NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Sepatu Baru Rio"

“Pokoknya ibu harus belikan Rio sepatu baru. Titik!”, pinta Rio paksa.
“Rio, sabar ya, nanti kalau sawah pak Ali panen, pasti ibu belikan,”, bujuk bu Marni pada Rio.
Lalu, sambil bangkit dari kursinya, anak bu Marni yang masih duduk di kelas 3 itu berkata lagi, “Rio gak mau sekolah kalau ibu tidak belikan Rio sepatu baru!”.
Begitulah permintaan Rio pada bu Marni akhir-akhir ini. Ia pun hanya bisa mengelus dada setiap menghadapi anak bungsunya itu. Penghasilannya yang tak menentu memaksanya hidup dalam serba kekurangan.Sebagai pekerjaan rutin, bu Marni biasa menggarap dan menanam tanaman padi di sawah pak Ali, tetangganya. Sambil menunggu masa panen tiba, terkadang wanita separuh baya itu merangkap pekerjaan menjadi buruh cuci. Keadaan saat itu memang menjadi keadaan tersulit yang ia lewati bersama kedua anaknya, sepeninggal suaminya, ayah Rio karena sakit keras. Selain itu, dari beberapa pekerjaan suaminya semasa hidup, hanya ada satu yang bisa ia gantikan, yaitu bertani. Selebihnya, seperti menjadi sopir angkot, dan karyawan bengkel tidak bisa ia lakukan karena membutuhkan keahlian yang khusus dan sangat berat untuk wanita separuh baya seperti dia.
Saat ini, ia hanya bisa mengharapkan hasil panen untuk bisa memenuhi keinginan Rio, pikirnya.
“Rio...”, ucap bu Marni memanggil Rio yang sudah berlari terisak-isak ke luar kamar. Kemudian dengan segera ia menyusul anak bungsunya itu. Namun, sesampai di bibir pintu, bu Marni menjumpai seorang laki-laki yang masih berseragam sekolah merah-putih lengkap dengan atributnya. Tubuh anak laki-laki itu sekitar sepuluh sentimeter lebih tinggi dari anak bungsunya, Rio. Wajahnya hampir tak bisa dibedakan dengan Rio. Dilihatnya, anak laki-laki itu tersenyum, dengan matanya yang berkaca-kaca.
 “Ibu..”, sapa anak laki-laki itu sambil menjabat tangan bu Marni lalu menciumnya.
 “Galang, sudah pulang?”, tanya bu Marni sambil mengusap rambut anak sulungnya tersebut.
“Di sekolah ada rapat, jadi Galang pulang lebih awal.”, balasnya sambil melepas jabatan. kemudian ia segera menunduk menyembunyikan lelehan air matanya.
Tak sengaja, tetetan air matanya jatuh diatas telapak kaki ibunya. “Galang, kenapa? kok menangis?”, tanya bu Marni yang sudah mensejajarkan diri dengan Galang.
Galang mengusap segera air matanya. Lalu ia mengangkat kepalanya segera sambil melemparkan senyum,”Tidak apa-apa bu. Ini mungin kelilipan,”, sanggahnya.
“Oh, kelilipan...”, balas bu Marni mengembalikan senyum. “Ya sudah, Galang ganti baju dulu, terus jangan lupa makan siang.”
Galang mengangguk pelan. Kemudian bu Marni mulai meninggalkannya. Perasaannya berbeda. Dia merasakan anak pertamanya itu sedang dirundung kesedihan. Dengan sekuat apapun galang menyembunyikannya, bu Marni tetap akan merasakannya. Sambil berjalan menghampiri Rio yang entah ke mana, sesekali bu Marni mencuri pandang pada Galang yang tengah tertunduk menatap sepatunya.
*****
Di dalam kamar, diatas kasur yang sempit, laki-laki yang duduk di kelas 6 itu mulai memainkan jemarinya diatas selembaran kertas. Sorotan matanya mengikuti setiap susunan angka yang ia tunjuk. Mulutnya berkomat-kamit membaca jeli catatan tabungannya.
“Tinggal sedikit lagi..”, katanya sambil tersenyum. Kemudian segera beralih melepas sepatunya. Sepatu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya kini telah berlubang. Wajar saja, sepatu yang dibelikan oleh ayahnya tiga tahun silam itu tidak bisa menopang ukuran telapak kakinya yang semakin bertambah panjang. Tak jarang, ia harus melipatkan jari kakinya untuk bisa tepat masuk di tiap ruang sepatunya. Mata Galang benar-benar jeli memandang setiap bagian sepatunya. “Terima kasih..”, ujarnya pelan pada sepatunya. Ia teringat saat beberapa minggu yang lalu, sepulang sekolah, ia melihat harga sepatu di toko MURAH. Dari sisi model yang sederhana dan ukuran yang pas buatnya, ia berniat akan membeli sepatu itu. Baginya, harga sepatu itu paling murah, meski baginya jumlah itu masih berharga mahal. Tetapi sepertinya keinginan Galang untuk membeli sepatu baru sangat kuat. Apalagi menjelang SMP nanti, telapak kakinya pasti semakin bertambah panjang dan besar, pikirnya. Hal tersebut membuatnya selalu menyisihkan uang saku. Karena minta sama ibu tidaklah mungkin, pikirnya lagi. Bahkan, ia tak bisa secara rutin mendapatkan uang saku. Itu saja kalau bu Marni dapat dari jatah mencuci. Jika uang saku tak mencukupi, Galang selalu mengalah dan lebih rela diberikan untuk adiknya, Rio. Karena bagaimapun juga Rio adalah anak kecil yang belum mengerti betul akan kehidupan yang mereka jalani.
******
Seminggu sudah Galang membantu ibunya sebagai buruh cuci. Sudah seminggu pula Rio, adik Galang tak mau berangkat ke sekolah. Sudah berulang kali bujukan diberikan, tetapi masih saja si bungsu tetap dengan pendiriannya itu. Meskipun begitu, Galang tidak membiarkan adiknya menjadi anak yang bodoh. Oleh karena itu, setiap malam ia selalu menemani Rio untuk belajar di rumah dan meski dengan bujukan akan dibelikan sepatu.
“Nak, kamu istirahat dulu. Biar ibu yang menyelesaikan,”, ujar bu Marni sambil memeras cucian.
“Galang belum capek bu. Nanti saja, kalau cuciannya sudah selesai.”, balas Galang sambil tetap menyikat pakaian.
Mendengar jawaban anak sulungnya itu, bu Marni menghentikan memeras cuciannya sesaat.
“Ya sudah,”, balas bu Marni menyerah. “Kamu sudah bujuk adikmu agar mau berangkat sekolah?”, tanya ibu Galang meneruskan.
“Sudah bu. Tapi dia tetap tidak mau. Malu sama teman-temannya, katanya.”
“Ibu sudah beberapa kali membujuk, tapi jawabannya cuma sepa.....”, papar bu Marni tak melanjutkan.
“Sepatu?”, ucap Galang melanjutkan. “Nanti Galang belikan. Galang punya tabungan kok, nanti kalau sudah cukup, buat membeli sepatunya Rio,”
“Tapi..”
“Sudahlah bu,”, potong Galang sepertinya mengetahui betul akan ucapan bu Marni selanjutnya. “Kalau masalah sepatu Galang, nanti saja. Itu lebih baik daripada Rio tidak bersekolah,”, ucapnya lagi sambil melempar senyum.
Bu Marni benar-benar tertegun mendengar semua ucapan Galang. Anak sulungnya itu selain dikenal mandiri, juga dikenal pintar oleh teman-temannya. Bahkan, dia mendapatkan beasiswa masuk SMP, sampai-sampai tak sepeser pun uang yang dikeluarkan bu Marni untuk anaknya itu.
****
Menjelang hari pertama masuk SMP, Galang terus dibayang-bayangi dengan sepatunya yang sudah tak layak pakai. Tetapi bayangan itu segera ia tepis setelah memikirkan adiknya, Rio. Ia lebih memilih membelikan sepatu untuk adiknya, daripada untuk dia sendiri. Rasa sayang Galang ternyata sungguh besar pada adiknya itu.
“Galang... ibu punya sedikit uang,”, ucap bu Marni sambil menyodorkan selembaran uang. Jumlahnya memang tak banyak, tetapi setelah dihitung-hitung, jika digabungkan dengan tabungan Galang, uang itu sudah cukup untuk membeli sebuah sepatu baru. Bahkan ia masih bisa mendapatkan uang. “Ini uang dari mencuci kemarin,”, lanjut wanita tua itu.
“Bu, ini cukup buat membeli sepatu Rio,”, balas Galang tersenyum setelah menghitung jumlah uang di genggamannya.
Dari dalam kamar, tiba-tiba muncul Rio yang langsung berteriak kegirangan. “Horeee....!! Rio beli sepatu baru!!!”, serunya ceria sambil memutari kakak dan ibunya. Ternyata, sejak tadi Rio antusias mendengar isi percakapan Bu Marni dan Galang di balik pintu kamar.
Melihat adiknya kembali ceria, Galang lantas segera memeluk Rio. Lalu, diikuti dengan pelukan bu Marni yang bangga memiliki anak seperti Mereka.
“Rio, sekarang mau berangkat sekolah kan?”, tanya Galang memastikan.
Rio manggut-manggut mengiyakan.“yuk, kita pergi ke toko!”, ajaknya kemudian bersemangat.
Galang balas mengangguk setuju. Sedangkan bu Marni tersenyum setengah melihat keceriaan Rio. Karena kebahagiaan Rio tak bisa dirasakan pula oleh kakaknya, pikir bu Marni. Selepas berpelukan, Rio segera menarik kakaknya ke dalam kamar. Sesampainya, dengan sigap, tangan lembut Rio meraih sepatunya.
“Kak Galang, Rio mau ucapin selamat tinggal sama sepatu Rio..”, kata Rio polos sambil menyodorkan sepatunya.
“Itu.. itu sepatu kak Galang,”, balas Galang sambil terkekeh, saat melihat Rio yang ternyata mengambil sepatunya. “Tuh, sepatu Rio ada di bawah meja.”, lanjut Galang sambil menunjuk.
Entah kenapa, tiba-tiba Rio terdiam seketika. Sorotan matanya menjalar ke setiap sisi sepatu yang ia genggam. “Kak, sepatu kak Galang....”, katanya tak melanjutkan.
Galang segera merebut sepatunya dari genggaman Rio. “Ah, sepatu kak galang bagus kan??”, ucapnya lagi terkekeh. “Yuks, jangan lama-lama. Nanti tokonya tutup loh..”, ajaknya kemudian.
Yuks, Rio sudah tidak sabar nih,”, balas Rio bersemangat.
Meski terasa berat, Galang berusaha kuat demi kebahagiaan adiknya. Rasa sayangnya semakin besar ketika ayah mereka meninggal. Terlebih, ayahnya berpesan agar Galang harus selalu menjaga Rio.
Di toko sepatu, dua orang bersaudara itu sibuk memilah-milah sepatu yang sesuai untuk Rio.
“Rio.. yang ini bagus,”, kata Galang sambil menyodorkan sepatu.
Tanpa pikir panjang, Rio segera menyusupkan kakinya mencoba sepatu itu. Rio tersenyum ceria. Wajahnya tak nampak kesedihan sedikitpun. Hingga kemudian ia berlenggak-lenggok di atas sepatu yang ia coba.
“Bagaimana? suka tidak?”, tanya Galang. Wajahnya tak kalah dengan adiknya, penuh dengan senyuman. Sekali lagi, bagi Galang, kebahagiaan Rio adalah kebahagiaannya juga.
“Rio suka sekali kak,”, pangkas Rio kemudian.
Galang nyengir kuda, lalu berkata, “Kalau suka, ambil saja. Kan kakak yang bayar?”
Entah kenapa, tiba-tiba raut wajah Rio berubah. Segera ia berlari menghampiri Galang. “Kak Galang tidak membeli sepatu juga? kan sepatu kakak rusak?”, tanya Rio sambil mengangkat kepala menatap kakaknya.
Mendengar pertanyaan adiknya, Galang terkekeh, lalu ia memencet hidung Rio pelan. “Kamu ini. Kan sepatu kakak masih bagus?”, jawabnya menghibur. Mendengar jawaban kakaknya, Rio tertawa. Lalu dengan segera ia melepaskan sepatu yang sedang ia coba. Ditengah-tengah, ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
Sesaat kemudian, Galang langsung membawa sepatu itu ke arah kasir.
Belum sampai pada tempat pembayaran, tiba-tiba Rio memanggil kakaknya. “Kak!”
Galang berhenti melangkah, lalu ditatapnya mata Rio, “Ada apa lagi?”
“Rio tidak suka sepatunya. Cari yang lain saja yuks?”, ajak Rio kemudian.
Galang terheran mendengar pernyataan adiknya itu. “Loh, tadi bilangnya suka?”
Rio terdiam sejenak memikirkan jawaban. “Hem....”, gumamnya. “Itu kan tadi. Tapi, sekarang Rio tidak suka,”
“Terus maunya gimana?”, tanya Galang menawarkan.
“Beli di lain tempat saja,”, balas Rio tersenyum.
Tanpa berpikir panjang, Galang menuruti keinginan adiknya. Mereka kemudian kembali mencari sepatu di toko sebelah. Pandangan Galang terpusat pada setiap toko sepatu yang ia jumpai. Berbeda dengan adiknya, Rio yang terlihat sibuk memandang tiap lapak pedagang yang berjejer di tepi jalan. Tak berapa lama, mereka sampai di depan toko sepatu yang berbeda dari sebelumnya. “Yuks, masuk!”, ajak Galang kemudian sambil menggenggam tangan mungil adiknya.
“Tunggu kak!”, ucap Rio mencegah.
Galang merendahkan badannya, mensejajarkan diri dengan Rio. “Ada apa?”
“Itu!”, jari mungil Rio menunjuk ke salah satu tumpukan sepatu di seberang jalan. “Rio ingin sepatu yang di sana!”, pintanya kemudian.
Galang terkejut saat menyusuri jari telunjuk adiknya. “Loh, itu kan sepatu bekas?”
“Tapi Rio suka,”, ucapnya sedikit memaksa. Tanpa menyanggah, seperti biasa, Galang menuruti permintaan adiknya tersebut. Kemudian mereka menyeberangi jalan dan menuju tempat yang dimaksudkan Rio.
“Kak, kita beli di sini saja, biar kak Galang juga punya sepatu baru seperti Rio,”, bujuk Rio kemudian.
“Maksudnya?”, Tanya Galang tak mengerti.
“Rio ingin kak Galang juga memakai sepatu yang baru. Biar ini sepatu bekas, tapi kalau dicuci pasti baru lagi. Dan tentunya... murah meriah!”, papar Rio lagi.
Mendengar ucapan adiknya, mendadak senyumnya tak bisa disembunyikan lagi. Lalu ia segera memeluk erat laki-laki yang di hadapannya tersebut. “Rio baik sekali. Kakak bangga punya adik seperti Rio,”
“Siapa dulu dong kakak Rio, kak Galang..”, balas Rio tersenyum riang.
Ternyata, pikiran Rio berubah saat ia mengingat keadaan sepatu kakaknya yang ternyata lebih parah dari miliknya. Tidak ada yang bisa dilakukan Rio untuk membahagiakan kakaknya, selain membagi kebahagiaan tersebut, pikirnya saat itu.
Kini, kedua bersaudara itu pulang dengan membawa dua pasang sepatu. Ternyata, harganya separo lebih murah dari harga sepatu di toko. Walaupun sepatu bekas, yang terpenting bagi mereka masih bisa digunakan, dan tentunya untuk kebahagiaan bersama.

oleh Tarmudi
Cerpen anak saat sayembara Puskurbuk '12

No comments: