Perkenalkan namaku
Bella. Mama, papa termasuk teman-teman sekolahku biasa memanggilku Ella. Kenapa?
itu karena sewaktu masih kecil, saat aku memperkenalkan diri, belum bisa mengucapkan
huruf B secara jelas. Jadi cuma Ella deh, hihihi... Oh iya, aku bersekolah di
SD Nuansa. