I just wanna tell to the world that i am strong enough facing the suffering life, empty hope, and the illusion of the dreams.
Feeling depressed is always stay in my mind. It bites me all the day. I do not have something to do. The power, The spirit have run away.
Everybody have problems. But you know, i'm feeling that my problems are the worst. How can it be?
I have problem with my family.
I have problem with my friends.
I have problem with my University.
I have problem with all the guys who stay around me.
I have tried something to break all that fucking problem. But, the real life is still real life. It never be the same with imagination.
This is my life.
But i'm feeling strong enough to face the world.
I just believe in being able to solve this problem, because i'm strong.
There i can choose. what i wanna be...
Saturday, June 13, 2015
Dua Puluh Lima
Dua puluh lima menjadi trauma
kupikir bahagia,
kupikir tak lagi sengsara
tetapi justru nestapa
Dua puluh lima terlalu jauh
terlewat, terlampau jauh
tak lagi berbalik,
sekedar memetik bunga yang tertinggal
Dua puluh lima mati
saat dua puluh tiga menjejali
menghunus pada setiap rongga hati
ada yang berani menandingi?
kukira lebih baik kumati
Dua puluh lima
hanya begitu saja?
hambar.
tanpa makna
kupikir bahagia,
kupikir tak lagi sengsara
tetapi justru nestapa
Dua puluh lima terlalu jauh
terlewat, terlampau jauh
tak lagi berbalik,
sekedar memetik bunga yang tertinggal
Dua puluh lima mati
saat dua puluh tiga menjejali
menghunus pada setiap rongga hati
ada yang berani menandingi?
kukira lebih baik kumati
Dua puluh lima
hanya begitu saja?
hambar.
tanpa makna
Friday, May 15, 2015
Poem: Missing Teaching
Now i'm missing the time
saying Good morning, How are U and everything
Asking about something interesting
even sometimes it could be so boring
saying Good morning, How are U and everything
Asking about something interesting
even sometimes it could be so boring
Here i'm understanding
how much i love teaching
while sharing makes heart beating
It's because i'm understanding
The way u're feeling and thinking
I always talk to the mirror all day long
Trying to get a new path
How to be the one...
who makes the beautiful world
how much i love teaching
while sharing makes heart beating
It's because i'm understanding
The way u're feeling and thinking
I always talk to the mirror all day long
Trying to get a new path
How to be the one...
who makes the beautiful world
Wednesday, May 13, 2015
Terima kasih Tuhan, Terima Kasih BRI
Eitsss...!! jangan nyinyir, jangan nyengir dulu.
Begini ceritanya...
Judul diambil dari kejadian ane hari ini persis. Tentang Tuhan, ane yakin betul bahwa setiap kejadian adalah ujian. Sedangkan, setiap ujian yang diterima tidaklah lebih dari yang mampu kita pangku (kata pak Ustadz ane dulu-era 90an).
Tentang BRI - Bank Rakyat Indonesia, karena memang TKP nya disitu. ehehe...
Begini ceritanya...
Judul diambil dari kejadian ane hari ini persis. Tentang Tuhan, ane yakin betul bahwa setiap kejadian adalah ujian. Sedangkan, setiap ujian yang diterima tidaklah lebih dari yang mampu kita pangku (kata pak Ustadz ane dulu-era 90an).
Tentang BRI - Bank Rakyat Indonesia, karena memang TKP nya disitu. ehehe...
Tuesday, May 12, 2015
Puisi Jalanan : Sandiwara Mereka
Malam...
Tubuhku menggigil, dinginnya
menggerogot tulangku
Aku semakin merengkuh,
tapi sepertinya percuma
Di sana, manusia-manusia
kaya tetap saja bersuka cita
Dengarlah! Jangkrik
saja sepertinya tertawa
Mungkin melihat diriku
yang berbeda....
Siang..
Berharap, hujan selalu
menyambutku gembira
Aku benci dengan terik,
yang selalu menjerat leherku
Pada hujan, setidaknya
mampu membuatku berbicara
Menyapihku, seperti
pertama kalinya menatap dunia
Tapi, sepertinya ia enggan
bercerita
Pada ragaku yang
semakin terkikis udara....
Begitulah siang dan
malamku..
