“Pokoknya
ibu harus belikan Rio sepatu baru. Titik!”, pinta Rio paksa.
“Rio, sabar ya, nanti
kalau sawah pak Ali panen, pasti ibu belikan,”, bujuk bu Marni pada Rio.
Lalu, sambil bangkit
dari kursinya, anak bu Marni yang masih duduk di kelas 3 itu berkata lagi, “Rio
gak mau sekolah kalau ibu tidak
belikan Rio sepatu baru!”.
Begitulah permintaan
Rio pada bu Marni akhir-akhir ini. Ia pun hanya bisa mengelus dada setiap
menghadapi anak bungsunya itu. Penghasilannya yang tak menentu memaksanya hidup
dalam serba kekurangan.Sebagai pekerjaan rutin, bu Marni biasa menggarap dan
menanam tanaman padi di sawah pak Ali, tetangganya. Sambil menunggu masa panen
tiba, terkadang wanita separuh baya itu merangkap pekerjaan menjadi buruh cuci.
Keadaan saat itu memang menjadi keadaan tersulit yang ia lewati bersama kedua
anaknya, sepeninggal suaminya, ayah Rio karena sakit keras. Selain itu, dari
beberapa pekerjaan suaminya semasa hidup, hanya ada satu yang bisa ia gantikan,
yaitu bertani. Selebihnya, seperti menjadi sopir angkot, dan karyawan bengkel
tidak bisa ia lakukan karena membutuhkan keahlian yang khusus dan sangat berat
untuk wanita separuh baya seperti dia.
Saat ini, ia hanya bisa
mengharapkan hasil panen untuk bisa memenuhi keinginan Rio, pikirnya.
“Rio...”, ucap bu Marni
memanggil Rio yang sudah berlari terisak-isak ke luar kamar. Kemudian dengan segera
ia menyusul anak bungsunya itu. Namun, sesampai di bibir pintu, bu Marni
menjumpai seorang laki-laki yang masih berseragam sekolah merah-putih lengkap
dengan atributnya. Tubuh anak laki-laki itu sekitar sepuluh sentimeter lebih
tinggi dari anak bungsunya, Rio. Wajahnya hampir tak bisa dibedakan dengan Rio.
Dilihatnya, anak laki-laki itu tersenyum, dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Ibu..”, sapa anak laki-laki itu sambil
menjabat tangan bu Marni lalu menciumnya.
“Galang, sudah pulang?”, tanya bu Marni sambil
mengusap rambut anak sulungnya tersebut.
“Di sekolah ada rapat,
jadi Galang pulang lebih awal.”, balasnya sambil melepas jabatan. kemudian ia
segera menunduk menyembunyikan lelehan air matanya.
Tak sengaja, tetetan
air matanya jatuh diatas telapak kaki ibunya. “Galang, kenapa? kok menangis?”,
tanya bu Marni yang sudah mensejajarkan diri dengan Galang.
Galang mengusap segera
air matanya. Lalu ia mengangkat kepalanya segera sambil melemparkan senyum,”Tidak
apa-apa bu. Ini mungin kelilipan,”, sanggahnya.
“Oh, kelilipan...”,
balas bu Marni mengembalikan senyum. “Ya sudah, Galang ganti baju dulu, terus
jangan lupa makan siang.”
Galang mengangguk
pelan. Kemudian bu Marni mulai meninggalkannya. Perasaannya berbeda. Dia
merasakan anak pertamanya itu sedang dirundung kesedihan. Dengan sekuat apapun
galang menyembunyikannya, bu Marni tetap akan merasakannya. Sambil berjalan
menghampiri Rio yang entah ke mana, sesekali bu Marni mencuri pandang pada
Galang yang tengah tertunduk menatap sepatunya.
*****
Di dalam kamar, diatas kasur
yang sempit, laki-laki yang duduk di kelas 6 itu mulai memainkan jemarinya
diatas selembaran kertas. Sorotan matanya mengikuti setiap susunan angka yang
ia tunjuk. Mulutnya berkomat-kamit membaca jeli catatan tabungannya.
