Aku berjalan menyusuri lorong
perkampungan mewah. Sungguh terlampau mewah jika dibandingkan dengan rumahku
yang hanya berdinding kayu, pun tak begitu rapat berjajar. Di siang hari,
semburat matahari selalu menerobos masuk melalui celah-celah genting lalu membentuk
banyak garis putih panjang menyilaukan-bagai pedang yang baru diasah-tajam. Saat
malam datang, lampu minyak harus bekerja
ekstra mengedarkan cahayanya ke setiap sudut ruangan, tapi tak begitu berdaya memberikan kehangatan untuk kami walau sekali.
Dan satu lagi! tikus menyukai rumah kami.
“Kak!! ini banyak botol..”, teriak seorang gadis
menghentikan langkahku. Segera aku berbalik arah. Kulihat, gadis yang
memanggilku sedang memasukkan kepalanya ke dalam sebuah tong besar. Tanpa
berpikir ulang, aku langsung meletakkan karung yang kupanggul di tanah begitu
saja. Kemudian berjalan cepat mendekati Citra sambil memperhatikan sekeliling.
“Dede, kakak sudah bilang,
mulai sekarang dede tidak perlu mencari rongsok!”, kataku sedikit meletup.
Acuh, Citra enggan
mengangkat kepalanya. Tangannya bertambah sibuk mengais-ngais isi tong.
“Dede... kak Andi
bilang apa?!”. Aku mulai kesal.
“Mama... ada komplotan
pencuri rongsok nih. Nana takut nanti boneka Nana dicuri ,”, entah suara
darimana dengan cepat menyambar telingaku. Tak perduli, segera kutarik tangan
Citra. Kulihat, kedua tangan mungilnya menggenggam dua buah botol plastik. Dengan
cepat kuambil semua yang ada digenggamannya, lalu kulemparkan kembali ke dalam
tong yang mendadak akrab dengan Citra. “Kakak sudah bilang. Mulai sekarang,
kamu tidak perlu mencari rongsokan lagi, paham??”, pintaku sambil membersihkan
tangannya.
“Tapi kak....”
Aku tak mau mendengar
lagi apa yang akan dikatakannya. “Pokoknya jangan!”, jemariku melingkar kuat di
pergelangan tangannya, kemudian kutariknya pelan sambil mengambil langkah.
“Tunggu kak!”,
lagi-lagi Citra menghentikan langkahku.
Segera aku menundukkan
badan mensejajarkan diri. “Ada apa?”, tanyaku. Citra merapatkan bibirnya lalu
menggeleng pelan. “Rongsok lagi??!”. Mendengar perkataanku, gadis mungil itu
kemudian menunduk. Apa aku ini
berlebihan?, pikirku. Segera aku menarik nafas panjang, lalu
menghembuskannya pelan. Kupikir agar emosi ini terkendali. Sambil melakukannya,
kuraih karung yang ada di sampingku. “Ini, kakak sudah dapat banyak...”
Citra mengangkat kepalanya
sebentar, lalu menunduk lagi. Mungkin saat itu dia menganggap, jika aku yang
selama ini dianggap malaikat, berubah menjadi setan dengan mata yang menyala
merah.
Entahlah, begitu tega
aku membentaknya. Tak ada secuilpun
maksudku membuatnya terluka. Tak tega,
aku kemudian mengusap rambutnya yang sebahu. Kemudian kubisikkan pelan, “Adik
kakak yang cantik, pinter dan penurut... kakak sayang sekali sama dede. Dede
sayang sama kakak juga kan?”
Masih menunduk, dia
mengangguk pelan.
“Terima kasih Citra,”,
balasku.“Dede masih ingat lagu Indonesia Raya yang semalam?”
Persis seperti
sebelumnya, Citra hanya mengangguk
pelan.
“Kalau begitu coba
dong, kakak kepengin dengar suara dede. Tapi biar tidak lupa, sambil menunduk
ya... yang kencang! Oke?”
***
“Mama.. ada pencuri
sampah...”, “Mama.. ada preman tukang rongsok..”, “Mama.. rongsok kita jangan
dibuang yaa... nanti dicolong sama mereka..”
Teriakan anak sebayaku
menjadi iringan langkah kami di sepanjang lorong perumahan. Karung gendutku
yang berisi rongsok, sengaja tak kupanggul lagi. Kubiarkan suara seretannya
terus berirama mengiringi lantunan Indonesia Raya dari adik kecilku, tangan
mungilnya masih erat kugenggam. Biarlah
dek... biarkan kakak yang tahu dan merasakan semua ini. Lorong sepertinya
tak ada ujung, padahal tepat di pojok sana, rumah kami berdiri. Untukku memang
terlalu bosan menatap wajah-wajah manusia yang sengaja berseliweran menatap
tubuh kami. Beberapa hanya mengintip lewat jendela. Entah, mereka seperti
melihat buronan saja!
***
Aroma lumpur mulai
tercium. Banyak manusia yang protes dengan ucapanku. Mereka bahkan menganggap
aroma ini tak lebih dari aroma bangkai. Tapi, seperti yang kubilang, ini
lumpur! Lumpur syurga. Tak mudah untuk mendapatkan aroma ini. Butuh perasan
keringat, kasih sayang, berjuang dengan lautan lumpur yang sebenarnya.
“...hiduplah Indonesia
Raya....”, Citra menghentikan suaranya. “Kak, sudah sampai ya?”, ucapnya
sembari mengangkat kepalanya. Mungkin hidungnya sudah mengendus sejak tadi.
Tak sempat aku
menjawab, ia langsung berlari masuk ke dalam rumah. Jemariku tak protes untuk
melepaskannya. Kulihat tas yang menempel di punggungnya bergoyang ke kanan dan
ke kiri ceria..
Ibu... karena makhluk
kecil itu, hampir saja aku melupakanmu. Ibu dan Citra. Dua wanita yang saat ini
kumiliki memang selalu memberikan kesan yang indah dalam hidupku. Terlebih
ketika dua tahun silam. Bagiku, kematian ayah seperti bencana yang besar. Tapi
Ibu menguatkanku untuk tetap menjalani hidup sebagaimana sebelumnya. Untuk
Citra, dia masih terlalu kecil untuk mengerti hal yang satu ini. Yang hanya dia
tahu adalah jika ayahnya tengah tertidur pulas di suatu tempat yang sangat jauh.
Aku mencari-cari ibu. Ibu
biasanya berada di teras bersama dengan tumpukan kardus, botol plastik, dan gelas
plastik hasil pencariannya. Ia merangkainya, termasuk rongsok yang kubawa
setiap pulang sekolah ini. Ibulah yang merapikannya. Tapi, mana ibu?
“Kakak... dipanggil
ibu,”, lagi-lagi suara si kecil Citra mampir di telingaku. Tak berapa lama,
sosoknya muncul di hadapanku dengan tangannya yang menggenggam gorengan tempe.
Mulutnya terlihat masih mengunyah pelan. “Kakak.. dipanggil ibu,”, ucapnya
lagi.
Melihatnya makan saja,
aku merasa sejuk dan damai. Bersyukur, dalam kekurangan tak selamanya serba
kurang. Seperti biasa, aku menunduk, mensejajarkan diri, “Ibu di mana?”
“Di dalam kak...”,
katanya lagi sambil menyayat tempe dengan giginya.
Aku hanya melempar
senyum, lalu seraya lebih dekat, kubuka mulutku lebar. Citra tersenyum simpul
mengerti maksudku, lalu segera memasukkan tempe yang digenggamnya ke dalam mulutku.
“Nyamm..nyaaamm..terima kasih Citra yang cantik,”, candaku. “Yuk,”.
***
“Citra, main bonekanya
di luar saja yaa...”, pinta Ibu ramah. Dengan segera Citra mengikuti ucapan ibu.
Duduk di atas kursi kayu coklat yang memanjang, Ibu sesekali memastikan Citra
jika dia sudah di halaman. Tak lama kemudian Ibu mendehem, lalu menatapku yang
juga duduk di atas kursi yang sama.
