Sudah
lima hari berturut-turut Dini duduk sendiri. Setiap kali akan berangkat
sekolah, ia berharap Rina sudah berada di kelas untuk menemaninya duduk. Tetapi,
hasilnya sama saja. Meski sudah berulang kali ia memastikan kabar Rina pada bu
Eni. “Besok Rina berangkat kok,”, begitu jawab bu Eni menirukan suara mama Rina di
telepon. Hingga pada hari ke lima ini, Dini benar-benar ingin menjenguk sahabat
sebangkunya tersebut. Khawatir ada sesuatu yang terjadi pada Rina, pikir Dini
melayang, karena bu Eni yang tak lain tante Rina tampaknya sedang
menutup-nutupi sesuatu. Tak menginginkan hal buruk tersebut menimpa sahabatnya,
Dini tak pernah ketinggalan menyebut nama Rina usai sholat. “Ya Allah.. lindungailah
sahabat saya, Rina. Berikanlah dia kesembuhan ya Allah,”, begitulah isi do’a
Dini baru-baru ini.
Cling!!!
lamunan Dini sepertinya menghasilkan sesuatu! “Yes!”, ucapnya sambil memetik jemarinya hingga berbunyi.
“Dini... ada apa?”,
tegur bu Eni tiba-tiba.
“Eh, eng..enggak bu,”,
jawab Dini kikuk disusul dengan suara pekikan beberapa teman kelasnya akan
tingkahnya yang aneh.
Tetttttt.....
bel istirahat berbunyi. Bu Eni lalu mengakhiri pelajaran waktu itu. Sedangkan
beberapa teman kelas Dini tampak berboyong-boyong mulai meninggalkan kelas.
Entah apa yang
dipikirannya, Dini segera berlari dan berdiri di depan kelas. “Teman-teman
tunggu sebentar!”, sergahnya lantang. “Sudah lima hari teman kita, Rina tidak
berangkat. Ada yang tahu kenapa?”, lanjutnya kepada teman-temannya yang sedang berdiri
mematung.
“Tidak!”, salah seorang
temannya menjawab. Yang lainnya hanya bisa mengangkat bahu tak tahu.
“Aku tahu!”, ucap salah
seorang dari barisan paling belakang tiba-tiba.
Belum sempat bertanya
lagi, dengan cepat suara celetukan datang. “Sakit panu!”
Mendadak ruangan kelas
berubah seperti berada di atas panggung komedi. “Eh, ini serius, bukan waktunya
untuk beranda.”, pangkas Dini geram. “Hari ini, ada yang mau ikut saya menjenguk
Rina?”, katanya lagi menawarkan.
“Loh, emang kamu tahu rumahnya?”, tanya salah satu temannya.
“Hemm...”, gumam Dini
sambil menatap langit-langit kelas berfikir. Clikkk...jarinya berbunyi kemudian. “Kita tinggal bertanya sama
tantenya,”,lanjutnya pasti.
“Maksud kamu bu Eni?”
“Tepat sekali!”, sergah
Dini sambil meraih topi merah yang ada di bangkunya. “Nanti masalah alamat,
biar saya yang urus, pokoknya tinggal beres. Dan buat teman-teman yang ingin
menjenguk, boleh saja. Asalkan tidak mengganggu Rina. Selanjutnya, yang
terakhir, saya minta iuran seikhlasnya dari teman-teman untuk Rina,”.
Hemmm... ternyata
begitu yah maksud Dini. Menjenguk Rina. Tapi siapa sih Dini itu? perempuan itu kok
sembarangan mengatur teman-temannya di kelas?!?. Eh, jangan salah loh. Walaupun perempuan,
tetapi dia seorang ketua kelas. Bukan karena dia bersuara lantang seperti
laki-laki, ataupun rambutnya yang pendek, hiihihi.. tidak mungkin! karena dia memakai
kerudung. Ceritanya, ketika pemilihan calon ketua kelas, hanya Dini satu-satunya
perempuan di kelas yang mengajukan diri. Entah apa yang dipikirannya saat itu,
yang pasti sifatnya yang tegas dan dikenal pintar itu membuat teman-temannya
berdecak kagum. Oh iya, meskipun belum memiliki pengalaman menjadi ketua kelas,
tetapi Dini tetap pede mempimpin
temannya di kelas loh. Kuncinya, yaitu keberanian dan.... semangat!, katanya
sewaktu berkenalan diri. Tetapi perlu diketahui juga kawan, menjadi ketua kelas
itu bukan posisi yang sembarangan, hihihi.... katanya, menjadi ketua kelas itu
harus mampu bertanggung jawab. Selain bertanggung jawab memimpin doa di kelas,
seorang ketua kelas juga harus menertibkan keadaan kelas jika gaduh. Terutama
jika bu Eni, wali kelas lima berhalangan hadir ataupun ada keperluan lain. Wah,
tau tidak? tidak semua teman Dini bisa diatur loh, tetapi tenang saja, pikir Dini
yang sudah mempunyai senjata ampuh. Dengan menuliskan nama mereka, kemudian
dilaporkannya pada bu Eni. Hahaha.... alhasil, si pembuat gaduh dihukum bu Eni.
