“Doni,
kalau nanti besar mau jadi apa??”
“mau
jadi dokter pak,”jawab Doni semangat.
“bagus!”,
sergah pak guru. Dia kemudian melengos ke arah gue. “kalau kamu Ri?”
Gue
celingukan sembari menggaruk rambut renyah. “he-eh. Apa yah? Power rengges pak,”
Pak
guru meringis, lalu berkata lagi, “kok power
rengges?”
Gue
tersenyum melebar, berusaha nyantai. Lalu dengan yakin gue menjawab, “biar bisa
membunuh monster dan menegakkan kebenaran pak!”
“bagus!”,
sergahnya lagi sembari menyodorkan sebuah jempolnya di depan wajah gue.
*upsss...!! hampir saja jempol gedenya nyodok mata gue!
Pak
guru melanjutkan sesi bertanyanya pada setiap anak. Di depan kelas dia
berteriak ala provokator demo. “anak-anak, yang pengen jadi dokter angkat
tangan!”. Hanya lima anak yang mengacungkan tangan. “siip!!” Pak guru
mengacungkan kedua jempolnya, lalu ia melanjutkan lagi,”yang mau jadi polisi!”,
kali ini sepuluh acungan tangan dari kubu pria. “bagus!!” Pak guru mengacungkan
kedua jempolnya lagi. sementara gue masih menunggu sesi teriakan pak guru”power rengger!”. Kini, gue lihat
mulutnya menganga lagi, “yang mau jadi guru!”, sepertinya sisa dari cita-cita
sebelumnya ini yang paling laris. “hebat!!” acung jempolnya lagi. kini yang
tersisa hanya gue. Di depan, Pak guru terlihat linglung, bingung, dan mendadak
canggung. Sesekali matanya dilemparkannya ke arahku. Gue menunggu moment
penting itu!. Tapi, apa yang terjadi salanjutnya? dia malah berbalik ke mejanya
(*tanpa dosa). gue yang merasa memiliki cita-cita yang lebih baik dari mereka
benar-benar merasa berkabung. gue menunduk lesu, layu dan paling pas kalau
diiringi musik yang mendayu, pasti keadaan semakin pilu. Tak sadar air matapun
segera menyusul bergelayut di kelopak mata gue. Lalu segera gue melipat tangan
di atas meja, dan menyandarkan kepala gue disana. Tertunduk. Air mata saat itu
benar-benar mengucur deras. Suara tangisan yang gue tahan menciptakan sesegukan
tak karuan. *waktu itu, seperti ada cekikan maut anak kutil (baca: kuntil anak)
“Ri,
ada apa? Nangis yah??”, tanya Doni berbisik, teman sebangku gue
gue
menggeleng masih menunduk. “eng-gak kok,”, jawab gue kemudian tergagap.
“itu,
yang dilantai air apa? Nangis yah??”, ucap Doni sedikit mengejek. Benar juga!
Air mata gue menetes di lantai. Sial!
*tapi untungnya gue masih bisa bertahan menarik-ulur makhluk kenyal di
hidung gue.
Doni
kemudian menepuk-nepuk punggung gue pelan, sambil berbisik, “Ri, pak seno
datang,”
Gue
segera mengusap sedikit air mata yang bergelayut ke ujung hidung gue,
menaggalkannya untuk jatuh menetes apalagi bersatu dengan isi idung gue!.
Kemudian sedikit gue beranikan diri dongahkan kepala, mengintip dari sela-sela
tumpukan tangan gue, membuktikan omongan Doni. Gue tak melihat Pak Seno di
mejanya. Kemana?! Kemana?!, pikir gue
yang lagi butuh di-syok terapi.
“Bahri...”,
ucap seseorang mengurungkan niatku untuk mengintip lebih jauh. “Bahri kenapa?”
“anu
pak, doni gak punya cita-cita!!”, seru manusia jahil disampingku. Seketika
seluruh kelas ngakak renyah.
“huuu!!”,
gubrisku pelan sambil menendang kakinya.
“owh,
masalahh itu. Doni kan sudah bilang mau jadi apa? Hemm, Tapi kok bapak lupa
yah?”. diam sesaat pura-pura bego. “yah!”, suara jarinya berseteru. “mau jadi power rengges yah?”
“bagus
banget!”, ucap lelaki itu kemudian, yang setelah sedikit gue intip ternyata
benar, pak Seno. Huft..
“anak-anak
siapa yang tahu power rengges? Suka
sama power rengges gak?”
“saya
pak!!”. Suara gemuruh semangat terdengar lantang. gue tersenyum lebar, lalu
mulai beranikan diri mendongahkan kepala. mata gue masih terasa berat,
sesegukan tenggorokanpun masih aktif, Cuma lebih stabil. Kali ini, gue benar-benar
merasa bangga. Pak seno yang sedang berdiri di depan kelas mengucapkan “power rengges!!”. Oh em
ji banget dah,
“teman
kalian ada yang mau jadi power rengges
loh,”, ucap pak seno kemudian lantang. Matanya melirik ke arah gue. # dam..dam..syaa..laa..laaa..laa
“siapa
pak???”, teriak salah seorang teman gue. *Entah dari mana berasal, intinya dia
gak berperan penting dalam kisah ini.
“Bahri!!”
Sesaat
sambutan pak Seno untuk gue tak ditaburi dengan tepuk tangan yang meriah.
Minimal seperti adegan manusia yang mengalahkan harimau sih,
#galau+stress+depresii
Mereka
ngakak sejadi-jadinya, mengalahkan gaya tertawa kuntilanak di malam hari,
memecahkan rekor teriakan manusia yang kerasukan jin, dan mem-fals-kan auman
serigala seketika. Entah apa jadinya jika dibandingkan dengan suara lengkingan
Agnes maunikah, suara mereka benar-benar memekikkan gendang telinga gue. Tapi
semoga saja, itu bisa jadi obat herbal buat hilangin kotoran batu di telinga
gue. #ambil katembath, aduk-aduk,lalu.... Makan buang.
“eh,
eh... jangan salah loh, itu malahan cita-cita yang paling bagus!!”, seru Pak
Seno menghentikan aksi brutal mereka.
Aku tersenyum lebar, lalu berusaha
membusungkan dada dan kupukul pelan. Doni yang menyaksikan aksi gue
menyeringai, mengelinting alis, dan tak lupa, lemparan antagonisnya, “biasa
saja kalii..”.
“kata
pak seno cita-cita gue paling bagus!”, balasku menjulurkan lidah.
Doni
yang merasa iri dengan cita-cita gue melengos cemberut.
“tau
gak kenapa??”, pak Seno menambahkan. Dia diam sebentar untuk membuat kelas
benar-benar tenang. Dalam hitungan detik, yang diharapkannya datang. Semua
muridnya antusias mendengar pernyataanya. Gue tambah merasa di puncak gunung,
begitu spesialkah cita-cita gue?. # hiduppenuhtandatanyataupetaka?
“power rengges itu, pahlawan kebajikan.
Bisa mengalahkan monster, dan juga membela kebenaran. Tau gak? Pak guru ini
sebenernya power rengges loh,”
Hah??!!???!!!
“yap!
Monster itu diibaratkan sebagai kebodohan. Dan kebenaran itu, diibaratkan ilmu.
Jadi, power rengges itu adalah guru. guru yang bisa mengalahkan kebodohan, dan
juga memberikan ilmu kepada semua orang. Nah, maksud Bahri itu, dia ingin
menjadi power rengges, yaitu guru yang hebat!!,”, rentetan cerita Pak seno
membuat gue terkapar seketika!, semuanya salah!!!!! Power rengges yang pake baju besi, bawa pistol, terus punya robot
raksasa! Itu maksud gue! Bukan yang pegang kapur, terus coret-coret di papan
tulis!. Tapi, paparannya berubah menjadi sambutan yang luar biasa, oleh
murid-muridnya (kecuali gue). Tak sedikit, mereka memanggil namaku (cukup 3
2 kali), meski ada yang kepleset gak
bisa mengatakan “R”. “bahliiii!!! Kamu hebat yah,”. Teriakan itu
melejitkan gue seketika. walaupun paparan Pak seno benar-benar-benar-benar
bukan yang gue harapkan. Gue merasakan jiwa ketenaran yang mendadak saat itu,
cepat, singkat, seperti kilat!. Saatnya gue membagi senyum anti badai katrina.
#cuap..cuap..cuap
“bener
kan Ri?”, Pak seno menegaskan lagi.
Aku
mengangguk semangat 45. He-em!
No comments:
Post a Comment