“Tinggal sedikit
lagi..”, katanya sambil tersenyum. Kemudian segera beralih melepas sepatunya. Sepatu
yang sudah menjadi bagian dari hidupnya kini telah berlubang. Wajar saja,
sepatu yang dibelikan oleh ayahnya tiga tahun silam itu tidak bisa menopang ukuran
telapak kakinya yang semakin bertambah panjang. Tak jarang, ia harus melipatkan
jari kakinya untuk bisa tepat masuk di tiap ruang sepatunya. Mata Galang
benar-benar jeli memandang setiap bagian sepatunya. “Terima kasih..”, ujarnya
pelan pada sepatunya. Ia teringat saat beberapa minggu yang lalu, sepulang
sekolah, ia melihat harga sepatu di toko MURAH. Dari sisi model yang sederhana
dan ukuran yang pas buatnya, ia berniat akan membeli sepatu itu. Baginya, harga
sepatu itu paling murah, meski baginya jumlah itu masih berharga mahal. Tetapi
sepertinya keinginan Galang untuk membeli sepatu baru sangat kuat. Apalagi
menjelang SMP nanti, telapak kakinya pasti semakin bertambah panjang dan besar,
pikirnya. Hal tersebut membuatnya selalu menyisihkan uang saku. Karena minta
sama ibu tidaklah mungkin, pikirnya lagi. Bahkan, ia tak bisa secara rutin mendapatkan
uang saku. Itu saja kalau bu Marni dapat dari jatah mencuci. Jika uang saku tak
mencukupi, Galang selalu mengalah dan lebih rela diberikan untuk adiknya, Rio. Karena
bagaimapun juga Rio adalah anak kecil yang belum mengerti betul akan kehidupan
yang mereka jalani.
******
Seminggu sudah Galang
membantu ibunya sebagai buruh cuci. Sudah seminggu pula Rio, adik Galang tak
mau berangkat ke sekolah. Sudah berulang kali bujukan diberikan, tetapi masih
saja si bungsu tetap dengan pendiriannya itu. Meskipun begitu, Galang tidak
membiarkan adiknya menjadi anak yang bodoh. Oleh karena itu, setiap malam ia
selalu menemani Rio untuk belajar di rumah dan meski dengan bujukan akan
dibelikan sepatu.
“Nak, kamu istirahat
dulu. Biar ibu yang menyelesaikan,”, ujar bu Marni sambil memeras cucian.
“Galang belum capek bu.
Nanti saja, kalau cuciannya sudah selesai.”, balas Galang sambil tetap menyikat
pakaian.
Mendengar jawaban anak sulungnya
itu, bu Marni menghentikan memeras cuciannya sesaat.
“Ya sudah,”, balas bu
Marni menyerah. “Kamu sudah bujuk adikmu agar mau berangkat sekolah?”, tanya
ibu Galang meneruskan.
“Sudah bu. Tapi dia
tetap tidak mau. Malu sama teman-temannya, katanya.”
“Ibu sudah beberapa kali
membujuk, tapi jawabannya cuma sepa.....”, papar bu Marni tak melanjutkan.
“Sepatu?”, ucap Galang
melanjutkan. “Nanti Galang belikan. Galang punya tabungan kok, nanti kalau
sudah cukup, buat membeli sepatunya Rio,”
“Tapi..”
“Sudahlah bu,”, potong
Galang sepertinya mengetahui betul akan ucapan bu Marni selanjutnya. “Kalau
masalah sepatu Galang, nanti saja. Itu lebih baik daripada Rio tidak
bersekolah,”, ucapnya lagi sambil melempar senyum.
Bu Marni benar-benar
tertegun mendengar semua ucapan Galang. Anak sulungnya itu selain dikenal
mandiri, juga dikenal pintar oleh teman-temannya. Bahkan, dia mendapatkan
beasiswa masuk SMP, sampai-sampai tak sepeser pun uang yang dikeluarkan bu
Marni untuk anaknya itu.
****
Menjelang
hari pertama masuk SMP, Galang terus dibayang-bayangi dengan sepatunya yang
sudah tak layak pakai. Tetapi bayangan itu segera ia tepis setelah memikirkan
adiknya, Rio. Ia lebih memilih membelikan sepatu untuk adiknya, daripada untuk
dia sendiri. Rasa sayang Galang ternyata sungguh besar pada adiknya itu.