“Kamu berkelahi lagi di
sekolah?”
Deg!
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar lontaran pertanyaan ibu barusan.
Segera kualihkan pandanganku ke lantai yang masih berupa tanah seadanya.
Beberapa barisan semut tengah berbaris merayap entah kemana tujuannya, aku tak
mau tahu.
“Andi.. kamu jawab
pertanyaan ibu nak,”
Mendengar ucapannya
lagi, aku hanya bisa menghela nafas panjang. Selebihnya, leherku serasa
dicekik! Lidah? Serasa kaku membeku.
“Ib...Ibu.. tahu dari
mana?”, tanyaku tergagap.
Ibu membuka telapak
tangannya. Ditunjukkannya sebuah surat yang terlihat lusuh karena diremas. “Ini
apa?? Surat peringatan yang ketiga!”
Aku terhenyak. Surat peringatan
ketiga?? Itu artinya......
Ibu mulai bangkit dari
duduknya, lalu berdiri di dedapanku yang masih menunduk setengah ketakutan. Tak
lama, gumpalan kertas mengalihkan pemandanganku. Ibu menjatuhkannya tepat pada
titik sorot mataku yang sembab. Kuikuti gumpalan kertas pengacau tanpa
berkedip. Jatuh tanpa mengaduh, kemudian menggelinding tanpa suara, lalu
berhenti.
“Andi, lihat ibu!”
Ibu
marah. Tak pernah sekalipun aku melihatnya semarah ini. Ibu yang selama ini
berdiam diri. Ibu yang selama ini selalu membuatku semangat bersekolah selepas
ayah pergi. Ibu yang selalu bilang tak akan marah. Ibu, kenapa? Apa kesalahanku
begitu besar di matamu? Sungguh Andi tak bermaksud mengecewakan ibu..
Pelan-pelan aku mulai
mengangkat kepala. Mataku? Sengaja kupejamkan. Aku tak terlalu siap menatap
mata ibu. Dan kini, wajahku benar-benar menghadap ibu. Aku masih tak memiliki
nyali untuk segera membuka mata. Tak lama juga, kurasaan ada yang meleleh dari balik
kedua mataku. Yang kemudian kutahu, aku menangis.
“Ibu?”, aku membatin. Tak
lagi aku mendengar suaranya. Entah apa yang ibu lakukan di luar sana, aku tak
tahu. Takut, aku semakin kencang mengatupkan kelopak mataku. Tapi, kubiarkan saja
air mataku keluar dengan bebasnya. Andai air mataku mampu berbicara, ingin
rasanya kutanyakan apa yang terjadi dengannya. Nafas yang sulit kuatur, jantung
berdegup cepat, telinga yang setengah ketakutan, juga hati yang remuk. Ibu, maafkan Andi.. Aku terisak. Tapi
tiba-tiba ada yang memeluk tubuhku erat. “Ibu?”, batinku lagi. Aku masih tak
punya cukup nyali membuka mata ini.
“Andi, maafkan Ibu
nak...”
“Ini ibu!”, batinku
meyakinkan. Mendadak kelopak mataku kehilangan tenaga. Air mataku semakin
merangsek hendak tumpah. Kubiarkan tumpah, hingga aku benar-benar melihat! “ibu..”,
Segera kubalas pelukannya erat.
Dan
akhirnya kutahu, air mataku mampu berbicara. Menjadi saksi bisu, akan
kecintaanku pada ibu. Cairan bening yang mampu berbicara pada hati seorang ibu.
Atau mungkin... sosokku yang mirip dengan almarhum ayah?. Ah, aku tak begitu
perduli. Bagiku, asalkan ibu yang kukenal telah kembali...
***
Aku memeluk Citra
kuat-kuat. Kuusap rambutnya pelan, sangat halus. Kemudian kucium, sangat wangi.
Seumur hidup, baru kali ini aku melihatnya memakai baju yang bersih dan cantik.
