Huff...!
hari senin lagi, hari senin lagi!, keluh Kokom sambil mengucek-kucek matanya.
“Iya mah...”, serunya lagi setelah beberapa kali teriakan mama mendarat di
telinganya. Hari senin. Hari yang sangat dibenci oleh Kokom. Harus berangkat
lebih awal, karena harus mengikuti upacara. “Ah, pokoknya semua gara-gara
upacara!”, ketus Kokom geram. Gara-gara upacara, ia merasa tidak puas dengan
tidurnya. Gara-gara upacara, ia meski membawa topi. Apalagi, gara-gara upacara,
ia harus rela memanggang badannya di bawah terik matahari, begitu keluhnya
lagi.
“Aha!”, seru Kokom lagi
menemukan ide. Wajahnya yang lusuh -pagi itu- berubah menjadi ceria seketika.
Setelah mandi, sarapan pagi, dan memakai seragam, Kokom berpamitan pada mama. Lalu
ia melangkahkan kakinya dengan tegas, tetapi tidak seperti hari-hari biasanya,
langkah kakinya kali ini diperlambat. Begitu santainya. “Dengan begini, aku
tidak perlu mengikuti upacara, hihii....”, katanya dalam hati. Hingga sampai di
pintu gerbang sekolah, Kokom masih saja memperpendek langkah kakinya. Padahal,
banyak teman-temannya yang berlarian masuk tak mau ketinggalan upacara pagi
itu. Entah apakah ia tidak melihat teman-temannya atau sekedar berpura-pura
tidak tahu.
Upacara
hari senin segera dimulai...suara keras dari sound sistem menyambut. Setelah memasuki
pintu gerbang, dilihatnya barisan teman-temannya di lapangan yang sedang
bersiap mengikuti upacara. Satu deretan di barisan guru pun sepertinya sudah
penuh. Kemudian Kokom segera menarik ujung topinya ke bawah agar wajahnya tak
terlihat. Lalu sambil menunduk dan berjalan berdimit-dimit, ia menuju ke
kelasnya. “Yes!”, serunya lagi setelah
berhasil memasuki kelas. Setelah itu, segera ia bersembunyi di pojok kelas. Ia
tak mau ada orang yang mendapatinya tidak mengikuti upacara. Hingga sampai pada
pertengahan pelaksanaan upacara, Kokom masih tidak menyadari akan kesalahannya
itu. Tetapi, mendadak wajahnya setengah ketakutan. Dilihatnya dua ekor cicak
saling menggigit. Bukan takut karena pertarungan antar cicak, tetapi takut pada
cicak yang bisa-bisa jatuh di badannya. Ketakutannya berawal saat setahun yang
lalu, ketika Kokom sedang santainya makan keripik singkong sambil menonton
televisi. Saking seriusnya menonton televisi, ia tidak menyadari, bahwa ada
seekor cicak yang masuk ke dalam keripiknya. Hihihi... akhirnya, setelah
kunyahan di mulutnya usai, ia mengambil kembali keripik dalam genggamannya.
Tetapi, ia merasakan ada yang berbeda. Tangannya menyentuh benda yang lembek,
dan bergerak-gerak. Penasaran, Kokom melihat ke dalam keripiknya. Lalu, dengan
cepat cicak itu keluar melintasi tangannya. Sontak, Kokom terkejut dan langsung
melemparkan keripiknya, kemudian lari terbirit-birit. Hihihi...
Masih di dalam kelas, Kokom
segera bangkit dari tempat duduknya, tak mau pengalaman buruknya dengan cicak
terulang lagi. Tetapi sial buatnya, belum sempat ia berpindah, salah seekor
cicak jatuh dan..... yap!! cicak itu tepat
jatuh di atas topinya. Merasakan hal tersebut, lalu dengan segera Kokom melepas dan melempar
topi dari kepalanya. Lagi dengan wajah setengah ketakutan, ia berlari keluar
kelas.
Brukkkk...
aww,
Kokom sepertinya menabrak sesuatu.
Mendadak, telinganya
terasa panas. “Kokom..!??!”, ucap salah seorang yang tak jauh dari Kokom.
“Ampun pak,”, katanya
setelah dilihatnya pak Kardi sudah berdiri di depannya sambil menjewer daun
telinga Kokom.
“Ah, kamu lagi, kamu lagi.”, kata pak Kardi sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sambil meringis
kesakitan, Kokom mengatakan, “Kali ini yang terakhir pak,”
“Tidak bisa. Kamu harus
ikut bapak ke kantor,”, jawab pak Kardi menolak alasan Kokom. Sepertinya Kokom
tak lagi memiliki senjata ampuh untuk menghindar dari upacara bendera. Beberapa
alasanpun sudah ia pakai, tapi sepertinya pak Kardi sudah mengetahui semua
gelagatnya. Wajar saja, beliau adalah salah satu pengawas di sekolah. Hampir
setiap hari senin ia selalu mendapati Kokom tidak mengikuti upacara bendera
dengan berbagai macam alasan. Saat itu dengan penuh pengertian, pak Kardi
percaya penuh pada ucapan Kokom. Pernah, Kokom beralasan sakit. Padahal hanya
berpura-pura saja. Hari senin berikutnya, ia berpura-pura ke toilet lebih lama
karena sakit perut, katanya. Kemudian selanjutnya, ia tidak mengikuti upcara
lagi dengan alasan yang sama. Tapi ternyata, dengan santainya ia menyantap
tempe goreng di kantin. Kali ini, keberuntungannya sepertinya sudah berakhir.
