Anak-anak
berlarian ke luar kelas. Dengan semangat mereka lalu menuju ke kantin. Beberapa
dari mereka juga ada yang hanya duduk di kursi taman sambil menikmati bekal makanan
yang dibawa dari rumah. Waktu istirahat sepertinya dipergunakan sebaik mungkin
oleh anak-anak kelas tiga SD Tunas Bangsa. Di depan kelas, beberapa anak
perempuan terlihat sedang berkumpul bersama sambil memperkenalkan pita yang
sedang heboh diperbincangkan dimana-mana. Dengan berbangga hati, mereka saling
menunjukkan pita yang mengikat rambut mereka masing-masing. Lain hal dengan
kedua anak perempuan yang masih di dalam kelas, tampak serius
berbincang-bincang.
“Ah, sebel deh.”, ketus
Tika dalam hatinya. Wajahnya tampak murung saat melihat teman-temannya sudah
memiliki Pita cantik itu. Bahkan, beberapa kali dibujuk oleh Prita, ia enggan
bangkit dari tempat duduknya. “Ah, aku lagi sebel banget,”, jawabnya ketus pada Prita. Tak menyerah, Prita terus
membujuk teman sebangkunya tersebut, serta berusaha menghiburnya.
“Gara-gara pita itu
yah?”, kata Prita yang sudah menangkap gerak-gerik Tika.
Tika manggut-manggut
dengan bibirnya yang manyun.
“Ah, cuma Pita saja. Apa
sih, bagusnya?”, timpal Prita setengah ragu. Padahal, sesungguhnya ia juga iri
melihat teman-temannya memiliki Pita yang sedang heboh saat itu. Tapi,
lagi-lagi uang yang membatasi pikiran Prita untuk memilikinya.
“Bukan Cuma itu,”,
jawab Tika setengah sesal.
Prita mengerutkan dahi.
“Terus?”, tanyanya lagi penasaran.
Tika lalu menarik nafas
panjang. Kemudian, ditatapnya wajah Prita yang sudah dihadapannya. Dengan wajah
yang berkaca-kaca, ia memulai untuk menceritakan hal yang terjadi padanya.
“Sebenarnya kemarin aku
sudah memiliki uang buat membeli pita. Sepulang sekolah, aku langsung menuju ke
toko RAHMAT. Itu loh, toko satu-satunya yang menjual pita yang sekarang dipakai
teman-teman. tapi....”
“Tapi apa??”, potong
Prita yang masih antusias mendengarkan cerita sahabatnya itu.
“Tapi... aku malu
sekali!. Pita yang cantik itu memang sudah ditanganku. Tetapi, giliran aku
ingin membayarnya, ternyata uangku tidak ada. Sudah kucari di saku, di tempat
pensil, aku tidak menemukannya. Kemudian ketika kucari di tasku.... hasilnya
sama saja. Bahkan kudapati, tasku ternyata sudah berlubang. Kupikir, uangku
pasti jatuh di jalan. Lalu dengan rasa kecewa, aku tak jadi membeli pita itu. Aku
malu sekali.”
Oops..!!
mendengar
cerita Tika, tiba-tiba Prita teringat sesuatu. Kemarin, sepulang sekolah, Prita
menemukan uang tepat di bawah bangku Tika. Sebenarnya Prita ingin menanyakan
pada Tika dan memastikan jika uang itu miliknya. Tetapi, Prita kecolongan.
Karena, Tika terburu-buru keluar kelas saat itu, sehingga ia tak sempat
bertanya pada teman sebangkunya tersebut. “Ah, mungkin saja ini
keberuntunganku,”, kata Prita dalam hatinya kemudian. Ya, ia berpikir jika uang
itu mungkin keberuntungannya. Apalagi dengan uang tersebut, Prita bisa membeli
pita, pikirnya. Saat itu pula senyum Prita mengembang. Ia tak menyangka akan
segera mempunyai Pita yang serupa dengan teman-temannya.
“Eh, tau tidak?”,
lanjut Tika membuyarkan lamunan Prita.
“Yah?”, balas Prita dengan
tatapan yang berubah seketika.
“Setelah kejadian itu,
aku mencoba menelusuri jalan yang aku lalui ketika pulang sekolah. Tetapi tak
kudapatkan. Di kelas, tidak mungkin. Kalau memang jatuh di sana, pasti kamu
melihatnya, bukan? dan pastinya kamu bakalan mengembalikannya..”, terang tika
melanjutkan.
“Apa mungkin uang yang
aku temukan itu milik Tika?”, pikir
Prita menebak-nebak. “Tapi....”, Tika
menunduk penuh keraguan. Dengan uang itu, Prita bisa membeli pita, tetapi, jika
uang itu benar-benar milik Tika, maka impian untuk memiliki pita cantik itu
kandas, pikirnya lagi.
Prita tertegun
mendengar ucapan Tika, lalu dengan nyengir kuda, ia menjawab, “Eh.. iya dong. Sudah
pasti aku akan mengembalikannya,”
“Tak hanya sampai
disitu, aku terus menyelusuri jalan berulang-ulang, hingga aku benar-benar tak
menemukan uangku. Saat itu juga aku menyerah dan memutuskan untuk pulang saja. Ughhhhh.... sebelnya! padahal aku ingin
sekali membeli pita itu. Meminta uang sama mama, itu sungguh tidak mungkin. Kata
mama, uang itu, uang terakhir buatku untuk membeli sesuatu yang bukan peralatan
sekolah,”, lanjut Tika bertubi-tubi.
“Hem... memangnya uang
kamu berapa?”, tanya Prita menyelidiki.
“Sepuluh ribu!”, jawab
Tika dengan wajah kesalnya.
Wah, ternyata... jumlah
uang itu sama dengan jumlah uang yang ditemukan Prita!
“Sepertinya uang itu
milik Tika,”, ucap Prita dalam hatinya. Ia begitu yakin akan uang yang ditemukan
di bawah bangku Tina. “Ah, tapi....”. Lagi-lagi Prita mengurungkan niatnya. “Tapi...
dengan uang itu aku bisa membeli Pita,”. Mendadak wajah Prita menjadi pucat
pasi.
Air mata Tika tak
terbendungkan lagi, lalu segera dipeluknya Prita erat-erat. “Tau tidak?
sepulang sekolah, aku dimarahi mamaku. Kata mama, aku pulang terlambat. Padahal
aku seudah menceritakan alasanku, tetapi mama tidak mau menerimanya, karena dia
khawatir dengan keselamatanku. Aku benar-benar sial deh, sudah jatuh, tertimpa
tangga juga. Sudah uang hilang, tidak bisa mempunyai pita, ditambah rasa maluku
sama penjual toko.”.
“Oh iya!”, seru Prita sambil
melepaskan pelukan Tika. Tangannya lalu segera merogoh kantong bajunya. “Nih,”,
katanya sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribu.
Tika mengerutkan dahi
tak paham, “Apa ini?”
“Duh!” Prita menepuk
dahinya pelan. “Aku benar-benar lupa. Kemarin aku menemukan uang ini di bawah
bangkumu, aku yakin, ini pasti uangmu,”,
“Ah, yang benar?”,
balas Tika dengan wajah yang sumringah. “Terima kasih Prita, kamu benar-benar
sahabatku,”, lanjut Tika sambil memeluk kembali tubuh Prita.
“Ah, biasa saja. Itu
kan uang kamu? lagian seharusnya aku minta maaf, karena....”, balas Prita tak
melanjutkan.
“Karena apa?”.
Sambil menyeka lelehan
air mata di pipi Tika, Prita berkata, “Karena... aku memencet hidungmu,”. Lalu
segera Prita memencet hidung Tika cepat.
Mereka lalu
berkejar-kejaran. “Ih... Prita jahat!”, kata Tika berusaha membalasnya.
Prita urung mengatakan
yang sebenarnya, bahwa sebenarnya ia urung untuk mengembalikan uang Tika,
karena keinginannya yang kuat untuk membeli pita. Tetapi, akhirnya ia menyadari
bahwa perbuatannya itu salah. Dan baginya, nilai sebuah pita tidak sebanding
dengan nilai seorang sahabat. Untuknya, kesedihan seorang sahabat adalah
kesedihannya juga, demikian pula dengan kebahagiaan.
Sepulang sekolah, Tika
mengajak Prita untuk menemaninya ke toko RAHMAT. Lalu dengan senang hati, Prita
menemaninya. Dengan uangnya, ternyata Tika mendapatkan dua buah pita. Tanpa
pikir panjang lagi, ia lalu mengikatkan salah satu pitanya pada rambut anak
perempuan yang di hadapannya. “Ini, untukmu, sebagai tanda terima kasih. Dan
juga sebagai tanda persahabatan kita,”, kata Tika kemudian.
Prita hanya tersenyum
bahagia mempunyai sahabat yang baik seperti Tika. Selain itu, ia juga, akhirnya
ia memiliki pita cantik yang sama seperti sahabatnya itu. “Terima kasih Tika...”,
balas Prita dengan pelukan hangat.
Oleh Tarmudi
Cerpen Anak - Pita Cantik Untuk Prita
No comments:
Post a Comment