NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Tania si dokter Kecil"

Musim hujan telah tiba. Dibalik jendela rumah, terlihat guratan wajah dengan senyumannya tengah mengikuti setiap aliran air di tepi jalan desanya. Sesaat diperhatikannya anak-anak yang berlarian menyambut air hujan yang terjatuh, tanpa keraguan sedikitpun akan kesehatan mereka. Dan tanpa mengkhawatirkan wabah demam berdarah yang sempat merebah di desa mereka beberapa tahun silam. Tetapi, berkat Tania kecil, semuanya berubah.
“Bu, ini tehnya..”, kata seseorang tiba-tiba.
Sedikit terkejut, Bu Tania langsung membelokkan kursi rodanya. “Eh, Tika,”, ucapnya sambil menerima sodoran secangkir teh dari anaknya.
“Sedang lihat apa sih? kayaknya senang sekali?”, tanya Tika penasaran sambil mengarahkan pandangannya ke arah luar dari balik jendela. “Ah, ibu ini. Kayak tidak pernah melihat anak hujan-hujanan saja,”, ejek Tika sambil terkekeh.
Bu Tania lalu menyeruput tehnya. Tercium dari aromanya sangat kental dan wangi. “Kamu tahu? kenapa ibu sangat senang melihat mereka?”, tanya bu Tania balik.
Dengan wajah yang antusias, Tika mengangguk.
Saat melihat wajah anaknya dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang tinggi, bu Tania lantas menyuruh Tika untuk duduk diatas pangkuannya.
“Kamu lihat foto itu?”, tunjuk bu Tania pada salah satu fotonya yang menempel di dinding.
Tika mengangguk lagi. Lalu segera ditatapnya foto yang belum pernah terjawabkan. Yah, foto Ibu Tania yang sekilas mirip dengan Tika tempo dulu. Saat kakinya masih sempurna dan masih mampu untuk berdiri dan berlari. Saat kakinya masih bisa untuk naik ke atas panggung sebagai juara satu “Dokter Kecil”.
“Terus, apa hubungannya dengan hujan?”, tanya Tika balik.
Ibu Tania mulai bercerita tentang hidupnya dulu, ketika masih duduk di kelas enam. Dahulu, ketika ibu masih bisa berjalan ke sekolah, ibu sangat senang sekali. Ibu bisa belajar bersama teman-teman. Di sekolah, Ibu bersama dua teman Ibu yang bernama Maman dan Ida terpilih menjadi calon peserta lomba dokter kecil. Di sana, ibu dan mereka bisa belajar banyak hal. Semuanya tentang kesehatan. Tentu Ibu sangat senang sekali, termasuk teman-teman Ibu. Mereka bahkan tak ada hentinya membaca buku tentang kesehatan. Ibu tidak mau kalah dong?. Akhirnya menjelang perlombaan tiba, Ibu yang terpilih sebagai pemenang perlombaan dokter kecil. Senang sekali, karena bagi ibu, itu sangat luar biasa. Sejak saat itu pula ibu mulai menjaga kebiasaan hidup bersih.
Dahulu, desa kita bukanlah desa yang seperti sekarang. Bersih dan sangat rapi. Tetapi kebalikannya, dulu desa ini sangat kotor dan tidak teratur. Sampah berserakan dimana-mana, bahkan saat musim hujan tiba, aliran selokan tersumbat sampah, ditambah dengan banyaknya tumpukan sampah yang menyumbat aliran sungai, sudah pasti menyebabkan banjir. Terkadang, Maman dan Ida berdiskusi dengan ibu untuk mengatasi masalah itu. Dengan ilmu yang didapat ketika belajar menjadi dokter kecil, kami memulai gerakan baru. Yah, meski hanya beberapa orang yang membantu kami waktu itu. “Kalian tahu apa? kalian itu Cuma anak kecil!”, kata beberapa orang menghujat Ibu dan teman-teman saat itu.
Tetapi Ibu dan teman-teman tidak putus asa, hingga masih pada musim hujan tersebut, kami terus berusaha memperbaiki selokan desa, sampai pada tempat-tempat genangan air meskipun sedikit-sedikit. Tak jarang, ketika hujan turun, Ibu keluar rumah hanya untuk membuang sampah yang menyumbat aliran selokan. Sudah tentu, teguran dari kakekmu, Ibu dapatkan. Katanya, kakek khawatir kalau Ibu jatuh sakit. Sejak larangan kakekmu, saat musim hujan tiba, Ibu membiarkan sampah menyumbat aliran selokan. Dan saat itu pula, Ibu jarang melihat teman Ibu, Maman dan Ida.
Seminggu sudah Ibu membiarkan lingkungan desa ini penuh sampah. Tetapi untung saja, hujan tak begitu deras, hingga air sungai tidak sampai meluap. Aliran selokan yang tersumbat hanya meluberkan air sampai menutupi jalanan. Tetapi tetap saja, Ibu ingin sekali merubah desa ini. Menyediakan tempat sampah, dan membuang sampah-sampah pengganggu. Tapi itulah ibu yang dahulu, pekerjaan itu masih terlalu berat untuk ukuran seusia ibu, kata kakek. Tetapi membuang sampah pada tempatnya, itu hal yang mudah menurut ibu.
Musim hujan saat itu masih menyerbu desa ini. Genangan air dimana-mana, sampah pun demikian. Tak lama, dikabarkan penyakit demam berdarah melanda desa ini. Termasuk teman Ibu, Ida.Yang ternyata dikabarkan masuk ke rumah sakit karena ulah nyamuk Aides Aegypty. Selang beberapa hari kemudian, ia dikabarkan sudah tidak bernyawa. Menurut dokter, Ida terlambat dibawa ke rumah sakit. Sejak saat itu, Ibu merenung dan merenung, sambil mengingat materi yang pernah ibu dapat sejak menjadi dokter kecil, bahwa demam berdarah biasanya muncul pada saat musim hujan. Genangan air tempat berkembang biak nyamuk-nyamuk merajalela. Persis seperti keadaan di desa saat itu.
Dengan kabarnya Ida yang sudah berpulang, Ibu sudah tidak bisa berdiam diri. Ibu tidak ingin jika korban demam berdarah di desa ini semakin bertambah apalagi merenggut teman ibu yang lainnya. Akhirnya, dengan keberanian, ibu meminta ijin  papa -kakek Tika- untuk mengubah keadaan desa. Tak lama setelahnya, kakek akhirnya mengijinkan ibu. Kakek juga ikut mengambil langkah. Saat itu, kebetulan kakek adalah ketua RT. Kakek mengumpulkan warga, lalu lewat kakek, penjelasan Ibu tersampaikan. Lagi-lagi berkat ilmu saat menjadi dokter kecil. Gerakan tiga M, yaitu menguras kolam, menutup rapat penampungan air dan mengubur barang bekas yang bisa menampung air hujan. Dan satu hal yang tak kalah penting adalah membuang sampah di tempatnya.
Dengan semangat, warga desa mengikuti perintah kakek. Mereka bergotong royong, termasuk Ibu. Walau derasnya hujan yang turun, warga desa tetap bergotong-royong. Sejak itu pula, Ibu melihat Maman kembali setelah lama tak berjumpa. Maman bercerita, kalau dia dilarang oleh ayahnya untuk keluar rumah, persis seperti Ibu. Hujan bukanlah waktu untuk bersenang-senang saat itu. Tidak seperti sekarang, anak-anak bermain riang. Saking senangnya, Ibu dan Maman berkeliling desa untuk memastikan semuanya sudah beres. Hingga sampai pada bibir sungai, tampak beberapa sampah masih menghiasi di sana. Lalu tanpa pikir panjang, dengan semangatnya Ibu mencoba mengambilnya dengan tangan Ibu. Ah, saat itu, pandangan Ibu mendadak buram. Buram sekali. Entah apa yang terjadi pada Ibu, Ibu lupa. Ibu hanya mengingat saat membuka mata, kakek sedang duduk di samping perbaringan Ibu. Kata kakek, Ibu terjatuh dan terbawa arus sungai. Saat itu juga, Ibu bertanya tentang keberadaan Maman, yang saat itu bersama Ibu. Dengan nada yang sangat rendah, kakek berkata, Jika Maman menghilang dalam derasnya air sungai saat mencoba menolong Ibu yang terseret arus tiba-tiba. Mendengar kabar tersebut, lantas ibu mencoba bangkit dari tempat ibu berbaring, tetapi.... “Kamu harus memakai kursi roda, sayang...”, ucap kakek yang saat itu melihat Ibu setengah kecewa dan  putus asa. Ibu mencoba tegar, dan bersabar menerima keadaan ibu yang baru. Tak lama kemudian ibu pulang ke rumah, setelah pulang ke rumah, ibu melihat keadaan desa berubah seketika. Menjadi lebih bersih dan rapi. Tempat sampah sudah tersedia, ditambah tanaman hijau berbunga. Saat itu pula, Ibu mendapatkan kebahagiaan dari warga desa. Ibu sangat senang sekali. Kini, musim hujan telah tiba, ibu hanya bisa mengingat masa lalu yang indah...sekaligus berkesan memiliki teman seperti Ida dan maman.
Mendengar cerita ibunya, Tika menjadi tahu alasan, kenapa setiap hujan ibunya selalu saja memperhatikan anak-anak yang bermain. Sekaligus mendapatkan jawaban akan perjuangan ibunya yang harus rela berkorban demi terwujudnya kebersihan. “Tika sayang dan bangga sama ibu...”, katanya memuji Ibunya sekaligus mengakhiri cerita bu Tania.

oleh Tarmudi
Cerpen anak - Tania si Dokter Kecil

No comments: