Aku
tak sabar lagi untuk sampai di rumah. Aku ingin sekali melihat persiapan yang mama
buat untuk hari ulang tahunku besok. Mungkin sudah membuat kue, ataupun hiasan
kamar untukku. Aku benar-benar ingin melihatnya!
“Mamah....”, seruku sambil
memasuki rumah. Tak ada jawaban satupun yang hadir menyambutku. “Mah....”,
seruku lagi sambil menyelusuri tiap ruangan. Dapur, kamar mandi, taman, kemudian
di kamar mama dan papa. Tetapi ternyata kamar mereka terkunci rapat. Tak menemukan mama, aku segera
berlari ke raung tengah. Di sana ada kakek.
“Kek.. lihat mama
tidak?”
Sepertinya kakek tak
mendengarku, hingga memaksaku untuk menghampirinya. “Kek, lihat mama tidak?”,
tanyaku lagi. Kakek hanya melengos pasrah, lalu sambil menunjuk ke arah luar jendela,
ia berkata, “Mama kamu tadi keluar sama adikmu, Clara,”
“Keluar? kemana kek?”,
tanyaku penasaran. Kakek hanya menggelengkan kepala tak tahu. “Lagi membeli kue
ulang tahun Dina ya kek?”, tebakku girang. Masih menatap layar televisi, kakek hanya
mengangkat bahu. Sepertinya ia benar-benar tidak tahu kemana mama pergi. Ah,
mungkin dugaanku benar, pikirku. Kemudian tanpa bertanya lagi, aku mencium
tangan kakek lalu segera berlalu menuju kamar. Kamarku mungkin sudah berhiaskan
balon, pikirku.
Sesampai di kamar, aku
tak menemukan perubahan satupun. Tidak ada balon, ataupun riasan istimewa. Ah,
mungkin nanti, pikirku lagi tak berburuk sangka. Lalu aku segera mengganti
pakaian dan merebahkan diri di atas kasur. Hari itu aku merasakan lelah yang
luar biasa. Demi melihat kejutan yang biasa mama berikan di hari ulang tahunku,
aku rela berlari ke rumah sejak pulang sekolah. Karena, aku pikir semua
kelelahan itu akan hilang begitu aku melihat kejutan untuk ulang tahunku yang
ke sebelas.
*****
“Kak,
bangun...!”, jemari mungil kurasakan menggoyang-goyangkan badanku. Mataku
terasa berat untuk kubuka. “Kak... sudah sore,”, ucapnya lagi. Lalu kupaksakan
diri untuk membuka mata, dan menatap jam yang menempel di dinding kamarku.
“Hah?!! sudah sore!”.
Aku terkejut. Jam empat sore. Aku segera berlarian keluar kamar, tanpa
menghiraukan perempuan yang membangunkanku. “Pah...”, ucapku lantang ke seluruh
ruangan rumah. Tapi sepertinya papa tidak ada. Biasanya pulang dari kantor jam
empat tepat. Apalagi di hari ulang tahunku besok, pasti papa akan memberikan
kado yang istimewa buatku.
“Kak.. papa belum
pulang,”,kata seorang perempuan yang telah membangunkanku. Clara, sejak dari
kamar, selalu saja mengikutiku. Kata teman-temanku, wajahnya mirip denganku. Hanya
berbeda ukuran tubuh yang tentunya aku lebih besar darinya.
“Terus, mama di mana?”,
tanyaku padanya.
“Mama di dapur, lagi
membuat kue,”
Segera setelah
mendengar ucapan Clara, aku langsung menuju ke dapur. “Mama... ternyata mamah
masih ingat ulang tahunku,”, seruku sambil menghampiri mama dan langsung
memeluknya dari belakang.
“Dina, untung saja
kuenya tidak jatuh,”, ucap mama sambil memindahkan kue ulang tahun buatannya di
atas meja makan.
“Mah, pasti mama
membeli baju ulang tahun buat Clara, kan?,”, aku menerka.
