Memasuki
jam ketiga, Satrio, dengan cepat menghapus seluruh coretan yang bersarang di atas
papan hitam. Coretan yang tak begitu indah, namun syarat makna. Sesekali
kuperhatikan, mulutnya komat-kamit tiap mulai meleburkan ukiran debu putih dihadapannya
itu. Bahkan tak jarang, ia sengaja menghentikan diri, lalu melongok ke coretan
sebelahnya. Tak lama, ia manggut-manggut seolah-olah ada yang mengajaknya
bicara. Lalu ia segera menghapus coretan kapur di hadapannya kembali.
Bukan hanya Satrio,
yang saat itu memang petugas piket. Tapi, hampir semua teman sekelas melakukannya
dengan cara yang sama. Mereka pikir, terlalu sayang, jika coretan yang dibuat
oleh Ibu Kiki terbang mengabu begitu saja.
Hingga satu hal yang sering aku perhatikan, yakni sebuah titik yang
tertinggal. Sebuah titik yang selayaknya menjadi saksi akhir dari permainan
bersama kimia.
***
Masih
tersimpan dengan rapi semua memori mengesankan bersama beliau. Terutama pada
jam pertama dan kedua di hari selasa. Mendengar nama kimia saja, rasanya
menjadi hari yang sangat menyeramkan. Bayangkan saja, suasana pagi yang segar, sudah
dicekoki dengan materi yang begitu sangar. Di mata teman-teman juga, mungkin
sosok Ibu Kiki menjadi momok yang sangat menakutkan. Guru yang berjasa dibalik
pelajaran kimia itu bahkan tak jarang meletupkan suaranya hingga membuat
keadaaan kelas menjadi tenang seketika. Ya, tenang dalam ketegangan.
Pagi itu, tak
seorangpun yang berani datang terlambat, meski sedetik. Anehnya, ini hanya
terjadi pada pelajaran kimia. Jelas, lontaran pedas yang diucapkan Ibu Kiki tak
seorangpun yang mau menerimanya.
“Kenapa kamu telat?”,
tanya beliau dengan penuh letupan. “Kamu mau jadi apa?”, lanjutnya lagi.
Biasanya, siapapun yang menerima pertanyaan dari Ibu Kiki, hanya berbicara sedikit,
“Maaf bu..”, tentunya dengan nada yang meliuk gemetar.
“Sudah. Besok, kalau
pas pelajaran saya datang terlambat lagi, kamu mending keluar. Tidak usah ikut
ulangan juga, apalagi tanpa alasan yang tidak jelas!”, ucap beliau lagi
menjejal. “Kamu ini bisa mengganggu yang lainnya, tau tidak??”
Seperti sebuah tradisi,
mereka yang mendapati ini, langsung menunduk pasrah, lalu hati berkobar berorasi
untuk merubah diri. Terbukti nyata, hampir setiap pelajaran kimia menjadi jam
yang pertama, siapapun yang pernah dicap sebagai anak siang, berangkat lebih
awal, entah dengan kondisi mata yang masih tampak sayu, ataupun rambut yang tak
begitu rapi tersisir. Di lain hari, diluar pelajaran kimia, entahlah. Kebiasaan
si anak siang kembali seperti semula.
Antara kegarangan dan
ketegasan memang tidak dapat kami bedakan terhadap sosok Ibu Kiki. Justru
antara hidup dan matipun, sepertinya kami enggan membedakannya, meski hanya
menyebutkan satu saja. Bagi kami, pelajaran kimia adalah hal yang paling
terpenting. Meski harus berkali-kali memutar otak, hingga tiba-tiba memanas
begitu saja lalu merontokkan benih-benih keceriaan di pagi hari.
Tubuhnya yang tinggi
semampai berdiri di depan kami. Sambil menyebarkan pandang, ia melempar senyum
ramah pada murid yang dididiknya-kami.
“Selamat pagi..”,
sapanya.
Seperti biasa pula,
sapaannya berbalas lusuh, “Pagi bu..”, kami kompak.
Sebuah intermezo pun
dilemparkan beliau untuk kami. Beliau bercanda, memuji beberapa muridnya,
kemudian disusul dengan gelak tawanya. Sedangkan kami, harus sedikit meringis
mengirit energi akan leluconnya. Setelah sedikit intermezo, beliau lalu membuka
buku materi yang akan disampaikan. Tak lama, beliau lalu mencermatinya sambil
duduk di atas kursinya.
“Fandi tolong bacakan
halaman tiga puluh dua...”, perintahnya sambil membenarkan posisi kacamatanya
yang melorot.
Fandi, temanku, tentu
dengan segera membuka halaman yang dimaksud. Kemudian dengan lantangnya ia
membaca, meski dengan suara yang meliuk-liuk bak kaset pita yang molor. Sedangkan
gerakan matanya tampak setia mengikuti gerakan jari telunjuknya yang berjalan
mengikuti tiap susunan kata yang berderet menjadi sebuah kalimat, kemudian
paragraf. Selesai.
“Fandi, coba sekarang
tutup bukunya, terus terangkan lagi apa yang dimaksud dengan Ion, Molekul, dan
senyawa yang barusan kamu baca.”, berondol Ibu Kiki melabrak otak Fandi. Tak
elak, tantangan yang didapatnya membuat badannya setengah kaku. Lalu sembari
menutup bukunya, ia menerawang ke langit-langit mencoba mengingat. Hal ini
menjadi agenda rutin yang kami dapatkan secara bergulir. Ada yang grogi
setengah nyawa, ada juga yang enteng menjawab dengan ringan, karena sebuah
persiapan yang sudah dilakukan. Pada setiap pertanyaan yang terlontar, hampir seluruh
muridnya terperanjat hebat. Dan tanpa komando pun, kami langsung berkomat-kamit
menghafal jawaban yang mungkin akan dilontarkan ke lain pihak. Dahsyat!
Sebuah guratan yang
dihidangkan oleh Ibu Kiki sangat kontras dengan mimik kami yang memerah padam.
Senyum beliau terlihat menyebar melihat gelagat dan ekspresi yang kami
tuangkan.
“Baguss.. pinter....”,
pujinya pada siapa-siapa yang mampu menjawab pertanyaannya. Lega.
Tak lama setelah itu,
beliau bangkit dari tempat duduknya, kemudian pada sebuah papan tulis ia mulai menggerakkan
kapur putih mengukir angka. Tulisannya terbilang singkat, padat, ringan dan
jelas. Demikian dengan setiap penjelasan yang dilontarkannya, selalu menjurus
pada hal yang sebenarnya sulit, namun dibuatnya lebih mudah. Kami, dengan
seksama memperhatikan dengan jeli setiap goresan yang terangkai jelas di depan
mata. Lemparan pertanyaan selalu beliau berikan untuk kami yang kepergok tidak
memperhatikannya. Sepanjang penjelasannya pula, kami dilarang menyentuh sebujur
pena. Jika satu saja melanggar, tentu, akan semakin banyak lontaran pertanyaan
yang menyerbu kepala.
Pada penjelasan
terakhirnya, tak pernah terlewatkan pula saat beliau memberikan waktu pada kami
untuk bertanya. Di sini, sedikit sekali yang memiliki nyali. Hingga akhirnya,
kembali beliau menunjuk beberapa dari kami untuk maju ke depan kelas, kemudian
mengerjakan soal yang akan beliau berikan. Seperti biasa, keadaan menjadi
kalang kabut.
Tak butuh waktu yang
singkat memang, untuk memahami dalam pelajaran kimia khususnya. Tetapi seperti
sudah terancang dengan rapi, Ibu Kiki menunjuk satu dari kami untuk bisa
menjelaskan ataupun memaparkan kembali apa yang telah beliau jelaskan kepada
murid-muridnya. Tentu dengan bahasa yang lebih halus, penuh rasa persahabatan.
Hal tersebut tentunya tidak diberikan secara Cuma-Cuma. Guru kita yang
berkacamata ini juga selalu memberikan sedikit ceklist pada nama muridnya yang berani tampil ke depan kelas.
Seperti uji nyali, banyak dari kami yang mau mau ragu. Tetapi tak sedikit pula
yang berani menjelaskan materi secara terperinci, meski dengan segerompolan
peluh di dahinya, ataupun jemari yang bergetar, serta suara yang
tersendat-sendat.
Bel pergantian
pelajaran berdering, beliau tidak pernah absen untuk memberikan tugas kepada
kami, kemudian perintahnya untuk membaca materi berikutnya.
***
Dari
dalam ruang kelas, beberapa dari kami terlihat panik sambil menulis apa yang
dihadapan kami. Ya, terkadang kami tidak menyelesaikan semua tugas yang
diberikan. Bisa dikatakan kemampuan kami terbatas. Tapi bagaimanapun itu,
ditengah gurun pasir yang tandus selalu ada oase yang mencegah dehidrasi,
membasahi tenggorokan. Pasti dua atau tiga orang dari kami selalu menjadi
harapan yang selalu menyala sepanjang waktu.
“Eehhh.. ada ibu Kiki!”,
bisik siapa saja yang melihat kepala menyembul naik turun dari balik jendela
kaca kelas. Jelas sekali, itu bu Kiki! Dari bentuk kepalanya yang terbungkus
kain halus saja sudah kentara. Apalagi... suara celetukan sepatunya yang
semakin mendekat. Buru-buru kami kembali ke tempat masing-masing, lalu
berharap-harap cemas. Ada yang terlihat sumringah sudah pasti, mengingat tugas
yang sukses tergarap dengan sempurna.
Seperti biasa, Ibu Kiki
berbicara sambil menyebar senyum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tugas.
Beliau meminta kami untuk maju dan membahas setiap tugas satu-persatu. Siapapun
yang maju, sudah pasti memasang wajah yang berbinar-binar, karena sudah selesai
mengerjakannya. Tapiii.... tunggu!
“Kalian kalau maju
tidak usah membawa buku tugas. Cukup ditulis diketahui, kemudian dijawab, dan
terangkan pada yang lain!”, terangnya menyentak sanubari.
Dunia serasa hendak
runtuh. Mereka yang terlanjur menempel pada papan hitam mendadak kaku. Wajah
yang berbinar? Mendadak mengkerut.
Hampir saben tugas,
kami tidak bisa menyelesaikan satu dua pertanyaan. Lalu dengan semangatnya
beliau mengukir tiap lambang senyawa kimia dengan beberapa angka. Ukirannya
sangat jelas. Tebal, bahkan lebih tebal dari ukuran biasanya dan terlihat lebih
besar. Sedangkan kedua bola matanya terlihat jeli menatap puluhan pasang mata
di depannya. Hingga kemudian ukirannya berakhir dengan suara ketukan keras. Dan
setelah kulihat, itu tanda titik.
***
Ulangan harian.
Layaknya sebuah kereta, kami mengerjakannya dengan penuh keyakinan. Betapa
tidak? Ingatan itu... ya, paling tidak membekas di dalam otak. Beberapa soal
yang diajukan pun tak jauh beda dari yang beliau paparkan. Semuanya terekam
secara sempurna, meski terkadang harus menggigit ujung pulpen untuk
mengoreknya, ataupun dengan menggaruk rambut, agar semua ingatan terbuka
sempurna, kami bisa melakukan itu semua.
Hingga pada hasil akhir yang menentukan. “Ini dia,
yang ibu inginkan!”, katanya sambil bedecak kagum pada hasil yang kami peroleh.
Meski tak secara keseluruhan. Titik terakhirnya, menyentak, hingga membekas
sampai pada ingatan yang takkan pernah berbekas, dan selalu ada tentangnya.
***
Beberapa bulan
kemudian, Senin, diatas sebuah podium Kepala Sekolah Negeri 3 Slawi berdiri
dengan penuh senyu semangat. Kedua tangannya tampak kuat membentang sebuah
stopmap berwarna merah jambu. Kumisnya yang tebal terlihat mulai mendekat pada
sebuah mikrofon.
“Anak-anakku yang saya banggakan. Bapak di sini
ingin memberikan ucapan selamat kepada putra-putri sekolah kita yang tercinta,
yang telah memenangkan perlombaan atau olimpiade yang diadakan satu minggu yang
lalu. Bagaimanapun, kita harus berbangga pada mereka yang sudah mengharumkan
nama sekolah kita.”, tukas pak Susono menggema. “Juara Tiga Olimpiade
Matematika oleh Dwi Agus... Juara Tiga Olimpiade Komputer oleh Opik...”,
demikian ak Susono beruntun membacakan. Lautan remaja berbaju putih abu-abu
tampak antusias mendengarkan. Dan semakin antusias, ketika yang ditungu-tunggu
itu datang... “Juara pertama Olimpiade kimia, diraih oleh Dayat..”
Tepukan meriah menyusul dengan cepat. Semakin meriah
tepukannya, hingga mengantarkan langkah sahabat berprestasi kami, terkhusus
Dayat hingga sampai di hadapan pak Susono. Pada deretan para pahlawan di depan
kami, terlihat senyum yang mengembang dari seorang Ibu Kiki. Kacamatanya
berkerlip memantulkan cahaya yang berpendar, entah dari mana. Bahagia!
“Beliau telah
membimbing saya dengan penuh kesabaran dan semangat. Beliau juga mengajari saya
bagaimana caranya menjadi siswa yang unggul. Kerap kali saya melakukan
kesalahan, beliau menegur saya, tapi dengan cara yang berbeda. Yang kutahu, itu
cambuk, cambuk agar saya percaya, semuanya bisa. Dan ini semua terjadi....
Terima Kasih Ibu Kiki..”, kata Dayat berseloroh.
Antara ketegasan dan kegarangan adalah dua hal yang
berbeda. Tapi kebanyakan insan menganggapnya sama saja. Padahal jika diruntut,
sebuah ketegasan selalu berdasarkan pada alasan dan tujuan yang kuat yang bisa
memberikan suatu hasil yang lebih baik, bahkan memuaskan. Sedangkan kegarangan
hanyalah subuah emosi yang meletup-letup yang tidak anda kemanfaatannya sama
sekali. Dan pada akhirnya, kami mengerti. Titik.
No comments:
Post a Comment