Tapi sayang, sebentar lagi paman mengambilnya dariku. Katanya, nasib Citra akan
lebih baik jika hidup dengannya. Kalaupun hidup denganku, bisa-bisa citra akan
tetap menjadi pemulung!.
Seminggu yang lalu, Ibu
telah pergi. Ibu menyuruhku untuk mengirimkan sepucuk surat buat paman yang ada
di kota. Saat itu ibu sedang sakit keras. Tak lama, esok harinya paman datang.
Aku mendengarkan pembicaraan mereka tepat saat aku meletakkan minum untuk
paman. Ibu menitipkan kami sama paman. Mendengar itu, hampir saja membuat air
yang baru kuletakan tumpah. Firasat ibu memang benar. Ia pergi meninggalkan kami.
Aku menolak untuk hidup
dengan paman. Yang ada hanya akan merepotkannya. Aku memilih sendiri dan akan
pergi entah kemana. Aku hanya menitipkan Citra, berharap nasibnya akan menjadi
lebih baik dariku yang hanya sampai kelas enam. Itu saja tidak lulus, karena
surat peringatan yang ketiga setahun lalu itu.
Tapi aku bersyukur, ibu
sudah mengerti alasanku. Saat itu, saat teman-temanku menganggapku sebagai anak
sampah, aku hanya bisa terdiam pasrah. Tapi tidak untuk adikku, Citra. Begitu
jahatnya mereka yang menganggap adik cantikku sampah pula. Citra yang baru
masuk kelas satu tentu sangat sedih (Mungkin mereka sudah sering melihat Citra
memulung bersamaku sebelum ia sekolah). Semenjak itu, aku bertekad untuk selalu
menjaganya. Tak apa aku beradu otot, asalkan mulut mereka tak mencecar adikku.
Bahkan, sering pula aku mempersilahkan mereka untuk mengejekku, tapi tidak untuk
Citra.
Semenjak di keluarkan
dari sekolah, aku tetap memulung seperti biasa. Kemudian mengantar Citra dan
menunggunya di gerbang sekolah. Sering kutanyakan padanya tentang
teman-temannya, dan teman-temanku. Katanya baik-baik saja. Tapi, tetap saja
membuatku resah. Dalam perjalanan pulang, masih sebuah karung berisi rongsok
kupanggul. Citra yang berjalan disampingku sesekali menjengkelkanku. Bagaimana
tidak? tiap ada tong sampah, selalu ia berlari. Apalagi kalau bukan mencari
rongsok!. Tapi, selalu saja kujamu dia dengan rayuan manis. “Citra yang cantik,
nanti baju kamu kotor. Kan besok mau dipakai lagi?”. Senyuman manisnya menjawab
ucapanku. Sungguh menyejukkan.
Tangan mungilnya
melambai-lambai. Di dalam angkot, Citra yang dipangku paman tampak senang.
Bagaimana tidak? Yang kusampaikan padanya: Ibu ada di rumah paman. Kakak Andi
akan segera menyusul. Ya, Citra masih tak tahu jika ibu telah bersanding kubur
dengan ayah. Sebelumnya tak lupa kukatakan pada paman, untuk selalu membalas suratku,
terutama mengenai Citra. Dan setidaknya akan kukirimkan uang pada paman untuk
Citra.
***
Sudah lima tahun aku
mendekam di balik jeruji besi. Sejak lima tahun itu pula, hanya dua buah surat balasan
yang kuterima dari paman. Itu saja surat yang sudah terlampau lama. Surat
pertama yang kuterima dua minggu setelah perpisahan dengan Citra. Dikabarkan,
kondisinya baik-baik saja, meski sering menanyakan menyoal aku dan Ibu, tapi
paman memang orang yang paling jago merangkai kata. Meski suatu saat nanti beliau
harus menjelaskan perihal yang sesungguhnya. Tentu kelak ketika Citra besar
nanti. Surat kedua, surat yang kuterima dua tahun berikutnya. Disana hanya
terukir ucapan terima kasih atas uang pemberianku. Dan tentang citra, tak
begitu banyak diceritakan, hanya saja prestasinya yang dibilang bagus.
Untung ada pak Samsul.
Perkenalan dengannya sangat singkat. Di tong sampah! tepat ketika sedang
mengais isi tong, kutemukan bungkusan
kecil, setelah kubuka berisi butiran yang kupikir permen. Pak Samsul dari belakang
menepuk punggungku, kemudian meminta permen yang kupegang. Demikian seterusnya terjadi
berakli-kali di tempat yang sama. Hingga akhirnya beliau menawariku untuk
bekerja dengannya. Dengan bayaran yang besar, pemulung mana yang tak mau. Tapi
sama saja, aku tetap menggunakan baju lusuh, dan wajah yang dekil. Tapi, dari pekerjaan
itu pula lama-kelamaan rongsokan kuanggap tak lagi berguna. Lihatlah! Aku
memakai jas, kemeja dan dasi. Aku dianggapnya seperti anak sendiri. Memasuki
hotel berbintang, perumahan mewah, kafe bersama pak Samsul menemui kliennya. Yang
kulakukan hanyalah mengikuti perintahnya. Hingga dua tahun bersamanya, aku bisa
mengontrak rumah yang mewah. Lebih mewah dari rumahku dulu, apalagi dengan
rumah-rumah di sepanjang lorong perkampungan itu. Aku benar-benar bisa menghirup
udara yang sebenarnya. Segar dan jauh dari aroma lumpur. Aku pun bisa membeli
motor dan mulai bisa pergi ke manapun. Termasuk pergi berkunjung ke rumah
Paman. Tentu dengan hati yang berbingar aku berharap bisa bertemu Citra.
Tiba di rumah paman,
aku tak melihat siapa-siapa. Di sana, hanya rumah kosong tak berpenghuni.
Berkali-kali aku mengetuk pintu sambil berseru salam, tak ada jawaban. Tapi,
tiba-tiba seseorang datang mengagetkanku dari arah belakang.
“Selamat Pagi. Anda
kami tangkap!”.
Aku diam membisu. Lidahku
kelu saat mereka menggiringku ke dalam mobil. Di balik jerui besi, kulihat pak
Samsul tengah berdiri meratap. Dunia sepertinya enggan melihatku bahagia. Dunia
seakan-akan dijungkir balikkan begitu saja. Penangkapan pak Samsul oleh polisi
turut serta menyeretku. Permen?? Ini semua gara-gara permen!. Panjang lebar aku
dibuahi pertanyaan, sampai berbuih aku mengatakan tak menahu tentang perkara
yang kulakukan. Begitu bodohnya aku. Yah, bodoh sekali. Bodoh karena tak mau
mengaku dan berpura-pura tak tahu. Bodoh karena melanjutkan pekerjaan yang sudah
kuketahui haram. Tak lama berproses, aku diharuskan menetap di hotel prodeo 15
tahun lamanya.
Hidup dalam
penderitaan, manusia mana yang mengaku jika waktu berjalan begitu cepat. Tapi
aku menginginkannnya. Aku ingin segera
bertemu dengan paman dan Citra. Di balik jeruji, aku selalu mencoba menghibur
diri agar bahagia. Ya, dengan kebahagiaan, waktu akan terasa begitu cepat. Sangat
cepat hingga menyisakan satu tahun masa mendekamku. Empat belas tahun sudah aku
menikmati dinginnya hotel prodeo. Disana, semua narapidana diberikan pelatihan.
Termasuk aku yang diasah dengan bakat melukis. Belakangan lukisanku dipamerkan
dalam acara pundi amal polri, kemudian dilelang. Tiap kali melukis, tak lupa
kuhadirkan pula beberapa carik surat untuk Citra yang tak pernah terkirim.
Berulang kali kukirimkan, berulang kali pula kertas itu kembali lagi.