Sambil menghiasi kue
ulang tahun di hadapannya, mama menjawab, “Baju ulang tahun kamu yang kemarin
kan masih baru? juga masih muat kan?”,
“Iya sih mah, tapi kan
ini kan ulang tahun Dina yang baru juga? seharusnya baju Ulang tahun Dina baru
juga dong,”, kataku membela diri.
Mendengar ucapanku,
mama langsung berhenti menghiasi kuenya sesaat. Lalu badannya merendah, hingga
wajahnya tepat dihadapan wajahku. Polesan lipstik di bibirnya terlihat
mengembang karena senyumnya. “Dina, anak mama yang cantik dan pintar, baju
tidak perlu yang baru. Yang terpenting adalah Dina bersyukur dengan usia Dina
yang bertambah. Dan alangkah bagusnya lagi jika uang itu digunakan untuk
membantu orang lain,”, kata mama menasehatiku.
“Dina kecewa sama
mama...”, ucapku langsung berlari menuju kamar meninggalkan mama sendiri.
Harapanku mendapatkan baju baru telah kandas. Kalau seperti itu, lebih baik
tidak ada perayaan sekalian, kataku dalam hati. Masak aku harus memakai baju
yang sama seperti tahun lalu?
*****
“Dina...
Selamat Ulang Tahun sayang,”, suara papa membangunkanku. Aku langsung memeluk
papa erat. Aku berharap papa bisa membelikanku baju baru.
“Papa beli baju baru
buat Dina tidak?”, tanyaku besemangat.
Bulu kumisnya melebar
saat senyumnya mengembang. “Tidak sayang,”, jawab papa sambil memelukku.
Sepertinya ulang
tahunku ini benar-benar ulang tahun yang menyedihkan. Papa, mama, semuanya
kompak tidak membelikanku baju baru. Mendengar jawaban papa, aku kecewa dan
langsung merebahkan diri ke kasur kembali, lalu menutup badanku dengan selimut.
“Dina, sudah siang. Memangnya
Dina tidak mau merayakan ulang tahun?”, bujuk papa.
“Pokoknya Dina tidak
mau keluar kamar lagi. Dina tidak mau ada perayaan Ulang tahun. Semuanya
percuma kalau baju Dina sama seperti kemarin.”
“Dina tidak mau kejutan
dari papa?”
“Kejutan apa?”, tanyaku
penasaran sambil mengintip papa dari balik selimut.
“Nanti kalau papa kasih
tahu, namanya bukan kejutan dong?”, kata papa merayuku.
Aku sungguh dibuat
penasaran oleh papa, hingga aku menuruti semua perkataannya. Memakai baju ulang
tahun yang sama seperti tahun lalu. Mungkin kejutan itu baju baruku, pikirku
menebak-nebak.
Beberapa saat kemudian
semuanya telah siap. Aku menarik nafas dalam, lalu membuka pintu kamar
sedikit-sedikit. Dengan gaun lamaku, aku bersiap menyambut teman-teman yang
sudah menanti kedatanganku.
“Dina, ayo cepat
turun..!”, teriakan papa mempercepat langkahku menuruni tangga.
Sesampai di ruang tamu,
semuanya terasa sunyi. Tak ada orang lain selain mama, papa, Clara dan kakek
yang berdiri di sana.
“Pah, mah, kok sepi
sekali? dimana mereka? teman-teman Dina?”, tanyaku bingung.
Mama menghampiriku
segera, lalu berkata, “Dina, kali ini papa dan mama tidak merayakan ulang
tahunmu di sini, tetapi di tempat yang lebih indah lagi,”.
Aku ingin berlari masuk
ke kamar dan berteriak, tetapi pelukan mama menghalangiku. Aku benar-benar
kecewa. Sudah tidak dibelikan baju baru, ditambah perayaan ulang tahun yang
kali ini entah dimana. Mataku serasa mau pecah saat itu.
