Sekitar lima menit yang
lalu, bel istirahat berbunyi. Sekitar lima menit pula, Juju terlihat masih
duduk di bangku taman dengan menyokong dagunya. Sesekali teman kelasnya
mengajak bermain bola di lapangan atau sekedar membeli jajan di kantin, tetapi dengan
jawaban yang sama, ia menolaknya, dan enggan bangkit dari lamunannya. Bagi
teman kelasnya, Juju terlihat sangat aneh hari itu. Tidak seperti biasanya ia
menyendiri, apalagi sambil melamun. Yah, Juju sedang mengingat obrolannya
dengan teman-temannya tadi pagi. Teman-temannya merencanakan untuk bermain
layang-layang bersama sore nanti. Wah, itu sangat mengasikkan!, pikir Juju
bersemangat. Tapi... semangatnya mendadak luntur, ketika dia mengingat ucapan
mama satu minggu yang lalu. “Kamu jangan sekali-kali bermain main layang-layang
lagi!”, begitu kata mama dengan nada mengancam Juju. Kejadian itu bermula saat
Juju berlarian mengejar layang-layang yang putus. Didapatnya layang-layang
putus tersebut, tetapi ada anak lain yang mengaku kalau dia yang pertama
mendapatkan layang-layang tersebut. Karena tidak terima, Juju mempertahankan
layang-layang yang seharusnya ia miliki. Tetapi tetap saja, anak di hadapan
Juju ngotot mengakui jika ia yang lebih dulu mendapatkan senarnya, yang berarti
layang-layangnya sudah pasti menjadi bagian dari senar. Karena geram, anak
tersebut langsung merebut layang-layang yang ada di tangan Juju. Tidak mau
kalah, Juju balas menarik kembali. Alhasil, tarik menarikpun terjadi.
dan....... bretttt layang-layang itu terbelah menjadi dua.
Mereka berdua tersungkur ke tanah.
“Kamu nakal!”, kata
anak tersebut sambil menangis dan berlalu dari hadapan Juju.
Sepulang bermain, mama
Juju ternyata sudah menunggu di depan rumah. Ditatapnya wajah Juju dengan
garang. “Dari mana?”, tanya mama Juju sambil mengaitkan tangan di pinggangnya.
Dengan tertunduk setengah
ketakutan, Juju menjawab, “Main layang-layang mah...”
“Besok dan seterusnya,
mama minta kamu jangan bermain layang-layang lagi!”. Begitu kata mama Juju
selanjutnya. Ada apa dengan mama?, pikir Juju terheran-heran. Tidak biasanya
mama marah gara-gara Juju bermain layang-layang. Hemm... apa mungkin, gara-gara
anak itu..., ya! pasti anak si
perebut layang-layang itu berbicara yang mengada-ada sama mama. Uh, sial!
Sejak mendengar
larangan mama bermain layang-layang, Juju menjadi pemurung. Apa lagi, setiap
melihat dari jendela kamarnya, dilihatnya layang-layang terbang tinggi yang
menyentuh awan, membuatnya semakin sedih. Sesekali dipikirannya melintas untuk
mencoba bermain layang-layang kembali. “Mama sudah bilang, jangan bermain
layang-layang lagi!”, begitu mama Juju
berkata lagi, saat melihat Juju membawa layang-layang. Sepertinya larangan mama
benar-benar untuk selamanya, pikir Juju pasrah.
“Hoi!!!! bengong saja
dari tadi!”, seru seseorang sambil menepuk punggung Juju tiba-tiba.
Juju tersentak,
mendadak wajahnya memerah amarah.
“Hei,”, katanya sambil memutar
pandangan. Di hadapannya, sudah berdiri Veldy yang sedang tertawa lepas.
“Eit, santai.....”, kata
Veldy menangkis tangan Juju yang hampir mendarat di Pipinya.
“Ah, kamu ini! mengganguku
saja,” kata Juju sambil kembali ke posisi semula.
Veldy beralih duduk di
samping Juju. “Ada apa nih?”, tanya Veldy ingin tahu.
“Ah, mau tau saja,”, ketus Juju.
“Kalau boleh sih,”,
kata Veldy lagi sambil tersenyum pasrah.
“Kamu kok ke sini?
tidak gabung sama teman-teman?”, kata Juju membuka obrolan baru.
“Maksud kamu bermain
bola?”