Seminggu lagi lapas
tempatku mendekam akan mengadakan bakti sosial. Semua napi dilibatkan dalam
melakukan pelelangan keahlian mereka. Ada yang membuat kerajinan, alat musik
dari bambu, hiasan rumah, ada juga yang ahli memasak. Dan beberapa napi
memiliki keahlian seperti saya, melukis. Entah ketika kuhadapkan diri pada kain
kanvas yang lebar, pikiranku terbang melayang. Seperti burung yang terkurung
sekian lama, kemudian bebas lepas. Sungguh bahagianya. Ingin rasanya aku
mengenang wajah mereka: ayah, Ibu, citra, termasuk diriku. Dengan jeli aku
mulai membentuk garis-garis wajah dengan latar syurga rongsok. Sesekali bola
mata ini kututup sebentar mencoba mengingat kembali sosok mereka. Tapi, tak
jarang pula sengaja kulakukan lebih lama, hingga kurasakan mereka hadir
kembali. Tak terasa, air mata turut menyambut. Cairan bening meleleh lalu
mengular di pipiku.
***
Di dalam ruangan,
tampak manusia-manusia berdasi berjejal keluar masuk. Pebisnis, kolektor hingga
pejabat negara menyambangi tempat kami. Tempat berkaryanya para narapidana!
Aduhai, wajahku terasa terbakar. Yah, dipikiran mereka mungkin kami rendah.
Seorang pembunuh, pemerkosa, pecandu, pencuri dan sebagainya. Aku tak begitu
yakin kalau mereka benar-benar melihat karya kami. Jelas terlihat, beberapa
napi tampak berdiri membisu. Jiwa seorang penjual lenyap begitu saja. Kulihat
pula tingkah mereka yang hanya tersenyum lebar, sambil menunduk merendah.
Memang kontras dengan polah mereka sewaktu di dalam sel.
“Mas, ini lukisannya
bagus,”. Ucap seseorang tiba-tiba memangkas pengedaran mataku.
“Maa..makasih pak,”,
kataku gugup.
Seorang laki-laki tua
di hadapanku itu kemudian mengedarkan pandangannya lagi. Dia menunjuk salah
satu lukisanku yang lainnya. “Yang itu.. gambar siapa?”
“Ohh, yang ini gambar
saya juga pak. Ini keluuu....”, buru-buru aku memotong ucapanku. Tempat ini
terlalu buruk. Sungguh malu ayah, Ibu dan citra memiliki aku yang seorang napi
ini. “Maaf pak, tapi lukisan ini tidak dijual. Ini buat dekorasi saja. Bapak
bisa pilih yang lain..”, kataku dengan cepat menjelaskan.
Pak tua itu kemudian
mengikuti saranku. Tapi hanya melirik sebentar saja. Kemudian dia enyah. Beberapa
orang berdasi sama saja, hanya numpang lewat. Tapi tak begitu masalah.
Lama berdiri menebar
senyum -sambil mengajak pengunjung sekedar menengok hasil lukisanku- sebuah
kursi kujadikan sandaran bokongku. Tapi kemudian seorang wanita muda datang
dengan seorang laki-laki yang tampak sebayanya.
“Selamat datang..”, aku
menyapa mereka berdua.
Si wanita dengan
santunnya menebar senyum. Deg! Aku
merasa sudah lama mengenal simpulnya. Tapi, percuma saja aku mengingatnya.
Empat belas tahun lamanya tampak mustahil melihat senyum sepertinya. Toh,
manusia yang satu sel denganku berjakun semua!.
“Haloo, mas??”
Aku tersentak kaget. “Eh,
iya bu.., ada yang bisa saya bantu??”, tanyaku sedikit panik. Malu, tak sadar
jika pikiran ini menggerayang terlalu jauh mengingat senyumannya.