Dan di akhir cerita, mereka jera dan tentunya kelas menjadi tenang.
Kembali ke kelas, Dini kembali
berdiri tegak di hadapan teman-temannya setelah berputar mengumpulkan
sumbangan. Eh, ketinggalan sesuatu tentang Dini nih. Ia juga memiliki jiwa
sosial yang tinggi loh. Nah, salah satu contohnya dengan menjenguk temannya. Bukan
Cuma di sekolah saja, di rumahnya yang sederhana, ia juga rajin membantu
ibunya. Terutama ketika ibunya memasak, biasanya Dini menyapu dan mencuci
piring. Bahkan sewaktu pulang sekolah, tak jarang ketika ia melihat seorang
pengemis, ia langsung membeli sebungkus nasi dan diberikannya kepada pengemis
itu. Menurut Dini, kalau memberikan makanan, bisa langsung diambil manfaatnya,
daripada memberi pengemis itu uang, kalau hilang bagaimana hayo? kasihan pengemisnya
juga kan? hihihi....
“Masih jauh kah?”,
tanya Ayu.
“Lumayan,”, pangkas
Dini sambil mengayuh sepedanya.
Tak banyak dari
teman-temannya yang menjenguk Rina. Alasannya sih, mereka bakalan bergiliran
menjenguknya. Khawatir mengganggu Rina, kata mereka. Bayu dan Bisma berada di
barisan belakang mengikuti arah ayunan sepeda Dini. Dan ditangan Dini, sebuah
kertas dari bu Eni, terukir alamat rumah Rina. Sedangkan Ayu, tengah asik
menggonceng di belakang Dini.
“Hem... Gang
Semboja...”, gumam Dini sambil memperhatikan tiap tulisan di gapura yang
dilintasi. “TOKO SERBA ADA”. Ia mendadak menepi menghentikan lajunya tepat di
depan toko itu.
“Eh, tunggu
yah,”,ucapnya sambil menyerahkan sepedanya pada Ayu.
“Ke toko? mau apa?”,
tanya Ayu heran.
Sambil berjalan cepat
menuju pintu toko, Dina membalas, “Sebentar saja, oke?”
Beberapa menit
kemudian, Dini muncul dari toko tersebut dengan tas kresek hitam
digenggamannya.
“Apa tuh?”, tanya Ayu.
Bayu dan Bisma menyimak pembicaraan mereka.
“Susu dan roti,”, jawab
Dini menyodorkan tas kresek.
“Loh, buat apa tuh?”, sela
Bayu kemudain.
Sambil mengayuh
sepedanya lagi, Dini menjawab, “Buat Rina,”
Ayu menelan ludah
mendengar ucapan Dini, sedangkan Bayu dan Bisma yang tertinggal tak jauh di belakang,
hanya bisa memperhatikan dengan seksama tiap jalur yang Dini lewati. “Eh, Rina
kan orang kaya, lihat saja bu Eni. Tantenya saja baru kemarin beli motor,”,
kata Ayu.
“Terus? menurut kamu,
di kelas tadi saya meminta sumbangan teman-teman buat apa coba?”, tanya Dini
balik.
“Hemm.. kupikir
sumbangan mereka buat kita, ongkos menjenguk gitu,”
Dini terkekeh mendengar
ucapan temannya itu, sampai-sampai hampir tidak bisa mengimbangi sepedanya
lagi. “Kamu ini, ada-ada saja. Kalau begitu, namanya mengharap imbalan. Tidak
baik loh,”
Ayu terdiam menyelami
ucapannya barusan.
“Kalau kita kasih uang,
bisa hilang,”, lanjut Dini terkekeh. “Tapi perlu kamu tahu, ini bukan sembarang
roti dan susu loh, tapi roti dan susu ajaib,”
Ayu mengkerutkan
dahinya tak paham, lalu bertanya, “Roti dan susu ajaib? Maksudnya?”.
“Meskipun Rina bisa
membeli susu dan roti semau dia, tetapi yang membedakannya adalah, roti dan
susu yang akan kita kasih ini penuh dengan doa kesembuhan dari teman-teman, iya
tidak?”, Dini melanjutkan.
“Betul juga!”, kata Ayu
sambil menepuk punggung Dini pelan.
“Eh, main tepuk-tepuk
saja, memangnya saya kuda apah?”, canda Dini kemudian.
Hahahaha.... ternyata
Dini jago bercanda juga yah?. Tetapi tujuan utama belum selesai nih. Ayu
terlihat masih asik menggonceng Dini, ditambah dengan candaan khasnya, Ayu
dibuat terpingkal-pingkal oleh Dini. Sedangkan di belakang mereka, Bayu dan
Bisma, terlihat penasaran akan isi pembicaraan antara Ayu dan Dini, masih setia
mengikuti mereka.
Gang Semboja. Nomor 24.
Dua orang perempuan tengah berdiri di balik pagar kayu. Disusul kemudian Bayu
dan Bisma.
“Eh, ini rumahnya?”,
tanya Bisma sambil mengarahkan jarinya.
Ayu dan Dini mengangguk
bersamaan.
“Assalamu’alaikum..”,
ucap Dini sambil mengetuk pagar.
Dibalik pagar yang
lebih tinggi sepuluh meter dari mereka, Ayu mengintip dari sela-sela, lalu... “Rina..!!”, teriaknya.
“Eh, rumah orang, tidak
sopan teriak-teriak begitu..”, sergah Dini.
“Tadi ada Rina. suerrr”, lanjut Ayu mengangkat jari
tengah dan jari telunjuknya. “Tadi dia lari ke dalam rumah,”
“Masak sih?”, sambung
Bayu.
“Assala......”
Krekkkkk..
suara pagar terbuka memotong salam Bisma.
“...mu’alaikum”, lanjut
Bima dengan muka memerah.
Dihadapan mereka, bu
Eni berdiri tegap. “Wa’alaikumsalam..”, balasnya kemudian.
Dini, Ayu, Bayu dan
Bisma setengah bingung, karena setahu mereka, bu Eni masih berada di sekolah
melihat mereka setengah melamun, perempuan itu berkata, jika ia adalah kembaran
bu Eni. Begitu mirip, pikir mereka. Namanya bu Eno. Segera bu Eno
mempersilahkan mereka duduk, lalu berlalu ke dapur dan kembali dengan empat
gelas air jeruk yang terlihat sangat segar.
“Tante, Rina apa kabar?
sudah lima hari tidak berangkat,”, kata Dini setelah memperkenalkan diri.
Bu Eno kemudian memulai
untuk menceritakan keadaan anaknya, Rina. Katanya, Rina terserang penyakit
cacar. Dia malu untuk berangkat sekolah. “Ih, nanti dikira macan tutul,”, kata
bu Eno menirukan gaya Rina. Apalagi sejak saat itu juga, Rina enggan untuk
sekedar bermain di luar rumah. Paling-paling hanya sebatas halaman. Dan jika
ada orang yang melintas, ataupun datang ke rumah, dia langsung berlari masuk ke
dalam kamar.
Mendengar cerita mamanya
Rina, sepertinya Dini dan kawan-kawan memahaminya. Lalu tanpa meminta bertemu dengan anaknya, mereka kemudian
menyerahkan kantong kresek berisi susu dan roti yang masih dibawa oleh Dini. Dan
dengan senyuman, bu Eno menerima bingkisan itu. “Terima kasih..”, ucapnya.
“Tante... titip salam
buat Rina yah, semoga lekas sembuh,”, kata mereka berpamitan.
Sesaat setelah
mendekati pintu pagar, seseorang berteriak menghentikan langkah mereka. “Tunggu..!!”,
kata orang itu sambil berlari.
Rina dengan badannya yang
bentol-bentol tampak kembang kempis mengatur nafas. “Terima kasih ya, kalian
sudah menjengukku. Dan juga buat susu dan rotinya,”, kata Rina yang sudah
berdiri menghadap Dini dan kawan-kawan. Dikatakan, Rini tidak malu lagi dengan
keadaannya. Dan dia berjanji akan berangkat ke sekolah besok, belajar bersama
teman-temannya yang baik hati. J
Ternyata kebaikan itu
indah ya....
oleh Tarmudi
Cerpen anak 9
No comments:
Post a Comment