Semburat sinar keorange-orangean terlempar di
pelataran sebuah rumah di tepi jalan Ardhan. 24. Nomor rumah itu tampak
mengkilap memantulkan kembali sinar ke segala arah. Termasuk gerobak hijau
-bertuliskan “BUBUR AYAM KHAS SEMARANG” bervisi maknyussss- yang tengah
melintas.
Tingg
... ting.... tingg.... suara yang begitu akrab di
telinga Susi. Gadis itu segera berlarian -dari rumah bernomor 24- menyambut
kedatangan pak Tato, penjual bubur ayam kesukaannya.
“pak, biasa yah, gak pake sambel,”, ucapnya
setelah menghampiri pak Tato
“inggih
mbak,” (iya mbak) jawab pak Tato sambil membuka pancinya yang menyembulkan
kepulan asap panas.
Susi duduk di sebuah kursi yang melintang.
Sarung kesukaanya dijempit oleh pahanya. “pak, kemarin emang tindak pundi (pergi kemana)toh?” , tanya Susi cemberut.
“kemarin susi tungguin pak Tato tau,”
Pak Tato terkekeh lalu berkata, “kemarin itu
kan hari minggu? Pak Tato libur mbak,”.
Ia menyodorkan mangkok berisi bubur ayam bertabur kerupuk udang di atasnya.
“mbak ini. awas panas,”,ucapnya lagi mengingatkan.
Dengan sigap Susi meraihnya. “oh, kalau hari
minggu libur yah? Justru rame loh pak. Lumayan kan buat tambah-tambah juga,”
“wonten
(ada)urusan mbak,”, ucap pak Tato lagi
Susi yang sedang menyantap berhenti seketika.
Dalam kemulan mulutnya dia berkata lagi,” urusan napa (apa)pak? Golek
(cari)istri lagi toh?,”
Pak Tato terkekeh lagi.“ah, mbak ini bisa-bisa
saja. Kalau bapak jadi pejabat boleh lah,”, ujarnya masih tertawa. “anak-anak
Cuma pengen liburan saja kok,”
Susi tersedak seketika mendengar curhatan
galau pak Tato. Nafasnya seperti diujung tanduk. Sorot matanya memerah dan
berkaca-kaca. “bapak ini, ada-ada
saja,”, ucapnya sambil mengelus-elus dada. Pak Tato sesaat terdiam sambil
menyodorkan segelas air putih. Hampir saja dia membunuh pelanggannya, pikirnya.
Tanpa satu kata, di tepi jalan itu Susi melanjutkan melahap semangkuk bubur ayam di genggamannya.
Sesekali dia memuji bubur ayam laki-laki separuh baya itu, seorang perantauan
dari daerah Semarang. Lama, mereka semakin akrab ngobrol ngalor-ngidul. Dengan logat yang masih mengental, laki-laki yang baru merantau 5 tahun di
Jakarta itu bertanya tentang keadaan seputar Semarang. Dan dengan wajah
semangat pula Susi menjawab semuanya dengan logat yang sama –Semarangan-.
Kini, tinggal sesuap lagi susi benar-benar
menelan habis makanan favoritnya itu. Waktu seakan-akan melambat, menarik-ulur
sesendok bubur yang hampir masuk ke dalam mulutnya. Sepertinya susi ingin
menikmati lebih dahsyat lagi detik-detik terakhir itu. Tapi tiba-tiba...
hueeekkkzzzzz!!!!!!
Buliran-buliran
kecil beraroma kental menyeruak -menusuk hidung- mucrat di depan matanya.
Kental dan berair. Dari buliran itu dilihatnya sebiji kacang tanah yang masih
utuh. Segera susi menanggalkan menyantap bubur yang tinggal sesendok itu. Ia
lempar mangkoknya di atas rerumputan, lalu mendesis jijik dan mengumpat seorang
gadis yang dia anggap menjadi biang keroknya.
“aduh, mbak.. kalau mau buang sampah jangan
sembarangan dong,”, umpatnya kesal.
Sambil menungging memegang perut, gadis itu
berkata, “maaf mbak, saya tidak sengaja,”. Logat jawanya begitu kental di
telinga Susi, oleh karnanya, dia tersenyum.
“mbak, dari jawa yah?”
Gadis itu mengangguk. “maaf mbak, saya gak
terbiasa naik angkot, jadi mabok deh,”, ujarnya kemudian.
Susi tersenyum lagi. Dia merasakan kedekatan
dengan orang yang sama –sama-sama jawa-. “mboten
nopo-nopo, ( tidak apa-apa)
Siapakah gadis yang sempat membuat Susi kesal
itu? Logatnya sama-sama jawa, darianakah dia? Terus apa dia begitu penting buat
keidupan Susi selanjutnya?
Monggo...... tetep di TKP
No comments:
Post a Comment