“Galang... ibu punya
sedikit uang,”, ucap bu Marni sambil menyodorkan selembaran uang. Jumlahnya
memang tak banyak, tetapi setelah dihitung-hitung, jika digabungkan dengan
tabungan Galang, uang itu sudah cukup untuk membeli sebuah sepatu baru. Bahkan
ia masih bisa mendapatkan uang. “Ini uang dari mencuci kemarin,”, lanjut wanita
tua itu.
“Bu, ini cukup buat
membeli sepatu Rio,”, balas Galang tersenyum setelah menghitung jumlah uang di
genggamannya.
Dari dalam kamar,
tiba-tiba muncul Rio yang langsung berteriak kegirangan. “Horeee....!! Rio beli
sepatu baru!!!”, serunya ceria sambil memutari kakak dan ibunya. Ternyata,
sejak tadi Rio antusias mendengar isi percakapan Bu Marni dan Galang di balik
pintu kamar.
Melihat adiknya kembali
ceria, Galang lantas segera memeluk Rio. Lalu, diikuti dengan pelukan bu Marni
yang bangga memiliki anak seperti Mereka.
“Rio, sekarang mau
berangkat sekolah kan?”, tanya Galang memastikan.
Rio manggut-manggut mengiyakan.“yuk,
kita pergi ke toko!”, ajaknya kemudian bersemangat.
Galang balas mengangguk
setuju. Sedangkan bu Marni tersenyum setengah melihat keceriaan Rio. Karena kebahagiaan
Rio tak bisa dirasakan pula oleh kakaknya, pikir bu Marni. Selepas berpelukan,
Rio segera menarik kakaknya ke dalam kamar. Sesampainya, dengan sigap, tangan
lembut Rio meraih sepatunya.
“Kak Galang, Rio mau
ucapin selamat tinggal sama sepatu Rio..”, kata Rio polos sambil menyodorkan
sepatunya.
“Itu.. itu sepatu kak
Galang,”, balas Galang sambil terkekeh, saat melihat Rio yang ternyata
mengambil sepatunya. “Tuh, sepatu Rio ada di bawah meja.”, lanjut Galang sambil
menunjuk.
Entah kenapa, tiba-tiba
Rio terdiam seketika. Sorotan matanya menjalar ke setiap sisi sepatu yang ia
genggam. “Kak, sepatu kak Galang....”, katanya tak melanjutkan.
Galang segera merebut sepatunya
dari genggaman Rio. “Ah, sepatu kak galang bagus kan??”, ucapnya lagi terkekeh.
“Yuks, jangan lama-lama. Nanti
tokonya tutup loh..”, ajaknya kemudian.
“Yuks, Rio sudah tidak sabar nih,”, balas Rio bersemangat.
Meski terasa berat,
Galang berusaha kuat demi kebahagiaan adiknya. Rasa sayangnya semakin besar
ketika ayah mereka meninggal. Terlebih, ayahnya berpesan agar Galang harus selalu
menjaga Rio.
Di toko sepatu, dua
orang bersaudara itu sibuk memilah-milah sepatu yang sesuai untuk Rio.
“Rio.. yang ini bagus,”,
kata Galang sambil menyodorkan sepatu.
Tanpa pikir panjang,
Rio segera menyusupkan kakinya mencoba sepatu itu. Rio tersenyum ceria. Wajahnya
tak nampak kesedihan sedikitpun. Hingga kemudian ia berlenggak-lenggok di atas
sepatu yang ia coba.
“Bagaimana? suka
tidak?”, tanya Galang. Wajahnya tak kalah dengan adiknya, penuh dengan
senyuman. Sekali lagi, bagi Galang, kebahagiaan Rio adalah kebahagiaannya juga.
“Rio suka sekali kak,”,
pangkas Rio kemudian.
Galang nyengir kuda,
lalu berkata, “Kalau suka, ambil saja. Kan kakak yang bayar?”