Takkan pernah seperti
mereka, yang selalu tertawa
Sesekali bersandiwara,
saat melihatku datang membawa duka
Hingga sampai di
penghujung nyanyian parauku,
Aku tak pernah
menyadari peranku di setiap sandiwara
Yang kutahu, peranku
akan selalu sama, seperti sebelumnya, selamanya...
Puisi Jalanan: Tuhan, Kutahu, Aku Berbeda
Aku bukanlah seorang
bocah seperti mereka,
Berlarian kecil, sambil
tertawa mengudara,
Berlompatan riang, lalu
mengepakkan lengannya ceria,
Aku? Tak ada waktu
dengannya...
Entahlah, aku adalah
aku, bukan mereka,
Meski berukuran sama,
tapi aku tak seperti mereka,
Aku menantang terik
yang melepuhkan kulit,
Jalanan yang menguap
hendak memangsa telapak kaki,
Aku berlari,
berlompatan, tapi... meringis kesakitan!
Manusia sekarang
menatapku, lalu mengutuk,
Pada tubuhku yang
terbungkus kain lagi tak berbentuk,
Lalu mereka sibuk
mengais kata, ‘busuk!’
Telingaku mendadak
lumpuh layu,
Tapi, hati ini
cepat-cepat berkata: memang begitu kenyataannya..
Oh, Tuhan... sepertinya
aku lupa satu hal,
Jika Engkau
menciptakanku berbeda..
Bulan Sipit
Semua manusia pasti setuju, jika pagi sangat pantas
digambarkan dengan suasana yang sejuk. Bola-bola kecil nan putih dan bening
tampak bersahaja bertengger di atas dedaunan, kemudian meluncur mengetuk
tanah-basah. Belum lagi kicauan burung. Wah, sungguh sedap bila di dengar. Apalagi
nih, kalau sambil menyeruput secangkir kopi, terus membaca koran pagi di teras
rumah. Wuih! adesoy sekali pastinya. Tapi, entahlah manusia macam mana yang
tega merusak itu semua. Pagi yang seharusnya hening, menjadi gaduh tak
beraturan. Dentuman suara sepatu beramai-ramai menghujam bumi. Udara yang
bening, tampak berkabut debu.
Titik Terakhir - Guruku
Memasuki
jam ketiga, Satrio, dengan cepat menghapus seluruh coretan yang bersarang di atas
papan hitam. Coretan yang tak begitu indah, namun syarat makna. Sesekali
kuperhatikan, mulutnya komat-kamit tiap mulai meleburkan ukiran debu putih dihadapannya
itu. Bahkan tak jarang, ia sengaja menghentikan diri, lalu melongok ke coretan
sebelahnya. Tak lama, ia manggut-manggut seolah-olah ada yang mengajaknya
bicara. Lalu ia segera menghapus coretan kapur di hadapannya kembali.
Bukan hanya Satrio,
yang saat itu memang petugas piket. Tapi, hampir semua teman sekelas melakukannya
dengan cara yang sama. Mereka pikir, terlalu sayang, jika coretan yang dibuat
oleh Ibu Kiki terbang mengabu begitu saja.
Hingga satu hal yang sering aku perhatikan, yakni sebuah titik yang
tertinggal. Sebuah titik yang selayaknya menjadi saksi akhir dari permainan
bersama kimia.
***
Masih
tersimpan dengan rapi semua memori mengesankan bersama beliau. Terutama pada
jam pertama dan kedua di hari selasa. Mendengar nama kimia saja, rasanya
menjadi hari yang sangat menyeramkan. Bayangkan saja, suasana pagi yang segar, sudah
dicekoki dengan materi yang begitu sangar. Di mata teman-teman juga, mungkin
sosok Ibu Kiki menjadi momok yang sangat menakutkan. Guru yang berjasa dibalik
pelajaran kimia itu bahkan tak jarang meletupkan suaranya hingga membuat
keadaaan kelas menjadi tenang seketika. Ya, tenang dalam ketegangan.
Pagi itu, tak
seorangpun yang berani datang terlambat, meski sedetik. Anehnya, ini hanya
terjadi pada pelajaran kimia. Jelas, lontaran pedas yang diucapkan Ibu Kiki tak
seorangpun yang mau menerimanya.
