Belakangan
ini wajah Pak Taka tampak murung. Tidak seperti dulu, saat pertama kali berjualan
layang-layang. Kini, di samping lapaknya, berjajaran layang-layang yang lebih
beraneka warna. Lain hal dengan barang dagangnnya, yang hanya berlapis kertas
putih polos. Saat itu juga ,pembeli di lapak pak Taka semakin sepi, meskipun
harga dagangannya sudah diturunkan. Tetapi hasilnya sama saja.
Dengan wajah penuh asa,
pak Taka pulang ke rumahnya. Hari itu tak seperserpun uang yang didapatnya.
Padahal, dari dulu, hidup keluarganya hanya bisa bergantung pada barang
dagangannya, layang-layang..
“Ah, kalau begini
terus, mau makan apa besok nanti?”, keluh Pak Taka sambil merebahkan tubuhnya
di atas lantai. Matanya menatap langit-langit rumah, sambil sesekali gerakan
telapak tangannya mengipas di area wajahnya terasa panas karena terik saat
berjualan seharian tadi.
“Papa..!!”, seru salah
seorang anak mendekati pak Taka kemudian.
Segera Pak Taka bangkit
menyambut Jaka, anak satu-satunya itu.
“Papa... Jaka lagi
menggambar,”, kata anak Pak Jaka yang baru duduk di kelas satu ini.
Sambil menyembunyikan
wajah lelahnya, pak Taka tersenyum lebar, lalu bertanya, “Mana??”
“Di kamar,”, jawabnya
ceria. “Sebentar ya pa..”, katanya lagi sambil meninggalkan pak Taka sendiri.
Entah ketika melihat
Jaka, pak Taka selalu merasa terhibur oleh keceriaannya. Apalagi Jaka selalu
membuat bangga pak Taka. Terakhir dikabarkan, Jaka mendapatkan juara satu di
kelasnya. “Aku harus semangat!”, ucap pak Taka dalam hatinya. Yah, ia ingin
melihat Jaka, anaknya bisa bersekolah seperti anak-anak yang lainnya. Ia tak
ingin jika Jaka kelak menjadi seperti dirinya, seorang penjual layang-layang.
Pernah suatu ketika, saat ditanya pak Taka tentang cita-cita Jaka. “Jaka Ingin
menjadi penjual layang-layang pa..”, begitu kata Jaka dengan polosnya.
Mendengar ucapan
anaknya, lantas pak Taka bertanya kembali, “Loh, kok bisa?”
“Jaka ingin seperti
papa. Dengan layang-layang, hidup papa, Jaka, dan mama bisa bahagia selamanya,”
Deg!
saat itu pak Taka tak bisa berbicara lagi. Bibirnya mulai bergetar, nyaris tak
mempercayai perkataan anaknya. Begitulah pak Taka. meskipun susah, tetapi ia
berusaha menunjukkan rasa bahagianya. “Jaka tidak mau menjadi polisi? atau
dokter?”, tanya pak Taka lagi sambil menyeringai.
Tanpa menjawab
pertanyaan dari ayahnya, Jaka langsung berdiri tegap. “Siap pak!”, katanya
tegas sambil hormat. “Siap pak! Jaka siap menyuntik mama...!”, lanjutnya lagi.
“Ih, papa kenapa? kok
senyum-senyum sendiri?”, kata Jaka tiba-tiba. Kemudian ia mulai meletakkan cangkir
yang berisi teh hangat di tangannya dengan hati-hati.
“Eh.. Jaka,”, balas pak Taka kikuk setelah
lamunannya dibuyarkan oleh anaknya.
Sambil bergabung duduk
di atas lantai, dengan polosnya Jaka memberikan kesimpulan atas tingkah orang
yang dihadapannya, “Pasti layang-layangnya laku banyak ya pa?”
Mendengar ucapan
anaknya, pak Taka hanya tersenyum. “Amin...”, katanya sambil menyeruput wedang
teh di hadapannya. “Tehnya enak sekali,”, lanjut papa memuji mencairkan
suasana.
“Ah, masak si?”, kata
Jaka memastikan. Lalu segera dibalas dengan anggukan papa. “Teh buatan Jaka
gitu lohhh...,”, katanya lagi sambil menepuk dada.
Jaka sepertinya benar-benar
menghibur Ayahnya. Begitulah, hampir setiap hari dilakukan olehnya. Di pagi
hari, mamanya yang harus menyiapkan sarapan pagi. Yah, meski hanya dengan lauk seadanya, tidak seperti dulu yang bisa makan
daging. Eh, pak Taka juga pernah berjanji, jika kelak dagangannya laku besar,
setiap hari bakalan makan daging loh. Tentu saja itu membuat Jaka senang. Di
siang hari, mama harus menjadi buruh cuci sampai sore hari. Sehingga, pada saat
papa pulang, Jaka yang selalu menemani papa dan sekedar membuatkan wedang teh.
“Eh, pa. Tunggu di sini
dulu ya,”, pinta Jaka sambil berlalu meninggalkan papa. Dilihat oleh Pak Taka,
Jaka melangkahkan kaki menuju kamar. Bukan kamar Jaka, bukan pula kamar papa
dan mama Jaka, melainkan kamar mereka bertiga.
“Kelak ketika dewasa,
papa ingin melihatmu menjadi orang yang berhasil, tidak seperti mama dan
papamu,”, ucap pak Taka dalam hatinya.
Tak lama, dalam
hitungan menit, sosok anak laki-laki berwajah polos dengan senyumnya yang mengembang
keluar dari kamar. Dengan membawa selembar kertas, ia berjalan mendekati pak
Taka.
“Kertas apa itu?”,
tanya pak Taka penasaran.
“Gambar Jaka,”,jawabnya
setengah malu.
“Papa bisa lihat?”
Sedikit ragu
menyerahkan hasil gambarnya, Jaka lalu berkata, “Tapi...papa jangan tertawa
yah?”
Sambil terkekeh melihat
tingkah anaknya, Pak Taka lalu mengangguk mengiyakan.
Sekarang, pak Taka
sedang memperhatikan gambar buatan Jaka. Dilihatnya gambar tiga orang yang
tengah menerbangkan layang-layang dengan bertuliskan papa, Jaka, dan Mama. “Ah,
ini luar biasa!”, kata pak Taka dalam hatinya. Tak sampai disitu, layang-layang
di sana, digambarkan wajah papa, mama dan Jaka. “Wah, gambarnya bagus!”,Puji
pak Taka kemudian.
Sambil tersenyum lega
mendapat pujian, Jaka berkata, “Jaka ingin, papa, mama dan Jaka bisa terbang
tinggi, seperti layang-layang.”.
“Papa yakin, besok kamu
jadi orang yang sukses!”, seru pak Taka dalam hatinya. Lalu sambil menahan
haru, seorang anak laki-laki kecil dihadapannya, Jaka segera dipeluknya erat.
“Pa, gambar Jaka..”,
ucap Jaka yang menyadari gambarnya terhimpit badan papa dan dirinya.
Papa tertawa kecil,
lalu melepaskan pelukan, dan dilihatnya gambar Jaka kembali.
“Eh, tunggu!”, sergah
pak Taka dalam hatinya tiba-tiba. Dengan serius, matanya memperhatikan tiap
guratan gambar Jaka. Gambar Jaka terlihat tak biasa, sepertinya ada sesuatu
yang...... “Yap!”, tegas pak Taka
lagi. Dengan segera, ia meraih –layang-layang-barang dagangannya yang tak jauh
dari tempatnya duduk dengan Jaka. “Jaka bisa tolong ambilkan pensil?”, pinta
pak Taka kemudian. Segera setelahnya, Jaka datang dengan perangkat tulisnya. Lalu
dengan serius, pak Taka segera mengukir sesuatu di atas layang-layang polosnya.
“Pa, kok muka Jaka
digambar di layang-layang? kan itu buat di jual?”, tanya Jaka penasaran.
“Hemmm..”, gumam pak
Taka. “Terima kasih Jaka. Papa senang sekali. Sepertinya papa menemukan.... ide.
Yah, ide supaya layang-layang kita laku kembali,”, kata pak Taka.
Jaka menyernyitkan
dahinya tak paham, “Loh, maksudnya? bukannya tadi papa ngomong kalau
layang-layang papa laku terjual?”
Pak Taka hanya membalas
dengan senyuman berbeda makna. Wah, ketahuan berbohong deh, pikir pak Taka. Tapi,
yang terpenting itu bisa menghibur Jaka. Untuk mengalihkan perhatian, Pak Taka
lalu meminta Jaka untuk membantunya menggambarkan wajah teman-teman Jaka di atas
layang-layangnya.
Selang setelah beberapa
menit, layang-layang berwajah jualan pak Taka selesai.
Besoknya, dengan penuh
keyakinan pak Taka berangkat menuju lapaknya kembali. Tak jauh dari sekolah
pula, Jaka kemudian mengajak teman-temannya untuk melihat layang-layang yang
bergambar wajah mereka. Semua teman-teman Jaka senang. Lalu dalam hitungan
menit, mereka membeli layang-layang berwajah mereka sendiri. Bukan hanya harganya
yang murah, tetapi sangat kreatif, kata salah seorang teman Jaka. Semenjak
itu, barang dagangan pak Taka habis
terjual dan sejak itu pula, ia mendapatkan pesanan layang-layang bergambar
wajah. Disitulah kembalinya kehidupan bahagia mereka.
Oleh Tarmudi
Cerpen Anak 11 - Pak Taka dan Layang-layangnya
No comments:
Post a Comment