“Yap!”
“Kalau lagi sariawan,
aku tidak bisa bermain bola,”, jawab Veldy.
Mendengar jawaban temannya,
Juju nyengir kuda. “Ah, kamu ini. Emang ada hubungannya antara bermain sepak
bola dan sariawan?”
“Ada dong. Memangnya
bermain sepak bola itu cuma pakai kaki?. Nih, mulut juga dipakai tahu!”, ucap
Juju sambil menarik bibirnya ke bawah. “Mulut ini, kalau buat teriak, panasnya
luarr biasa!”
Juju tertawa lepas
mendengar alasan konyol Veldy.
Sambil menyernyitkan
dahi, Veldy lalu berkata garang, “Wah, senang lihat bibirku begini?”
“Senang sekali,”, canda
Juju sambil menjulurkan lidahnya lalu tertawa lepas.
“Kamu ini,”, kata Veldy
sambil mendorong Veldy dengan sikunya pelan. “Eh, terus kalau kamu?”, tanya
Veldy kemudian.
“Apa?”,balas Juju masih
menahan tawa.
“Yah, kenapa tidak bermain bola? malahan melamun disini, ada apa
sih?”
Mendadak pertanyaan Veldy
menghentikan kekehan Juju. “Ah, tidak ada apa-apa,”
“Benar?”, desak Veldy.
Juju terdiam sesaat,
lalu secara perlahan mulutnya mulai dibuka. Diceritakanlah semua kejadian
seminggu yang lalu di rumahnya. “Sudah seminggu aku dilarang bermain
layang-layang sama mama,”, kenangnya.
“Loh, kenapa?”
Juju mengangkat bahu
tak tahu.
“Loh, kenapa tidak
tahu?”
“Intinya, aku tidak
boleh bermain layang-layang lagi. Padahal teman-teman akan bermain
layang-layang bersama sore ini,”, lanjut Juju dengan nada sesal. “Padahal kamu
tahu kan, aku suka sekali bermain layang-layang. Apalagi sama teman-teman,
pasti tambah seru.”
“Begitu saja?”, kata Veldy
ringan. “Kamu tinggal minta ijin saja, begini.... mah, Juju mau bermain
layang-layang dulu yah,”
“Ah, kamu ini. Kan
sudah kubilang, pokoknya mama tidak mengijinkanku!”
Veldy lalu terdiam
sejenak sambil memandang langit. Sesekali ia menatap orang yang duduk disampingnya
itu berwajah muram. “Aha!!!”, Seru Veldy kemudian sambil memetik jarinya. “Eh,
aku ada ide!”
Juju menyempitkan mata.
“Ide? Ide apa?”, desaknya ingin tahu.
“Nanti sore, kamu minta
ijin ke mama, kalau kamu akan belajar kelompok,”
Juju masih menyempitkan
matanya, lalu dibacanya tiap gerakan bibir Veldy. “Terus?”
“Nah, kalau kamu
beralasan belajar kelompok, aku yakin mama kamu bakalan kasih ijin. Selanjutnya,
kamu datang saja ke rumahku. Nanti kamu bisa pinjam layang-layangku. Kebetulan saja
aku punya dua,”
“Tunggu!”, sergah Juju.
“Maksud kamu, aku berbohong sama mamaku?”
Veldy mengangguk
mantap. “Yap! kurang lebih seperti
itu,”
Mendengar ide temannya
itu, lantas Juju tidak langsung menyetujuinya. Perlu waktu berpikir untuk
semuanya. Karena bagi Juju, melakukan kebohongan itu berarti melakukan dosa. Tapi....
ah, yang penting aku bisa bermain layang-layang sama teman-teman, pikir Juju
menyetujui ide Veldy. Lagian, cuma satu kali berbohong tidak masalah. “oke,”, katanya pada Veldy sambil
mengacungkan jempolnya.
Alhasil, semangat Juju
kembali berkobar. Bahkan, sepertinya ia tidak perduli akan kebohongannya.
*********
“Assalamu’alaikum....”,
ucap Juju pada mama yang sedang memasak.
“Wa’alaikumsalam...”,
jawab mama.
Juju menarik nafas dalam-dalam,
mulutnya mulai menganga, sebuah kebohongan pertama akan ia lakukan pada mama.
“Mah, Juju mau belajar kelompok,”, kata Juju setengah ragu. Jantungnya berdegup
kencang. Keringat dinginnya mulai bermunculan di keningnya.
“Belajar kelompok di
mana?”
“Di.. di.. rumah Veldy
mah,”, jawab Juju tergagap sambil sesekali menyeka keringatnya.
Mama Juju berhenti
sejenak. Diperhatikannya gelagat anaknya yang berbeda. “Belajar kelompok kok
tidak membawa tas?”
“A..anu mah, buku Juju
sudah dititpkan ke Veldy, biar tidak repot mah,”
Pertanyaan demi
pertanyaan mama lontarkan, tetapi Juju bisa terus menjawabnya. Alhasil,
kebohongan yang dilakukan Juju itu terus bertambah, bertambah dan bertambah.
“Yes!”, seru Juju dalam hatinya. Akhirnya mama mengijinkannya. Lalu tanpa pikir panjang, Juju segera berlalu
dengan wajah riang dan plong. Di perjalanan, sambil melangkahkan kaki, Juju
tersenyum gembira membayangkan permainan layang-layang nanti. Padahal, dia
sudah membohongi mama.
Jarak antara rumah
Veldy dan Juju tidaklah terlalu jauh. Hanya berbeda nama desa. Apalagi jika
jalan pintas yang dilewati, sudah pasti dengan waktu yang tak lama Juju dengan
cepat sampai di depan rumah Veldy.
“Hei!”, seru Juju
sesaat melihat temannya tengah menunggu di teras rumah.
Veldy langsung bangkit
dari duduknya sambil mengaitkan dua buah layang-layang di punggungnya. “Yuks, langsung cabut!”, ajak Veldy tanpa basa-basi.
“Ayooo...”, balas Juju
semangat.
*******
Permainan
berlangsung seru! sudah tiga buah layang-layang milik teman-temannya terputus!
tentunya karena serangan dari layang-layang Juju.
“Wah, layang-layang
kamu hebat juga!”, puji Juju sambil menarik ulur senarnya.
“Pasti dong, Veldy...”,
balas Veldy menepuk dada. “Apa lagi senarnya, wuih... tajam abis dah,”
Masih asik bermain,
mereka tidak memperdulikan waktu. Padahal matahari hampir tenggelam. Tiga jam
lamanya!
Sambil menarik layang-layangnya,
Veldy lalu berkata, “Pulang yuks,”
“Ah, nanti saja.
Sebentar lagi. Tinggal satu nih,”, jawab Juju yang masih sibuk meliuk-liukkan layang-layangnya.
Veldy menarik nafas
panjang, lalu dihembuskannya lagi. “Aku pulang dulu yah?”
“Yap!”, jawab Juju. Akhirnya, dengan mengedip-kedipkan mata setelah
menatap cahaya di balik layang-layang, Veldy berlalu mulai meninggalkan
temannya sendiri. “Eh, tunggu!”, cegah Juju kemudian.
Veldy berhenti
melangkah sesaat. “Ada apa?”, katanya dengan suara serak.
“Jangan bilang sama
mamaku, kalau aku bermain layang-layang, oke?”
Bibir kering Veldy
bergerak lamban. “Oke,”
Di rumah, mama Juju sedang
duduk di teras. Wajahnya pucat pasi dipenuhi dengan kecemasan. Sesekali mama
memainkan jarinya sekedar menghilangkan perasaan itu. Tetapi tidak bisa. Beberapa
saat yang lalu, mama menunggu anaknya yang tak kunjung pulang. Padahal jam
mandi sore sudah terlewatkan. Bahkan, hari itu sudah terlalu petang. Ah,
mungkin tugas sekolah terlalu banyak, sehingga Juju lupa waktu, pikir mama. Tetapi,
entah kenapa perasaannya tetap saja cemas. Lalu mama memutuskan untuk
menghubungi Veldy melalui telepon. Dari sana, mama mendapatkan kabar jika Juju
tidak sedang bersama Veldy. “Juju tidak ada tante...”, begitulah kata Veldy
yang membuat mama semakin cemas. Mama mencari ke tiap sudut desa, ke rumah
kakek dan nenek, tetapi tetap saja, Juju tak didapatkannya. Pernah sesekali
mama berniat ke lapangan, tapi diurungkannya. “Ah, mama kan sudah melarang Juju
bermain layang-layang. Tidak mungkin Juju melanggar perintah mama,”, begitu
pikir mama.
Layang-layang masih
terbang tinggi. Juju masih sibuk mengikat senarnya setelah diulurnya senar itu
hingga tak bersisa dari kaleng pengikatnya. Bayangan hitam semakin memudar, hingga
tak ada lagi berkasnya. Cahaya mentari sudah habis tenggelam.
Sesaat setelah selesai
menurunkan layang-layangnya, Juju berlari kencang. Pikirannya kalang-kabut
membayangkan mama yang mungkin sudah siap menerkam. Berlari..berlari dan
berlari...!!, seru Juju dalam hati mengejar waktu. Hingga sampai di rumahnya,
teras rumahnya tampak kosong. Lalu dengan langkah yang mengendap-endap, Juju
mulai mendekati pintu.
“Juju....?!”, seru
seseorang dari belakang. Hap! Juju menghentikan langkahnya, lalu berputar.
“Mam...mama...?”,
katanya lalu menunduk setengah ketakutan.
Mama langsung berlari
memeluk Juju. Mama kok tidak marah?, tanya Juju dalam hatinya.
“Tugas kelompoknya
benar-benar sulit mah. Sampai-sampai Juju lupa waktu,”, kata Juju masih
membohongi mama.
Mama melepas pelukan,
lalu ditatapnya mata Juju dengan penuh kasih sayang. “Mama lebih suka kalau
anak mama berkata Jujur,”
“Ah, bener kok mah..”
Mama Juju lantas tersenyum
melihat anak dihadapannya berbohong. “Juju bermain layang-layang kan?”
Deg!
jantung Juju mendadak berhenti sesaat. Keringat dingin mulai muncul dari
keningnya. Tubuhnya bergetar, seolah-olah tengah digoncang gempa. Tak satu
katapun yang mampu Juju ucapkan. “Maafkan Juju ma...”, jawab Juju balas memeluk
mama dengan mata yang berkaca-kaca.
Perasaan mama menjadi
tenang, saat anaknya kembali. “Mama sudah pasti memaafkan Juju,”, jawab mama. “Maafkan
mama juga, telah melarang Juju bermain layang-layang. Mama tahu Juju sangat
suka bermain layang-layang, tetapi mama takut kalau Juju menjadi lupa waktu. Waktu
untuk makan, waktu untuk istirahat, dan waktu untuk belajar. Mama sayang sekali
sama Juju. Mama tidak mau Juju menjadi anak bodoh dan nakal. Dan saat itu ada
seorang anak yang lapor mama, jika Juju sudah merobek layang-layangnya. Itulah
yang membuat mama melarang Juju,”
Anak itu?, pikir Juju.
Anak yang merebut layang-layangku. Ah, itu tidak penting, tepis Juju. Yang
terpenting adalah mama sudah memaafkanku. “Terus? dari mana mama tahu kalau
Juju bermain layang-layang?”, tanya Juju kemudian.
Untuk kedua kalinya,
mama melepas pelukan anaknya. Dirahihnya sesuatu dari balik punggung laki-laki
dihadapannya. “Ini apa?”, kata mama.
Juju terkejut
melihatnya. Ternyata Juju belum mengembalikan layang-layang Veldy dan masih
dikaitkan di punggungnya. Malunya aku, kata Juju dalam hatinya.
“Hampir saja mama pergi
ke kantor polisi, tapi untung saja, ada tetangga yang menelpon mama jika dia
melihat kamu pulang. Mama sadar, semua ini karena salah mama. Tetapi ini juga
untuk kebaikan kamu. Dan.... mama mengijinkan Juju bermain layang-layang,
asalkan tidak lupa waktu,”
Juju manggut-manggut
memastikan ucapan mama. “Pasti mah..”, katanya.
“Tapi... satu lagi!”
mama mengangkat jari telunjuknya tepat di depan mata Juju.
“Apa?”
“Dilarang membohongi
mama lagi,”
Mendengar ucapan mama
itu, Juju nyengir kuda. Ia menyadari jika kebohongannya sudah menyusahkan mama.
“Juju janji mah tidak akan membohongi mama lagi..”, katanya lagi mengakhiri
kesalahannya.
oleh Tarmudi
Cerpen Anak 10 - Juju Harus Jujur
No comments:
Post a Comment