Entah kenapa, tiba-tiba
raut wajah Rio berubah. Segera ia berlari menghampiri Galang. “Kak Galang tidak
membeli sepatu juga? kan sepatu kakak rusak?”, tanya Rio sambil mengangkat
kepala menatap kakaknya.
Mendengar pertanyaan
adiknya, Galang terkekeh, lalu ia memencet hidung Rio pelan. “Kamu ini. Kan
sepatu kakak masih bagus?”, jawabnya menghibur. Mendengar jawaban kakaknya, Rio
tertawa. Lalu dengan segera ia melepaskan sepatu yang sedang ia coba.
Ditengah-tengah, ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
Sesaat kemudian, Galang
langsung membawa sepatu itu ke arah kasir.
Belum sampai pada
tempat pembayaran, tiba-tiba Rio memanggil kakaknya. “Kak!”
Galang berhenti
melangkah, lalu ditatapnya mata Rio, “Ada apa lagi?”
“Rio tidak suka
sepatunya. Cari yang lain saja yuks?”,
ajak Rio kemudian.
Galang terheran mendengar
pernyataan adiknya itu. “Loh, tadi bilangnya suka?”
Rio terdiam sejenak
memikirkan jawaban. “Hem....”, gumamnya. “Itu kan tadi. Tapi, sekarang Rio
tidak suka,”
“Terus maunya gimana?”, tanya Galang menawarkan.
“Beli di lain tempat
saja,”, balas Rio tersenyum.
Tanpa berpikir panjang,
Galang menuruti keinginan adiknya. Mereka kemudian kembali mencari sepatu di
toko sebelah. Pandangan Galang terpusat pada setiap toko sepatu yang ia jumpai.
Berbeda dengan adiknya, Rio yang terlihat sibuk memandang tiap lapak pedagang yang
berjejer di tepi jalan. Tak berapa lama, mereka sampai di depan toko sepatu
yang berbeda dari sebelumnya. “Yuks,
masuk!”, ajak Galang kemudian sambil menggenggam tangan mungil adiknya.
“Tunggu kak!”, ucap Rio
mencegah.
Galang merendahkan
badannya, mensejajarkan diri dengan Rio. “Ada apa?”
“Itu!”, jari mungil Rio
menunjuk ke salah satu tumpukan sepatu di seberang jalan. “Rio ingin sepatu
yang di sana!”, pintanya kemudian.
Galang terkejut saat
menyusuri jari telunjuk adiknya. “Loh, itu kan sepatu bekas?”
“Tapi Rio suka,”,
ucapnya sedikit memaksa. Tanpa menyanggah, seperti biasa, Galang menuruti
permintaan adiknya tersebut. Kemudian mereka menyeberangi jalan dan menuju
tempat yang dimaksudkan Rio.
“Kak, kita beli di sini
saja, biar kak Galang juga punya sepatu baru seperti Rio,”, bujuk Rio kemudian.
“Maksudnya?”, Tanya
Galang tak mengerti.
“Rio ingin kak Galang
juga memakai sepatu yang baru. Biar ini sepatu bekas, tapi kalau dicuci pasti
baru lagi. Dan tentunya... murah meriah!”, papar Rio lagi.
Mendengar ucapan adiknya,
mendadak senyumnya tak bisa disembunyikan lagi. Lalu ia segera memeluk erat
laki-laki yang di hadapannya tersebut. “Rio baik sekali. Kakak bangga punya
adik seperti Rio,”
“Siapa dulu dong kakak
Rio, kak Galang..”, balas Rio tersenyum riang.
Ternyata, pikiran Rio
berubah saat ia mengingat keadaan sepatu kakaknya yang ternyata lebih parah
dari miliknya. Tidak ada yang bisa dilakukan Rio untuk membahagiakan kakaknya,
selain membagi kebahagiaan tersebut, pikirnya saat itu.
Kini, kedua bersaudara
itu pulang dengan membawa dua pasang sepatu. Ternyata, harganya separo lebih
murah dari harga sepatu di toko. Walaupun sepatu bekas, yang terpenting bagi
mereka masih bisa digunakan, dan tentunya untuk kebahagiaan bersama.
oleh Tarmudi
Cerpen anak saat sayembara Puskurbuk '12
No comments:
Post a Comment