terlihat dua pasang mata sipit tengah menyelidik.
***
KOTAK - Bulan tersadar dari lamunan. Bibirnya terlihat
masih menjepit sedotan yang menancap ke sebuah gelas yang telah kosong. KOTAK.
Pikirannya beradu kembali. Segera dilepaskannya sedotan, lalu cekatan tangannya
meraih benda itu dari dalam tas. Sedetik sebelum membuka, hape di saku rok nya tiba-tiba
bergetar.
Joni memanggil...
Tut.
"Woy... lo dimana? niat gag sih jadi mentor gue?", Semprot Joni dari
seberang sana.
Entahlah, Bulan malah tersenyum simpul, "Jemput
gue di sekolah," ujarnya.
Tut. Joni
segera mengontel sepedanya kencang. Pikirannya menerawang jauh. Sesekali ia
menarik nafas panjang, lalu dihembuskannya pelan. Bahkan dadanya pun
dipegangnya. Ada yang berdegup mesra di sana.
***
“Sudah
selesai..”. Joni menutup bukunya. “Ayok, makan di luar, kan sudah janji....”,
katanya lagi sambil meregangkan tangannya.
“Tapi..traktir
ya??”, balas Bulan sambil meringis. Tak lama, dilihatnya jempol dan jari
telunjuk joni melingkar membentuk huruf ‘O’.
Di
sebuah kafe beratapkan langit-dekat rumah Bulan-mereka tengah asyik tertawa.
Taburan bintang terlihat kompak menemani rembulan. Eh, tunggu! Sang rembulan
berbentuk sabit! Mungkin saja seorang putri tengah bertenggreng di cekungannya.
“Ini tepat!”. Hati Joni bergemuruh. Ia menghentikan tawanya yang mengudara. Bulan?
Ia terlihat kikuk melihat cowok yang ada di depannya itu mendadak terdiam. Joni
lalu menarik nafasnya dalam. Jemarinya mulai genit merangkak sedikit-sedikit
mendekati tangan Bulan. “Bulan.. Di bawah hamparan bintang, dengan bulan sabit
di sana, aku mau berbicara......”, Joni tak berani meneruskan ucapannya. Sedangkan
mata sipit bulan diam-diam mengamati pergerakan jemari Joni. Segera ia menarik
tangannya menjauh. Joni tercenung. Bibirnya kelu, hatinya beku mengerti isyarat
yang diberikan Bulan, tepat di bawah Bulan sabit. “Matamu sipit...”, lanjut
Joni sambil ngakak. Bulan apalagi. Plong..
Oleh Kolaborasi Tarmudi & Kienand
No comments:
Post a Comment