NavBar

Sunday, January 1, 2012

Gue guru muda?! (part 3)


 “coba kerjakan nomer lima!”
gue menjalankan instruksinya. kali ini gue gak bisa berbuat apapun. gue hanya bisa mengotori buku dengan coretan angka yang tak berujung. soal perkalian faktor yang harusnya diberikan di kelas enam harus terpaksa gue kunyah. hingga akhirnya gue benar-benar berhenti mengukir, semua angka sudah gue jamahi, tiga langkah percobaan sudah gue lucuti.
 “coba lagi!”, teriak mbak Erna kalut.
gue mengangguk menyerah. sepertinya sia-sia saja gue mengerjakannya. gue hanya bisa memegang bolpoin dan menancapkannya di atas buku yang kurasa tak membantu gue. “gak bisa,”, ucap gue lirih sambil menunduk.
“sini!”, ujar mbak Erna sambil meraih merebut bolpoin yang di genggaman gue. gue tahu, perasaannya kalut saat itu, mengajari gue, seorang Tarmudi Bahari yang tergolong berotak tumpul (pada saat itu). “nih,”, ucapnya lagi lebih dekat. kali ini, orang yang di depan gue, berpindah tempat tepat disamping gue, tanpa jarak. tangannya menarik kencang buku gue, kemudian dengan tegas dia mengukir di atas buku gue dengan bolpoin yang masih di genggamannya. “gini loh! gini!”, ucapnya selalu sambil mencoret-coret hingga gue saksikan dia menyisakan lubang di atas buku gue. hati gue menjerit. “paham?!!”
gue mengangguk penuh misteri. air mata mulai bergelayut.
“nih, kerjain nomer enam! harus bisa!! kamu tuh bentar lagi kelas enam, harus bisa!”
    6.  35=3 x 7             FPB= 2x3x5x7 = 210
          40=23 x 5                        KPK= 23x3x5x7 = 840
selesai. kali ini tanpa hambatan gue mengerjakannya, meski cukup lama untuk menyelesaikannya. bukan karena benar-benar belum bisa, tetapi kali ini gue sengaja memperlambat otak untuk bekerja, agar waktu belajar gue terkikis oleh waktu, nah. gue harap malam segera larut. keringat dingin sudah jelas mengucur bersiap mendengarkan komentar sadis mbak Erna.
“sudah...”, ucapku ragu, sambil menyodorkan buku.
“mana?”, ucapnya setelah berhenti dari mengikis kukunya. matanya terlihat jeli mengoreksi tiap sudut angka. dengan pengikis kukunya, dia menunjuk setiap angka yang terukir. “ya..”, komentarnya pelan lalu sedikit mengangguk.
kruyukk..kruyuk... perut gue menjerit kelaparan.
mbak Erna beralih menatap gue dengan membabi buta. “apa itu?”
gue menggeleng pelan, lalu berkata, “eng..enggak”
“yap! benar!”, teriaknya kemudian tanpa menghiraukan jawaban gue barusan.
gue membuang menarik nafas lega. akhirnya gue bisa...
“sekarang lanjutkan nomer tujuh, sampai.....”, ujarnya memotong harapan gue. gerakan tangannya membuka buku membuat gue merasa terpasung. “sampai dua puluh”
gubrakkkkk!!! alamakkkkkk!!! tiga belas soal?? boro-boro! satu soal saja gue... lama banget!
gak ada komentar sedikitpun yang patut gue lemparkan. percuma saja, hasilnya pasti sama. “bentar lagi kelas enam! kelas enam! kelas enam!”. Sembari megukir yang membutuhkan waktu lama, gue meremas perut yang bermain musik gendang riuh. mbak Erna yang melanjutkan diri mengikis kukunya seolah-olah tak mendengarnya. sesekali dia memang menatapku, dan bertanya bukan mengenai perut gue, tetapi.. ”sudah belom??!”. soal nomer tujuh sudah gue takhlukkan. berikutnya menginjak nomor delapan. soalnya gue rasa bertambah rumit. tetapi kali ini gue harus cepet selesai. perutku baby, bentar lagi papah selesai.. sabar yah, gue dalam hati.
“belajarnya belum selesai yah?”, seseorang berucap dari arah dapur. disusul dengan aroma sayur ketupat yang tak asing lagi di kepala hidung gue.
gue mencuri perhatian pada ukiran di depan gue, dan dengan cemas gue melengos ke arah suara. tepat seperti yang gue bilang. emak datang dari dapur dengan dua piring penuh berisi ketupat sayur yang masih menyembulkan asap. saat itu, emak bagaikan pahlawan gue, yang menyelamatkan masa-masa penjajahan dari mbak Erna.
“eh, mak, hati-hati..”, ucap mbak Erna setelah melihat emak. gue langsung beralih kembali menatap buku.
“udah, makan dulu saja..”, ujar Emak sambil menaruh dua piring ketupat di atas meja. gue menggeleng dalam ketakutan. sedangkan mbak Erna masih menatap gue tajam. “udah, gak papa...”, lanjut Emak kemudian menata buku yang sedang gue kerjakan. sepertinya dia tahu apa yang sedang terjadi.
“udah, makan dulu saja..”, susul mbak Erna sedikit ramah.
prosesi makan bersama dimulai. hap..hap..hap.. kali ini berasa semuanya tergantikan. emak memang jago memasak.
“eh, Ri, habis makan kamu cuci muka, terus tidur,”, papar mbak Erna.
gue menyeringai mendengar perkataanya. masih penasaran akan kebenarannya. “tapi kan belum selesai..”
‘udah, buat besok lagi,”
mendadak selera makan menghilang. besok??! perang dunia keempat!. gue mengangguk kaku kemudian.
“Ri, tambah lagi gih,”, emak berujar.
“iya..”, jawab gue dengan senang hati.
“wuhhh... giliran tambah makan saja senengnya sampai bikin mulut belepotan. kalau suruh tambah soal saja tadi, malah nangis....”, ejek mbak Erna menatap gue.
“tapi Er, buat kamu gak ada lebihnya. kali ini mengalah sama adikmu yah, kalau saja daun di pekarangan cukup, emak bisa bikin lebih,”
“daun di pekarangan emangnya kenapa mak??”
“sepertinya ada orang yang Cuma mengambil pelepahnya saja. daunnya dibiarkan berserakan di tanah, sampai layu dan gak bisa kepakai lagi,”
pelepah??!!?!
“mak, Bahri...”, ucap gue memenggal pembicaraan mereka. gue bermaksud menjelaskan yang sebenarnya. tatapan dua orang gadis itu begitu serius. “bahri mau ke belakang,”, gue melanjutkan menaggalkan niat. wah, bisa-bisa telinga gue bisa hancur nih kalau gue ngaku!
hingga sampai malam larut, gue masih berpikir pelepah itu masih menjadi misteri buat emak. dan buat gue, menyembunyikannya adalah keputusan yang terbaik. #phuss...phusss

No comments: