Musim hujan telah tiba.
Dibalik jendela rumah, terlihat guratan wajah dengan senyumannya tengah mengikuti
setiap aliran air di tepi jalan desanya. Sesaat diperhatikannya anak-anak yang
berlarian menyambut air hujan yang terjatuh, tanpa keraguan sedikitpun akan
kesehatan mereka. Dan tanpa mengkhawatirkan wabah demam berdarah yang sempat
merebah di desa mereka beberapa tahun silam. Tetapi, berkat Tania kecil,
semuanya berubah.
“Bu, ini tehnya..”,
kata seseorang tiba-tiba.
Sedikit terkejut, Bu Tania
langsung membelokkan kursi rodanya. “Eh, Tika,”, ucapnya sambil menerima
sodoran secangkir teh dari anaknya.
“Sedang lihat apa sih?
kayaknya senang sekali?”, tanya Tika penasaran sambil mengarahkan pandangannya
ke arah luar dari balik jendela. “Ah, ibu ini. Kayak tidak pernah melihat anak
hujan-hujanan saja,”, ejek Tika sambil terkekeh.
Bu Tania lalu menyeruput
tehnya. Tercium dari aromanya sangat kental dan wangi. “Kamu tahu? kenapa ibu
sangat senang melihat mereka?”, tanya bu Tania balik.
Dengan wajah yang
antusias, Tika mengangguk.
Saat melihat wajah
anaknya dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang tinggi, bu Tania lantas menyuruh
Tika untuk duduk diatas pangkuannya.
“Kamu lihat foto itu?”,
tunjuk bu Tania pada salah satu fotonya yang menempel di dinding.
Tika mengangguk lagi.
Lalu segera ditatapnya foto yang belum pernah terjawabkan. Yah, foto Ibu Tania
yang sekilas mirip dengan Tika tempo dulu. Saat kakinya masih sempurna dan
masih mampu untuk berdiri dan berlari. Saat kakinya masih bisa untuk naik ke
atas panggung sebagai juara satu “Dokter Kecil”.
“Terus, apa hubungannya
dengan hujan?”, tanya Tika balik.
Ibu Tania mulai
bercerita tentang hidupnya dulu, ketika masih duduk di kelas enam. Dahulu,
ketika ibu masih bisa berjalan ke sekolah, ibu sangat senang sekali. Ibu bisa
belajar bersama teman-teman. Di sekolah, Ibu bersama dua teman Ibu yang bernama
Maman dan Ida terpilih menjadi calon peserta lomba dokter kecil. Di sana, ibu
dan mereka bisa belajar banyak hal. Semuanya tentang kesehatan. Tentu Ibu
sangat senang sekali, termasuk teman-teman Ibu. Mereka bahkan tak ada hentinya
membaca buku tentang kesehatan. Ibu tidak mau kalah dong?. Akhirnya menjelang
perlombaan tiba, Ibu yang terpilih sebagai pemenang perlombaan dokter kecil.
Senang sekali, karena bagi ibu, itu sangat luar biasa. Sejak saat itu pula ibu mulai
menjaga kebiasaan hidup bersih.
Dahulu, desa kita
bukanlah desa yang seperti sekarang. Bersih dan sangat rapi. Tetapi
kebalikannya, dulu desa ini sangat kotor dan tidak teratur. Sampah berserakan
dimana-mana, bahkan saat musim hujan tiba, aliran selokan tersumbat sampah,
ditambah dengan banyaknya tumpukan sampah yang menyumbat aliran sungai, sudah
pasti menyebabkan banjir. Terkadang, Maman dan Ida berdiskusi dengan ibu untuk
mengatasi masalah itu. Dengan ilmu yang didapat ketika belajar menjadi dokter
kecil, kami memulai gerakan baru. Yah, meski hanya beberapa orang yang membantu
kami waktu itu. “Kalian tahu apa? kalian itu Cuma anak kecil!”, kata beberapa
orang menghujat Ibu dan teman-teman saat itu.
Tetapi Ibu dan
teman-teman tidak putus asa, hingga masih pada musim hujan tersebut, kami terus
berusaha memperbaiki selokan desa, sampai pada tempat-tempat genangan air
meskipun sedikit-sedikit. Tak jarang, ketika hujan turun, Ibu keluar rumah
hanya untuk membuang sampah yang menyumbat aliran selokan. Sudah tentu, teguran
dari kakekmu, Ibu dapatkan. Katanya, kakek khawatir kalau Ibu jatuh sakit. Sejak
larangan kakekmu, saat musim hujan tiba, Ibu membiarkan sampah menyumbat aliran
selokan. Dan saat itu pula, Ibu jarang melihat teman Ibu, Maman dan Ida.
Seminggu sudah Ibu
membiarkan lingkungan desa ini penuh sampah. Tetapi untung saja, hujan tak
begitu deras, hingga air sungai tidak sampai meluap. Aliran selokan yang
tersumbat hanya meluberkan air sampai menutupi jalanan. Tetapi tetap saja, Ibu
ingin sekali merubah desa ini. Menyediakan tempat sampah, dan membuang
sampah-sampah pengganggu. Tapi itulah ibu yang dahulu, pekerjaan itu masih
terlalu berat untuk ukuran seusia ibu, kata kakek. Tetapi membuang sampah pada
tempatnya, itu hal yang mudah menurut ibu.
Musim hujan saat itu masih
menyerbu desa ini. Genangan air dimana-mana, sampah pun demikian. Tak lama,
dikabarkan penyakit demam berdarah melanda desa ini. Termasuk teman Ibu, Ida.Yang
ternyata dikabarkan masuk ke rumah sakit karena ulah nyamuk Aides Aegypty. Selang beberapa hari
kemudian, ia dikabarkan sudah tidak bernyawa. Menurut dokter, Ida terlambat
dibawa ke rumah sakit. Sejak saat itu, Ibu merenung dan merenung, sambil
mengingat materi yang pernah ibu dapat sejak menjadi dokter kecil, bahwa demam
berdarah biasanya muncul pada saat musim hujan. Genangan air tempat berkembang
biak nyamuk-nyamuk merajalela. Persis seperti keadaan di desa saat itu.
Dengan kabarnya Ida
yang sudah berpulang, Ibu sudah tidak bisa berdiam diri. Ibu tidak ingin jika
korban demam berdarah di desa ini semakin bertambah apalagi merenggut teman ibu
yang lainnya. Akhirnya, dengan keberanian, ibu meminta ijin papa -kakek Tika- untuk mengubah keadaan
desa. Tak lama setelahnya, kakek akhirnya mengijinkan ibu. Kakek juga ikut mengambil
langkah. Saat itu, kebetulan kakek adalah ketua RT. Kakek mengumpulkan warga,
lalu lewat kakek, penjelasan Ibu tersampaikan. Lagi-lagi berkat ilmu saat
menjadi dokter kecil. Gerakan tiga M, yaitu menguras kolam, menutup rapat
penampungan air dan mengubur barang bekas yang bisa menampung air hujan. Dan satu
hal yang tak kalah penting adalah membuang sampah di tempatnya.
Dengan semangat, warga
desa mengikuti perintah kakek. Mereka bergotong royong, termasuk Ibu. Walau
derasnya hujan yang turun, warga desa tetap bergotong-royong. Sejak itu pula,
Ibu melihat Maman kembali setelah lama tak berjumpa. Maman bercerita, kalau dia
dilarang oleh ayahnya untuk keluar rumah, persis seperti Ibu. Hujan bukanlah
waktu untuk bersenang-senang saat itu. Tidak seperti sekarang, anak-anak
bermain riang. Saking senangnya, Ibu
dan Maman berkeliling desa untuk memastikan semuanya sudah beres. Hingga sampai
pada bibir sungai, tampak beberapa sampah masih menghiasi di sana. Lalu tanpa
pikir panjang, dengan semangatnya Ibu mencoba mengambilnya dengan tangan Ibu. Ah,
saat itu, pandangan Ibu mendadak buram. Buram sekali. Entah apa yang terjadi
pada Ibu, Ibu lupa. Ibu hanya mengingat saat membuka mata, kakek sedang duduk
di samping perbaringan Ibu. Kata kakek, Ibu terjatuh dan terbawa arus sungai.
Saat itu juga, Ibu bertanya tentang keberadaan Maman, yang saat itu bersama
Ibu. Dengan nada yang sangat rendah, kakek berkata, Jika Maman menghilang dalam
derasnya air sungai saat mencoba menolong Ibu yang terseret arus tiba-tiba.
Mendengar kabar tersebut, lantas ibu mencoba bangkit dari tempat ibu berbaring,
tetapi.... “Kamu harus memakai kursi roda, sayang...”, ucap kakek yang saat itu
melihat Ibu setengah kecewa dan putus asa.
Ibu mencoba tegar, dan bersabar menerima keadaan ibu yang baru. Tak lama
kemudian ibu pulang ke rumah, setelah pulang ke rumah, ibu melihat keadaan desa
berubah seketika. Menjadi lebih bersih dan rapi. Tempat sampah sudah tersedia,
ditambah tanaman hijau berbunga. Saat itu pula, Ibu mendapatkan kebahagiaan
dari warga desa. Ibu sangat senang sekali. Kini, musim hujan telah tiba, ibu hanya
bisa mengingat masa lalu yang indah...sekaligus berkesan memiliki teman seperti
Ida dan maman.
Mendengar cerita
ibunya, Tika menjadi tahu alasan, kenapa setiap hujan ibunya selalu saja
memperhatikan anak-anak yang bermain. Sekaligus mendapatkan jawaban akan
perjuangan ibunya yang harus rela berkorban demi terwujudnya kebersihan. “Tika
sayang dan bangga sama ibu...”, katanya memuji Ibunya sekaligus mengakhiri
cerita bu Tania.
oleh Tarmudi
Cerpen anak - Tania si Dokter Kecil
No comments:
Post a Comment