Pak Kokom memergokinya. Sampai saat itu, semua kedok Kokom terbongkar. Lalu ia
dihukum untuk berdiri di depan kelas. Tidak jera, Kokom melakukan kesalahannya
lagi.
Di kantor, nama Kokom
diperbincangkan oleh seluruh guru-gurunya. Di atas kursi empuk pak Kardi, ia
duduk. Kata pak Kardi, ada seseorang yang akan menemuinya.
“Kokom..”, kata
seseorang mendekat.
“Bu Lia.”, kata Kokom
dalam hatinya.
Bu Lia lantas segera
duduk disamping Kokom. “Loh, dipanggil bu Lia kok diam saja?”, katanya lagi.
Bibir Kokom bungkam,
wajahnya tertunduk lusuh menanggung malu. Bu Lia, guru agama kelasnya yang
dikenal sangat baik itu kini ada dihadapannya.
“Bu Lia boleh bertanya
tidak?”
Kokom mengangguk.
“Kokom tahu tanggal
kemerdekaan Republik Indonesia?”
“Tanggal tujuh belas agustus
tahun 1945 bu,”, jawab Kokom lancar.
“Pintar!”, seru bu Lia
kemudian. “Kok Indonesia bisa merdeka yah?”, lanjut bu Lia.
“Karena para penjajah
dikalahkan oleh perjuangan para pahlawan kita,”
“Wah, Kokom benar-benar
pintar yah,”, ucap bu Lia memuji. “Kokom pasti sudah tahu juga, jika pahlawan
kita yang gigih itu berusaha untuk mengibarkan bendera kita, sang merah putih,
bukan?”
Kokom mengangguk.
“Dahulu, untuk
mengibarkan bendera merah putih sangatlah sulit, penuh dengan perjuangan. Tetapi,
sekarang. Berkat pahlawan kita, kita tidak perlu bersusah payah untuk mengibarkannya,”
Mendengar perkataan bu
Lia, mendadak Kokom teringat satu hal. Mama pernah bercerita, bahwa dahulu,
almarhum kakek adalah seorang prajurit Indonesia. Itu sebabnya, mama selalu
berusaha membangunkanku lebih awal di hari senin agar aku bisa mengikuti
upacara bendera. Kata mama, selain belajar yang rajin, dengan mengikuti upacara
bendara, berarti sudah menghormati jasa-jasa para pahlawan, termasuk kakek. Aku
bangga mempunyai kakek seorang pahlawan, meskipun aku belum sempat melihatnya.
Ah, jahatnya aku ini,
pikir Kokom. Dahulu kakek dan teman-temannya berjuang membela tanah air tak
kenal waktu. Kehujanan dan kepanasan selalu mengiringi perjuangan mereka.
Apalagi akan kelaparan dan kehausan yang tak jarang mereka dapatkan. Walau
hanya dengan bambu runcing, mereka berusaha menyelamatkan tanah Indonesia.
Sedangkan aku? tidak pernah mengikuti upacara gara-gara takut kepanasan. Padahal,
itu tak sebanding dengan perjuangan para pahlawan, termasuk kakek.
“Bu, Kokom minta
maaf..”, kata Kokom sambil meraih tangan bu Lia.
“Loh, kenapa minta
maaf?”, kata bu Lia keheranan.
“Kokom mengerti maksud
perkataan bu Lia. Kokom memang tidak pernah menghargai jasa para pahlawan.
Kokom jahat ya bu?”, tanya Kokom sambil meneteskan air mata. “Kokom jarang
mengikuti upacara, selalu saja membuat alasan,”
Bu Lia segera meraih
tubuh Kokom, lalu dipeluknya erat. “Ibu Lia tahu, kalau Kokom orang yang baik.
Dengan menyadari kesalahanmu, itu sudah cukup menghormati para pahlawan kita. Dan,
minta maaf lah sama pahlawan kita dengan mendoakannya, bukan dengan bu Lia. Bu
Lia hanya bisa memberikan nasehat. Dan juga mulai senin depan, Kokom harus berubah..”
“Baik bu, itu sudah
pasti!”, jawab Kokom riang.
Setelah menyadari
kesalahannya, Kokom lebih bersemangat lagi ketika hari senin tiba. Bahkan
seringkali ia meminta untuk menjadi pemimpin upacara. Minggu depan tanggal
tujuh belas agustus, tepat hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dan sekarang,
Kokom sedang sibuk berlatih komando karena ia terpilih menjadi perwakilan sekolahnya
sebagai pemimpin upacara. “Aku cinta Indonesia”, kata Kokom mengakhiri
penyesalannya
oleh Tarmudi
Cerpen Anak - Gara-gara Upacara
No comments:
Post a Comment