“Pah, kalau yang ini
bagus tidak ya dipasang di kamar tamu,”;”Pah, ini bagus tidak yah dipasang di
kamar calon bayi kita,”;”Pah, ini terlihat alami, sejuk juga kalau ditaruh di
kamar mandi,”;”Pah, aku bingung mau pilih yang mana. Semuanya bagus,”, ucapan
wanita itu berjejal yang ditujukan untuk laki-laki yang tampak setia
mengikutinya dari belakang. Sedangkan aku yang juga mengikuti langkah mereka
berdua selalu mendapat pertanyaan yang itu-itu saja: mas, yang ini harganya
berapa? Boleh ditawar tidak?. Tapi bagaimanapun pertanyaannya, aku tak begitu
perduli. Aku hanya menjawab ringan, “Murah bu. Bisa kok...”, sambil tetap
menanti senyuman dari bibirnya. Sesekali kudapati itu, dan terasa menyejukkan.
Tapi Entahlah,
tiba-tiba saja senyuman itu berubah.Wajahnya mendadak pucat pasi dan terlihat
murung. Lama wanita itu berdiri mematung sambil memandang, lalu mengusap lembut
lukisan yang khusus kutempatkan paling atas. “Mas, yang ini lukisan siapa?”,
tanya wanita tersebut.
Mendengar
pertanyaannya, jelas dengan sigap aku membalas, “Maaf bu, lukisan itu tidak
dijual. Silahkan cari yang lain saja,”
Wanita itu masih
menatap kosong ke arah lukisanku, kemudian tangannya mulai merayap mengelus
tiap wajah yang terpoles di sana. “Saya hanya ingin tahu saja. Ini lukisan
siapa?”, nadanya bertambah sedikit kencang.
Laki-laki yang tepat
berdiri di belakang wanita tersebut langsung
membujuk pelan, “Sudah mah, lagian hanya lukisan wajah biasa dan rongsokan pula.
Masih banyak yang lebih bagus,”
“Aku ingin lukisan ini
pah,”
“Loh, tadi kan kata
masnya lukisan itu tidak dijual?”
“Berapapun harganya
mas,”, wanita itu kekeh ingin memiliki lukisanku.
Mendadak mulutku
terkunci rapat. Tak mampu menyaksikan cairan bening tumpah dari kedua mata
wanita itu. Raut wajahnya persis seperti... Citra! Ya, aku baru mengingatnya!
Citra adikku. Tapi... apa mungkin dia?
Dengan langkah gugup
aku mendekat, lalu berdiri di dekat wanita yang kupikir Citra. “Ibu bisa memilikinya.
Ibu bisa mengambilnya kapanpun,”, kataku menjurus. Wanita itu segera menatapku
pilu. Lalu tersenyum. Kembali otakku berlari mengingat paras Citra. Sesekali
pula kupadankan wanita itu dengan polesan Citra yang tergores di atas kain
kanvas. “Asal ada syaratnya.”, lanjutku.
“Apa?”, katanya menahan
tangis.
“Ibu harus berjalan
menunduk, dari sini ke arah pintu keluar. Sambil menyanyikan lagu Indonesia raya.
Ingat! Tidak boleh mendengarkan mereka yang ada di sini,”.
Suami wanita itu hampir
saja menyerudukku, tapi istrinya dengan sigap membiarkan dirinya melakukan itu.
Wanita itu lalu
mengikuti aturanku. Menunduk, lalu menyanyikan lagu Indonesia raya dengan
lantang meski terdengar menyiur lambai. Seperti
kaset molor. Pantas saja, ia menangis! Semua pengunjung memperhatikannya.
Keadaan ruangan mendadak sunyi. Tak lama kulihat wanita itu telah sampai di
bibir pintu. Dia segera berbalik. Dia melemparkan senyum untukku. “Kak
Andy!!!!”. Dia berlari menghampiriku kembali. Aku menangkap badannya. Hingga kami
benar-benar berpelukan penuh isak tangis. Semua hadirin tampak tidak mengerti
apa yang sebenarnya terjadi..... Jauh sebelumnya, mungkin Citra merasakan apa
yang aku rasakan. Sebuah ikatan batin memang tak bisa dipisahkan.
Citra,
bawalah lukisan ke dalam duniamu. Berbahagialah bersamanya, dan biarkanlah
kakak yang merasakan getirnya nafas dunia ini...
Oleh Tarmudi
Naskah Lomba Cerpen Remaja 23/ 9/2013
No comments:
Post a Comment