“Kenapa kamu telat?”,
tanya beliau dengan penuh letupan. “Kamu mau jadi apa?”, lanjutnya lagi.
Biasanya, siapapun yang menerima pertanyaan dari Ibu Kiki, hanya berbicara sedikit,
“Maaf bu..”, tentunya dengan nada yang meliuk gemetar.
“Sudah. Besok, kalau
pas pelajaran saya datang terlambat lagi, kamu mending keluar. Tidak usah ikut
ulangan juga, apalagi tanpa alasan yang tidak jelas!”, ucap beliau lagi
menjejal. “Kamu ini bisa mengganggu yang lainnya, tau tidak??”
Seperti sebuah tradisi,
mereka yang mendapati ini, langsung menunduk pasrah, lalu hati berkobar berorasi
untuk merubah diri. Terbukti nyata, hampir setiap pelajaran kimia menjadi jam
yang pertama, siapapun yang pernah dicap sebagai anak siang, berangkat lebih
awal, entah dengan kondisi mata yang masih tampak sayu, ataupun rambut yang tak
begitu rapi tersisir. Di lain hari, diluar pelajaran kimia, entahlah. Kebiasaan
si anak siang kembali seperti semula.
Antara kegarangan dan
ketegasan memang tidak dapat kami bedakan terhadap sosok Ibu Kiki. Justru
antara hidup dan matipun, sepertinya kami enggan membedakannya, meski hanya
menyebutkan satu saja. Bagi kami, pelajaran kimia adalah hal yang paling
terpenting. Meski harus berkali-kali memutar otak, hingga tiba-tiba memanas
begitu saja lalu merontokkan benih-benih keceriaan di pagi hari.
Tubuhnya yang tinggi
semampai berdiri di depan kami. Sambil menyebarkan pandang, ia melempar senyum
ramah pada murid yang dididiknya-kami.
“Selamat pagi..”,
sapanya.
Seperti biasa pula,
sapaannya berbalas lusuh, “Pagi bu..”, kami kompak.
Sebuah intermezo pun
dilemparkan beliau untuk kami. Beliau bercanda, memuji beberapa muridnya,
kemudian disusul dengan gelak tawanya. Sedangkan kami, harus sedikit meringis
mengirit energi akan leluconnya. Setelah sedikit intermezo, beliau lalu membuka
buku materi yang akan disampaikan. Tak lama, beliau lalu mencermatinya sambil
duduk di atas kursinya.
“Fandi tolong bacakan
halaman tiga puluh dua...”, perintahnya sambil membenarkan posisi kacamatanya
yang melorot.
Fandi, temanku, tentu
dengan segera membuka halaman yang dimaksud. Kemudian dengan lantangnya ia
membaca, meski dengan suara yang meliuk-liuk bak kaset pita yang molor. Sedangkan
gerakan matanya tampak setia mengikuti gerakan jari telunjuknya yang berjalan
mengikuti tiap susunan kata yang berderet menjadi sebuah kalimat, kemudian
paragraf. Selesai.
“Fandi, coba sekarang
tutup bukunya, terus terangkan lagi apa yang dimaksud dengan Ion, Molekul, dan
senyawa yang barusan kamu baca.”, berondol Ibu Kiki melabrak otak Fandi. Tak
elak, tantangan yang didapatnya membuat badannya setengah kaku. Lalu sembari
menutup bukunya, ia menerawang ke langit-langit mencoba mengingat. Hal ini
menjadi agenda rutin yang kami dapatkan secara bergulir. Ada yang grogi
setengah nyawa, ada juga yang enteng menjawab dengan ringan, karena sebuah
persiapan yang sudah dilakukan. Pada setiap pertanyaan yang terlontar, hampir seluruh
muridnya terperanjat hebat. Dan tanpa komando pun, kami langsung berkomat-kamit
menghafal jawaban yang mungkin akan dilontarkan ke lain pihak. Dahsyat!
Sebuah guratan yang
dihidangkan oleh Ibu Kiki sangat kontras dengan mimik kami yang memerah padam.
Senyum beliau terlihat menyebar melihat gelagat dan ekspresi yang kami
tuangkan.
“Baguss.. pinter....”,
pujinya pada siapa-siapa yang mampu menjawab pertanyaannya. Lega.
Tak lama setelah itu,
beliau bangkit dari tempat duduknya, kemudian pada sebuah papan tulis ia mulai menggerakkan
kapur putih mengukir angka. Tulisannya terbilang singkat, padat, ringan dan
jelas. Demikian dengan setiap penjelasan yang dilontarkannya, selalu menjurus
pada hal yang sebenarnya sulit, namun dibuatnya lebih mudah. Kami, dengan
seksama memperhatikan dengan jeli setiap goresan yang terangkai jelas di depan
mata. Lemparan pertanyaan selalu beliau berikan untuk kami yang kepergok tidak
memperhatikannya. Sepanjang penjelasannya pula, kami dilarang menyentuh sebujur
pena. Jika satu saja melanggar, tentu, akan semakin banyak lontaran pertanyaan
yang menyerbu kepala.
Pada penjelasan
terakhirnya, tak pernah terlewatkan pula saat beliau memberikan waktu pada kami
untuk bertanya. Di sini, sedikit sekali yang memiliki nyali. Hingga akhirnya,
kembali beliau menunjuk beberapa dari kami untuk maju ke depan kelas, kemudian
mengerjakan soal yang akan beliau berikan. Seperti biasa, keadaan menjadi
kalang kabut.
Tak butuh waktu yang
singkat memang, untuk memahami dalam pelajaran kimia khususnya. Tetapi seperti
sudah terancang dengan rapi, Ibu Kiki menunjuk satu dari kami untuk bisa
menjelaskan ataupun memaparkan kembali apa yang telah beliau jelaskan kepada
murid-muridnya. Tentu dengan bahasa yang lebih halus, penuh rasa persahabatan.
Hal tersebut tentunya tidak diberikan secara Cuma-Cuma. Guru kita yang
berkacamata ini juga selalu memberikan sedikit ceklist pada nama muridnya yang berani tampil ke depan kelas.
Seperti uji nyali, banyak dari kami yang mau mau ragu. Tetapi tak sedikit pula
yang berani menjelaskan materi secara terperinci, meski dengan segerompolan
peluh di dahinya, ataupun jemari yang bergetar, serta suara yang
tersendat-sendat.
Bel pergantian
pelajaran berdering, beliau tidak pernah absen untuk memberikan tugas kepada
kami, kemudian perintahnya untuk membaca materi berikutnya.
***
Dari
dalam ruang kelas, beberapa dari kami terlihat panik sambil menulis apa yang
dihadapan kami. Ya, terkadang kami tidak menyelesaikan semua tugas yang
diberikan. Bisa dikatakan kemampuan kami terbatas. Tapi bagaimanapun itu,
ditengah gurun pasir yang tandus selalu ada oase yang mencegah dehidrasi,
membasahi tenggorokan. Pasti dua atau tiga orang dari kami selalu menjadi
harapan yang selalu menyala sepanjang waktu.
“Eehhh.. ada ibu Kiki!”,
bisik siapa saja yang melihat kepala menyembul naik turun dari balik jendela
kaca kelas. Jelas sekali, itu bu Kiki! Dari bentuk kepalanya yang terbungkus
kain halus saja sudah kentara. Apalagi... suara celetukan sepatunya yang
semakin mendekat. Buru-buru kami kembali ke tempat masing-masing, lalu
berharap-harap cemas. Ada yang terlihat sumringah sudah pasti, mengingat tugas
yang sukses tergarap dengan sempurna.
Seperti biasa, Ibu Kiki
berbicara sambil menyebar senyum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tugas.
Beliau meminta kami untuk maju dan membahas setiap tugas satu-persatu. Siapapun
yang maju, sudah pasti memasang wajah yang berbinar-binar, karena sudah selesai
mengerjakannya. Tapiii.... tunggu!
“Kalian kalau maju
tidak usah membawa buku tugas. Cukup ditulis diketahui, kemudian dijawab, dan
terangkan pada yang lain!”, terangnya menyentak sanubari.
Dunia serasa hendak
runtuh. Mereka yang terlanjur menempel pada papan hitam mendadak kaku. Wajah
yang berbinar? Mendadak mengkerut.
Hampir saben tugas,
kami tidak bisa menyelesaikan satu dua pertanyaan. Lalu dengan semangatnya
beliau mengukir tiap lambang senyawa kimia dengan beberapa angka. Ukirannya
sangat jelas. Tebal, bahkan lebih tebal dari ukuran biasanya dan terlihat lebih
besar. Sedangkan kedua bola matanya terlihat jeli menatap puluhan pasang mata
di depannya. Hingga kemudian ukirannya berakhir dengan suara ketukan keras. Dan
setelah kulihat, itu tanda titik.
***
Ulangan harian.
Layaknya sebuah kereta, kami mengerjakannya dengan penuh keyakinan. Betapa
tidak? Ingatan itu... ya, paling tidak membekas di dalam otak. Beberapa soal
yang diajukan pun tak jauh beda dari yang beliau paparkan. Semuanya terekam
secara sempurna, meski terkadang harus menggigit ujung pulpen untuk
mengoreknya, ataupun dengan menggaruk rambut, agar semua ingatan terbuka
sempurna, kami bisa melakukan itu semua.
Hingga pada hasil akhir yang menentukan. “Ini dia,
yang ibu inginkan!”, katanya sambil bedecak kagum pada hasil yang kami peroleh.
Meski tak secara keseluruhan. Titik terakhirnya, menyentak, hingga membekas
sampai pada ingatan yang takkan pernah berbekas, dan selalu ada tentangnya.
***
Beberapa bulan
kemudian, Senin, diatas sebuah podium Kepala Sekolah Negeri 3 Slawi berdiri
dengan penuh senyu semangat. Kedua tangannya tampak kuat membentang sebuah
stopmap berwarna merah jambu. Kumisnya yang tebal terlihat mulai mendekat pada
sebuah mikrofon.
“Anak-anakku yang saya banggakan. Bapak di sini
ingin memberikan ucapan selamat kepada putra-putri sekolah kita yang tercinta,
yang telah memenangkan perlombaan atau olimpiade yang diadakan satu minggu yang
lalu. Bagaimanapun, kita harus berbangga pada mereka yang sudah mengharumkan
nama sekolah kita.”, tukas pak Susono menggema. “Juara Tiga Olimpiade
Matematika oleh Dwi Agus... Juara Tiga Olimpiade Komputer oleh Opik...”,
demikian ak Susono beruntun membacakan. Lautan remaja berbaju putih abu-abu
tampak antusias mendengarkan. Dan semakin antusias, ketika yang ditungu-tunggu
itu datang... “Juara pertama Olimpiade kimia, diraih oleh Dayat..”
Tepukan meriah menyusul dengan cepat. Semakin meriah
tepukannya, hingga mengantarkan langkah sahabat berprestasi kami, terkhusus
Dayat hingga sampai di hadapan pak Susono. Pada deretan para pahlawan di depan
kami, terlihat senyum yang mengembang dari seorang Ibu Kiki. Kacamatanya
berkerlip memantulkan cahaya yang berpendar, entah dari mana. Bahagia!
“Beliau telah
membimbing saya dengan penuh kesabaran dan semangat. Beliau juga mengajari saya
bagaimana caranya menjadi siswa yang unggul. Kerap kali saya melakukan
kesalahan, beliau menegur saya, tapi dengan cara yang berbeda. Yang kutahu, itu
cambuk, cambuk agar saya percaya, semuanya bisa. Dan ini semua terjadi....
Terima Kasih Ibu Kiki..”, kata Dayat berseloroh.
Antara ketegasan dan kegarangan adalah dua hal yang
berbeda. Tapi kebanyakan insan menganggapnya sama saja. Padahal jika diruntut,
sebuah ketegasan selalu berdasarkan pada alasan dan tujuan yang kuat yang bisa
memberikan suatu hasil yang lebih baik, bahkan memuaskan. Sedangkan kegarangan
hanyalah subuah emosi yang meletup-letup yang tidak anda kemanfaatannya sama
sekali. Dan pada akhirnya, kami mengerti. Titik.
Lukisan Ronsok
Aku berjalan menyusuri lorong
perkampungan mewah. Sungguh terlampau mewah jika dibandingkan dengan rumahku
yang hanya berdinding kayu, pun tak begitu rapat berjajar. Di siang hari,
semburat matahari selalu menerobos masuk melalui celah-celah genting lalu membentuk
banyak garis putih panjang menyilaukan-bagai pedang yang baru diasah-tajam. Saat
malam datang, lampu minyak harus bekerja
ekstra mengedarkan cahayanya ke setiap sudut ruangan, tapi tak begitu berdaya memberikan kehangatan untuk kami walau sekali.
Dan satu lagi! tikus menyukai rumah kami.
“Kak!! ini banyak botol..”, teriak seorang gadis
menghentikan langkahku. Segera aku berbalik arah. Kulihat, gadis yang
memanggilku sedang memasukkan kepalanya ke dalam sebuah tong besar. Tanpa
berpikir ulang, aku langsung meletakkan karung yang kupanggul di tanah begitu
saja. Kemudian berjalan cepat mendekati Citra sambil memperhatikan sekeliling.
“Dede, kakak sudah bilang,
mulai sekarang dede tidak perlu mencari rongsok!”, kataku sedikit meletup.
Monday, May 11, 2015
Cara Mengatasi Blog Error
Buat kamu yang tiba-tiba website/ blognya nongol tulisan begini:
Error. Page cannot be displayed. Please contact your service provider for more details.
Ane kasih tahu permasalahannya, tetapi sebelum itu, kamu harus melakukan prosedur atau kata ane- SOP (Standar Operasional Procedure) gimana disaat-saat yang genting dan gegana yang terjadi dengan perasaan yang sedih, panik dan campur aduk juga harus dinetralisir. Nah, pertama yang harus kamu lakuin adalah tarik nafas. Yap, tarik napas kabarnya bisa bikin nenangin mood. Selain itu, dengan tarik napas juga akan membuat kamu sedikit tenang sehingga permasalahan yang sedang kamu hadapi bakal tersolusikan. Insya Allah
Kedua, ikuti prosedur dengan kata -why. kenapa? kenapa bisa error?
Jujur saja, baru nih. ane syok pas liat blog ane tiba-tiba eror begitu. Tetapi dengan tarik napas yaa kepala ane jadi dingin. Langsung dah ane cari solusi di berbagai situs.
Pertama, ane lupa situsnya (payah) disana dituliskan... eror terjadi karena pada template blog kamu ada yang dirubah komposisinya. dengan kata lain sudah tidak virgin-eh, bukan template aslinya lagi. Sebagai contoh mungil ibarat kamu beli kaos, terus dimodifikasi lagi sampe menjadi celana. itu berarti sudah mengubah substansi dan bentuk dari produk asal. Itu yang bikin error. caranya?
kamu lari ke blog template - klik Edit HTML - pilih Revert widget to default. pilih mana yang menurut kamu bermasalah.
penyelesaian ini, menurut ane kurang berhasil. karena jujur, ane juga bingung.
kedua, ane dapet lagi situs. Disana ane dianterin ke sebuah situs google, dimana berisi link-link upgrade windows, blaaa...blaa...blaaa... yang ane sendiri kagak ngerti (#plakkk!!). Belum menyerah, ane lari lagi ke blog lain.
ketiga nih, terakhir. Di sana tertulis cara jitunya, yaitu dengan menghapus konten aplikasi yang asal kita comot, trus dipasang di blog kita. Disana juga dikatakan bahwa kebusukan terjadi karena pembuat aplikasi yang nakal dan ingin iseng ama blog kita. yaaa gitu kata dianya. ane sih percaya aja. Tips dari dia sudah ane jalanin. tapi ane juga gak nemuin yang dimaksud si -empunya. Alhasil, ane hapus aplikasi 'clock'... ane view blog ane lagi... hasilna? tetep eror! faggggzzzz!!!
Sebagai manusia yang sedikit pandai menganalisis, ane kemudian perhatikan dengan jeli tuh website yang bikin erorr... "www.searching ........//freeblog...com" Nah looh!!! ada free blog gitu?
ting!
ane coba buka tampilan blog ane lagi, ternyata yang ane lihat ajaib! yap! di sana ada aplikasi yang nongol tulisan freeblog (hasil comotan) teaa..... langsung saja, ane lari ke template, trus ane hapus tuh.....
tak lama ane save changes, lalu view blog.....
hampir 10 menit an, gak terjadi perubahan tampilan menjadi error!
ane seneng, sumringah, merasa berhasil. Selanjutnya, tugas ane kudu nge-share nih pengalaman. :)
kalo masih bingung dengan cara ane, bisa search sendiri di google. ane juga kadang bingung cara nulisinnya :D
Cerita Pendek Anak "Mandiri, yuk!"
Hai teman-teman. Perkenalkan,
namaku Priska. Di sini, aku akan menceritakan pengalamanku yang sangat
memalukan. Begini ceritanya,
Ketika aku duduk di
kelas dua SD, teman-temanku selalu bilang kalau aku anak yang sangat manja.
Mulai dari memakai baju, menyisir rambut, hingga memakai sepatu pun semuanya
mama yang melakukan. Bahkan, ketika berangkat sekolah, meski jaraknya dekat,
aku tidak mau berjalan. Bagaimana menurutmu? apa aku ini anak yang manja?
tentunya tidak, hehehe. Eh, setiap hari aku meminta mama membantuku melakukan
itu semua loh, meskipun mama pernah menyuruhku untuk melakukan itu sendiri,
tapi aku ngambek tidak mau berangkat. Akhirnya, mama menuruti keinginanku
hingga aku menjelang kelas tiga. Tahu tidak? aku tidak melakukan sendiri karena
bagiku itu terlalu sulit. Alasan itu biasanya terlontar untuk mama sih, tapi
mama setuju-setuju saja tuh, hehe..
Nah, menginjak kelas
tiga SD, aku mempunyai teman yang bernama Bela. Antara usia dan tinggi badan
tidak berbeda jauh denganku sih, apa lagi kecantikanku. Kata mama, aku yang
lebih cantik sedikit dari Bela loh, hehe. Eh, tau tidak? setiap sore Bela
berkeliling menjual gorengan ibunya loh. Pertama sih aku sungkan membeli
gorengannya, tetapi setelah mama mencoba dan membelinya, aku mencobanya juga,
dan akhirnya aku menjadi ketagihan. Habis rasanya enak sih. Nah, sejak saat
itu, aku berteman dengannya.
Waktu terus berjalan. Aku
semakin menyadari, berteman dengannya bukanlah hal yang mudah. Tetangga selalu
membeda-bedakan antara aku dengan Bela. Ugh,
sialnya, aku selalu dibilang anak manja. Tak hanya itu, Bela yang sudah
mengetahui kebiasaanku, menjadi sok tahu, jika aku harus melakukan semuanya
sendiri. Seperti yang saya sebutkan diatas. Beberapa hari kemudian, aku merasa
bosan dengan nasihat dari Bela. Mentang-mentang ia sudah bisa melakukannya
sendiri, kataku dalam hati saat itu.
Esok harinya, menjelang
berangkat sekolah, aku tak menemukan seragamku di atas kasur. Tidak seperti
biasa yang dilakukan mama. Ah, sepertinya mama menyuruhku untuk melakukannya
sendiri. Tidak mau!, kataku dalam hati. Lalu dengan penuh amarah, aku segera
menuju kamar mama. Aku marah sekali sama mama. Tapi.. ternyata mama masih
tidur, tidak seperti biasanya. Lalu aku memanggil mama dan membangunkannya. Aku
kaget bukan kepalang ketika tanganku merasakan aliran panas dari badan mama!. Akupun
panik setengah mati. Aku tak bisa melakukan apapun. Saat itu terlintas dalam
pikiranku untuk meminta bantuan Bela, tetapi aku malu. Aku sudah membencinya,
tidak mungkin aku harus meminta tolong padanya. Tak lama kemudian mama
terbangun dan memintaku untuk mengambilkan segelas air putih.
“Mama lagi tidak enak
badan,”, kata mama lirih.
Karena sedang sakit,
aku terpaksa melakukannya sendiri. Mulai dari memakai seragam, menyisir rambut,
hingga mengikat tali sepatu. Karena takut terlambat, aku melakukannya
terburu-buru, tanpa memikirkan apapun. Yah, meskipun sebenarnya baru pertama
kali melakukannya sendiri sih. Sambil berlari sekuat tenaga, aku berangkat
sekolah. Dan tak lama kemudian aku sampai pada pintu kelas. Oopss... ternyata aku terlambat!. Di
sana, bu Dina sedang mengabsen anak-anak.
“Selamat pagi bu,”,
kataku setengah malu sambil masuk ke kelas.
Entah aku tak mendengar
balasan dari bu Dina, yang kudengar saat itu adalah suara gemuruh dari
teman-teman. Yah, mereka terlihat puas mentertawakanku. Bahkan, beberapa dari
mereka sampai meremas perut mereka. Aku benar-benar tak berdaya saat itu. Selanjutnya,
kulihat bu Dina sedikit merasa kesal dengan keterlambatanku. Tetapi dari
senyumnya sudah kubaca, jika ia memaafkanku.
“Silahkan duduk,”, kata
Bu Dina kemudian. Tetapi, mendadak kakiku terasa kaku, saat beberapa dari
teman-teman meneriakiku begini:
“Wah, rambutnya model
sapu ijuk tuh?”. Lalu disusul dengan teriakan lainnya. Mendengar teriakan
mereka, aku lalu meraba rambutku sendiri, dan ternyata mereka benar. Aku tak
menyisir rambut dengan sempurna. Aku maluuuu sekaliiii. Lalu dengan segera aku menundukkan
kepala. Di bawah, kulihat tali sepatu kiriku terlepas, dan yang lainnya masih
mengikat meski tak terlihat rapi. Dari sana, kemudian aku menelusuri tiap
bagian seragamku. Di sana, kutemukan bajuku yang tak masuk sempurna ke dalam
rok bawahku. Aku benar-benar malu. Saat itu pula, air mataku benar-benar tak
bisa terbendungkan lagi.
“Priska, kenapa?”,
tanya bu Dina pura-pura tidak tahu.
“A..anu bu,”, aku
menjawab agak gugup sambil memperhatikan penampilanku sendiri.
Bu Dina tersenyum, lalu
ia menyuruhku untuk merapikannya.
Apahh?, seruku dalam
hati terkejut. Penampilanku berantakan, itu karena aku melakukannya sendiri. Terus??
bagaimana caraku memperbaikinya? pikirku saat itu. Aku benar-benar tidak tahu
harus berbuat apa. Tak lama setelah itu, seseorang mendekatiku. Ia segera
meraih rambutku, lalu menyisirnya. Aku hanya pasrah melihatnya merapikan
bajuku, lalu mengikat dengan rapi dan kuat tali sepatuku. Aku benar-benar
berhutang budi padanya. Terima kasih Bela...
Bajuku kembali rapi.
Bela, temanku yang kubenci, justru menolongku. Dengan cekatan ia melakukan hal
yang tidak bisa aku lakukan. Akhirnya, sepulang sekolah aku meminta maaf dan
berterima kasih padanya. Lalu Bela mengatakan bahwa ia membantuku karena ia mengetahui
jika aku belum bisa melakukannya sendiri.
“Memangnya mama kamu ke
mana?”, tanya Bela penasaran.
Aku menceritakan semua,
bahwa ibu tidak mungkin memakaikan baju untukku, menyisirkan rambutku lagi,
hingga mengikatkan tali sepatuku, karena dia sedang sakit. Mendengar ceritaku,
Bela menawarkan diri untuk membantuku merawat ibu, termasuk mengajariku
bagaimana caranya melakukan pekerjaan rumah sendiri. Hal itu sangatlah mudah
bagi Bela, karena ia sudah terbiasa melakukan itu di rumahnya.
Beberapa hari berlalu,
aku sudah bisa melakukannya sendiri berkat pertolongan Bela. Kata Bela, kita harus
menjadi anak yang mandiri. Tidak selalu bergantung pada orang lain, apalagi
hanya memakai baju, menyisir rambut, dan mengikat sepatu. Oh iya, saat itu
juga, mama sembuh dari sakitnya. Alhamdulillah. Aku senang sekali, sama seperti
mama yang senang melihatku sudah mandiri.
oleh Tarmudi
Cerpen Anak - Mandiri Yuk!
Subscribe to:
Posts (Atom)