“Sayang... masih ingat
janji papa?”, kata papah sambil menghampiriku.
Aku hanya mengangguk
pelan, sesekali kurasakan ada sesuatu yang mencekik leherku, membuatku tak
mampu berbicara. Tetapi papa dan mama terus membujukku hingga aku dibuat luluh.
*****
“Pah,
mah.. kok ke sini?”, tanyaku heran saat papa menghentikan mobilnya tepat di depan
sebuah papan yang terpampang jelas, “PANTI ASUHAN SUMBER KASIH”.
Mama dan papa tidak
menjawab pertanyaanku. Kemudian pertanyaan sama juga aku lontarkan untuk Dina
dan kakek, tetapi mereka hanya bisa mengangkat bahu tak tahu.
“Pah, mah, tidak salah
tempat kah? Dina tidak mungkin merayakan ulang tahun di sini kan?”
“Nanti kamu tahu
sendiri,”, jawab papa melempar senyum.
Ulang tahunku kali ini
benar-benar berbeda. Ya, berbeda menjadi sangat menyedihkan. Apalagi kalau
perayaannya di panti asuhan, kataku dalam hati.
Mama menghampiriku yang
-berdiri mematung- tak mau mengikuti mereka masuk ke dalam panti asuhan. “Dina,
mukanya jangan cemberut begitu dong. Nanti cantiknya hilang loh,”, hibur mama
sambil memegang pipiku. “masih mau tahu kan, kejutan dari papa?”, lanjut mama
sambil melirik ke arah papa yang ternyata sudah membawa kue ulang tahunku. Papa
membalas dengan senyuman, lalu berlalu mendekati pintu masuk panti.
Mendengar ucapan mama,
aku tersenyum paksa. “Nah, begitu dong, kan kelihatan cantik..”,puji mama.
Kemudian dengan menggenggam tangan mama, aku menyusul papa, Dina dan kakek yang
ternyata sudah disambut oleh penjaga Panti.
Sesaat ketika sampai di
bibir pintu, aku melihat puluhan pasang mata penghuni panti menyambutku dengan
nyanyian yang diiringi dengan suara tepukan.
Selamat
Ulang tahun Dina...
Selamat
Ulang tahun Winda...
Selamat
Ulang tahun semuanya..
“Mah...”, ucapku setengah bingung. Ulang
tahunku benar-benar di rayakan di panti ini, kataku dalam hati. inikah kejutan
dari papa?.
Belum sempat menjawab kegundahanku,
tiba-tiba seorang perempuan menyodorkan tangannya padaku. “Hai Dina, selamat ulang
tahun yah,”, ucapnya kemudian.
Aku segera berlalu dari
perempuan itu tanpa membalas jabatan tangannya. Lalu segera aku menghadap mama.
“Mah...”
Mama hanya tersenyum
merapatkan gigi. Dengan matanya, mama menyuruhku utnuk segera membalas jabatan
perempuan itu. Lalu, dengan senyuman datar, aku mengikuti kata mama.
“Dina, kesini yuks,”, ajak papa yang ternyata sudah
meletakkan kue ulang tahunku di atas meja.
Aku dan mama lantas
menghampiri papa. Terlihat, anak-anak panti melihatku penuh dengan antusias.
Mereka mengenakan baju biasa, bukan baju pesta ulang tahun. Bahkan, baju
bermainku sepertinya masih lebih bagus dari baju mereka, pikirku. Sedangkan di
atas meja, kue ulang tahun buatan mama berdiri kokoh, dan terlihat sangat indah
serta nikmat dengan taburan cokelat dan berhiaskan patung lilin cantik. Tepat
di sampingnya, aku juga melihat kue sedang, yang ukurannya lebih kecil dari kue
ulang tahunku dan hanya berhiaskan lilin putih.
Selamat
Ulang tahun Dina...
Selamat
Ulang tahun Winda...
Selamat
Ulang tahun semuanya..
Anak-anak panti tampak
riang menyanyikannya kembali. Tetapi, aku merasakan ada yang aneh dengan lagu
itu. “Winda? siapa dia?”, tanyaku dalam hati.
“Selamat Ulang tahun Dina,”,
dengan senyuman, seorang perempuan yang pernah mengucapkan selamat itu
melakukan lagi.
“Itu Winda, salah satu
anak panti di sini. Kebetulan saja, tanggal
lahir kalian sama,”, bisik mama segera saat melihatku terdiam heran melihat
tingkah perempuan itu.
Winda? Perempuan di
hadapanku itu berpakaian sama seperti anak-anak panti yang lainnya. Tidak
memakai baju Ulang tahun. Rambutnya pun hanya diurai seadanya. Tetapi ia
terlihat sangat bahagia di hari ulang tahunnya itu. Berbeda denganku, yang masih
enggan merayakan ulang tahunku saat ini.
“Baju Clara bagus
sekali,”, puji Winda sesaat setelah tanganku membalas jabatan tangannya. Entah
kenapa, aku merasa tidak pernah bersyukur selama ini. Baju ulang tahun yang
sebenarnya aku enggan untuk memakainya, bahkan dipuji oleh Winda.
tiup
lilinnya...tiup lilinnya
tiup
lilinnya sekarang juga... sekarang juga
Anak-anak panti
melanjutkan nyanyian dan memerintahkan kami untuk segera meniup lilin. Kali ini
aku sedikit berbahagia. Aku menjenjangkan kaki agar bisa meniup lilin di atas
kue ulang tahunku yang lebih tinggi. Sedangkan di sampingku, Winda. ia sedang
menunduk bersiap meniup lilin di atas kue ulang tahunnya yang kecil itu. Dengan
senyumannya, aku melihat kebahagiaan benar-benar ada dalam dirinya.
Selesai acara,
tiba-tiba papa menyodorkan sebuah kado. Inikah kejutan papa?, pikirku sambil
membukanya segera. Aku terkejut ketika yang kulihat adalah baju ulang tahun
yang cantik. “Papa... terima kasih,”, ucapku langsung memeluk papa.
“Dina, ini buat kamu,”.
Winda menghampiriku sambil menyodorkan rajutan kain. Tanpa berpikir ulang, aku
segera melebarkan kain itu, yang ternyata sarung bantal cantik bertuliskan DINA.
“Ini buatanku loh,”, lanjut Winda lagi. Sesaat mendengar ucapannya, aku merasa senang.
Sebuah hadiah spesial di hari ulang tahunku.
“Terima kasih Winda..”,
balasku sambil memeluknya.
Aku harus memberikan
sesuatu untuk Winda, Pikirku. Tapi, tak ada satu kadopun yang aku persiapkan,
karena kupikir aku lah yang mendapatkannya, karena memang ini acara ulang
tahunku. Tetapi bagaimanapun juga, Winda juga memiliki tanggal lahir yang sama
denganku. Lalu aku menatap hadiah dari papa. Setelah itu, kupandang papa. Papa
mengangguk sepertinya sudah membaca isi pikiranku.
“Ini buat kamu..”, kataku
sambil menyodorkan baju ulang tahunku dari papa.
“Kamu yakin?”, tanya
Winda ragu. Dia terlihat sangat bahagia menerima hadiah dariku. Aku mengangguk
yakin, lalu segera memeluknya lagi. Aku sudah senang dengan baju ulang tahun
yang kupakai sekarang. Dan aku belajar banyak hal dari Winda. Walaupun tanpa
baju ulang tahun, kue yang besar, juga perayaan yang sederhana, tetapi dia
tetap terlihat bersyukur dan bahagia.
oleh Tarmudi
cerita pendek anak 3 -sayembara puskurbuk
cerita pendek anak 3 -sayembara puskurbuk
No comments:
Post a Comment