Istirahat pertama telah
usai. Anak-anak mulai hengkang dari tempatnya bermain di taman, makan di
kantin, dan membaca buku di perpustakaan. Tanpa terkecuali, semuanya harus
segera masuk ke kelas dan menyambut pelajaran berikutnya. Beberapa anak
terlihat terburu-buru sambil berjalan menyayat gorengan tempe yang masih ada di
genggamannya. Sedangkan yang lainnya masih asik melanjutkan cerita mereka yang
belum usai sambil melangkah ke ruangan kelas. Lala, anak perempuan yang berikat
rambut ekor kuda terlihat ceria tak seperti biasanya. Langkahnya yang pasti
penuh dengan senyuman sampai pada tempat duduknya.
Tak lama setelahnya, Ibu Dewi segera membuka jam
pelajaran ketiganya. Diraihnya kapur putih, lalu digoreskannya ke atas sebuah
papan hitam dihadapannya. Sesekali matanya membaca tiap kalimat yang terukir di
atas buku dalam genggamannya. Noni, salah satu siswi perempuan terlihat serius
menyalin tiap kata di atas buku tulisnya, sama seperti teman-temannya juga.
“Ah, capek..”, keluh
Noni kemudian sambil merogoh kantong bajunya. Rupanya ia ingin mengelap kucuran
keringat di keningnya. Sepertinya makanan soto yang sudah dilahap di kantin
masih mempengaruhinya, ditambah dengan tulisan bu Dewi yang masih panjang. “Saputanganku...”,ucap
Noni dalam hatinya setelah ia tak mendapati saputangannya di kantong. Dari
kantong, kemudian dia beralih merogoh ke tas, dan di laci bangkunya. Tetapi ia
tetap tak mendapati sapu tangannya.
Mengetahui temannya
terlihat kikuk, Sisi, teman sebangku Noni bertanya,”Eh, ada apa?”
“Kamu lihat
saputanganku tidak?”, tanya Noni.
Sisi mengangkat
bahunya, lalu melanjutkan menulis.
“Duh....”, keluh Noni
lagi kesal. Kemudian ia melengos ke arah sampingnya lagi. “Eh, kamu bener tidak
melihat saputanganku?”
Merasa terganggu, Sisi
lantas mengeluarkan saputangan miliknya. “Nih, pakai saja saputanganku dulu.
Aku lagi menulis nih,”, kata Sisi agak kesal.
Noni menolak saputangan
Sisi. “Tidak. Aku ingin saputanganku. Titik.”, katanya sambil menunduk kemudian
dan menghentikan menulis. Matanya terlihat berkaca-kaca. Lalu segera teringat
di kepalanya, bahwa saputangannya bukanlah saputangan biasa. Saputangan spesial
dari om Dudi yang dibelinya dari luar negeri. Pokoknya itu bukan saputangan
biasa!, kata Noni dalam hati.
“Eh, kamu benar-benar
tidak tahu dimana saputanganku?”, tanya Noni lagi penuh selidik.
Sisi berhenti menulis. Telinganya
terasa pecah mendengar ucapan teman sebangkunya itu. “Kamu menuduhku?”
“Loh, bisa saja kan?”,
tangkis Noni. “Sama siapa aku duduk? kemudian pergi ke kantin sampai kembali ke
kelas lagi?? sama kamu kan??”, lanjut Noni kehilangan kesabaran.
“Buat apa coba? aku
juga punya saputangan sendiri, dan tentunya lebih bagus dari saputananmu,”, balas
Sisi geram.
Tanpa disadari,
perdebatan mereka terdengar oleh Ibu Dewi. “Kalian berdua... ada apa?”, tanya
bu Dewi menatap Sisi dan Noni. Dengan segera, perhatian anak-anak tertuju pada
mereka berdua hingga mengakibatkan tersendatnya pelajaran saat itu. Lalu Noni
segera membuka mulutnya dan menceritakan kejadian yang menimpanya. Akhirnya,
Ibu Dewi berkata akan membantu Noni untuk menemukan saputangannya setelah
anak-anak selesai menyalin tulisannya.
Tak lama kemudian, bu Dewi
keluar kelas, dan kembali dengan segelas air putih di genggamannya, lalu
mengumumkan kejadian yang dialami oleh Noni. “Tahukah kalian? bahwa mencuri
ataupun mengambil barang orang lain adalah dosa besar, dan tentunya kalian akan
masuk ke neraka,”, kata bu Dewi.
Tak ada satupun suara yang
masuk. Anak-anak mengangguk membenarkan ucapan Ibu dewi. Tetapi berbeda dengan
Lala, wajahnya yang sebelumnya ceria menjadi sedikit kaku. Wajahnya menunduk
dan sorotan matanya tertuju pada lubang kantong di bajunya. Sebuah lembaran
kain berlipat yang indah, berhiaskan bunga-bunga dan beraroma harum. Berikut,
saputangan itu, tak pernah ia lihat sebelumnya. Saputangan yang ia temukan di
kantin itu ingin sekali ia miliki. “Tetapi apa mungkin itu milik Noni?”,
katanya dalam hati. Lala diam sejenak, dan.... “Ah, saputangan ini milikku,”,
akunya dalam hati. Sepertinya saat itu setan sedang bersama Lala, hingga ia tak
perduli dengan ucapan bu Dewi.
“Baik, kalau tidak ada
yang mengaku, Ibu minta kalian meminum air yang sudah dibacakan doa. Dan siapa
yang mencuri, pasti bakalan kena akibatnya,”, lanjut bu Dewi menakut-nakuti.
Dag..dig..dug...
jantung Lala semakin berdegup kencang. Ucapan Ibu Dewi kali ini, mengingatkan
Lala pada ucapan ayahnya. Jika seorang pencuri yang meminumnya, perut akan
berubah menjadi gendut. Ohh.. tidak!, Lala gusar. Lain hal dengan
teman-temannya, yang mengangguk yakin menyetujui ucapan Ibu Dewi. Sedangkan,
setan tampaknya masih terus menguasai otak Lala untuk terus-terusan berbuat
dosa.
“Giliran kamu,”, kata
teman disamping Lala sambil menyodorkan
segelas air putih.
“Bu.. saya sedang berpuasa hari ini,”, kata
Lala berpura-pura. Ternyata, bu Dewi mempercayai penuh ucapannya. Pikir Ibu
Dewi, seseorang yang berpuasa tidak mungkin berbohong.
Setelah semuanya
selesai, tak seorangpun yang mau mengaku. Kemudian Ibu Dewi berkata lagi, “Ibu
minta kalian berdiri semua, kemudian mengikuti kata-kata ibu, jika benar-benar
bukan kalian pencurinya. Dan perlu kalian ketahui, dengan kejujuran, pasti
malaikat akan bersama kalian kemanapun kalian pergi. Tetapi sebaliknya, jika
kalian berbuat kebohongan, kalian akan bersama setan di saat berbohong kemanapun
kalian pergi, dan tentunya di akhirat nanti, setan akan membawa kalian ke dalam
neraka,”. Lagi-lagi Ibu Dewi menakut-nakuti.
Tak sedikit dari anak-anak
dibuat merinding oleh perkataan Ibu Dewi.
“Kalian mau menjadi
teman setan?”, lanjut Ibu Dewi
“Tidak.....”, jawab
anak-anak kompak.
Lala. Mendadak kakinya
bergetar, hingga tak mampu berdiri tegak. Keringat dinginnya mengucur dari
keningnya, meski beberapa kali diusap dengan tangannya, tetapi tetap saja
mengalir.
Anak-anak sudah berdiri
bersiap untuk bersumpah. Sedangkan Noni terlihat antusias ingin segera
mendapatkan saputangannya. Tapi tiba-tiba......
Tetttttttttt.......
bel
istirahat kedua datang. Lalu, Ibu Dewi menunda sumpah dari anak-anak, hingga ia
memutuskan untuk melanjutkannya setelah istirahat nanti.
****
Di kantor, Ibu Dewi yang sedang sibuk menulis sesuatu di
datangi oleh seorang perempuan berwajah muram.
“Bu...”, sapa perempuan
itu menghentikan tulisan bu Dewi. Perempuan itu mendekat, lalu menarik nafas
panjang, dan berkata, “Bu, sebenarnya saputangan Noni ada pada saya. Tetapi
saya tidak mencurinya. Saya menemukan saputangan itu di atas meja kantin. Saat
itu saya tidak tahu kalau itu milik Noni,”
Mendengar pengakuan
perempuan yang bernama Lala itu, Ibu Dewi tersenyum, lalu berkata,”Ibu sudah
tahu,”
Lala terkejut, mendadak
tak tahu apa yang harus diperbuatnya selain mengeluarkan saputangan itu dari
kantongnya. “Ini bu...”, katanya gugup. “Dari mana Ibu Dewi tahu, jika
saputangan Noni ada padaku?”, Lala bertanya-tanya dalam hatinya.
“Ibu bangga sama
Lala,”, lanjut bu Dewi. “Ibu bangga karena Lala sudah berbuat jujur, meski di
kelas tadi, Lala tidak berani mengakuinya. Ibu tahu, mungkin Lala malu dengan
teman-teman. Tetapi, sekali lagi, kejujuran itu memang harus dikatakan,
meskipun itu pahit. Karena itu bisa menyebabkan fitnah pada orang lain yang
tidak melakukannya,”
“Benar sekali...!”,
kata salah seorang –dari arah belakang- menyambung ucapan Ibu Dewi.
Mendengar suara yang
tak asing, Lala menengok ke belakang. Dilihatnya Noni dan Sisi. Kemudian, Lala
segera memeluk mereka dan dengan penuh penyesalan, ia mengakui semua
perbuatannya. Karena ketidakjujurannya, Sisi dituduh Noni. ugh, aku benar-benar jahat, kata Lala dalam hatinya.
Saputangan itu masih di
genggaman Lala. Lalu dengan senyuman, ia mengembalikannya ke Noni. “Ini
saputanganmu, aku minta maaf.... dan jangan khawatir, saputanganmu belum sempat
kupakai,”, kata Lala.
Segera saputangan itu
berpindah tangan. “Seharusnya, aku yang mengucapkan terima kasih padamu,”, kata
Noni. “Coba deh, kalau saputanganku yang tertinggal di kantin ini diambil orang
lain, pasti aku tidak bisa mendapatkannya kembali...”
Lala kembali memeluk
Noni dan Sisi. Sedangkan bu Dewi tersenyum bahagia melihat kebahagiaan ketiga muridnya.
“Sekarang, kamu menjadi sahabat terbaiku, sama seperti Sisi...”, lanjut Noni
sambil menyapukan saputangannya di kening Lala. Mendengar ucapan Noni ditambah
merasakan lembutnya saputangan itu, Lala tersenyum ceria.
“Eh, ke kantin yuk, aku
traktir..”, sela Sesil. Lala dan Noni mengangguk setuju.
Ketika mereka
bersemangat berjalan keluar ruangan bu Dewi, tiba-tiba....
“Tunggu!”, cegah bu
Dewi menghentikan langkah mereka kemudian.“Bukannya Lala sedang berpuasa?”,
tanyanya dengan tertawa. Yah, padahal kan Lala Cuma berpura-pura, hihii..
Sontak, suasana ruangan
bu Dewi mendadak bergemuruh penuh tawa
oleh Tarmudi
Cerpen Anak - Sapu Tangan Noni
No comments:
Post a Comment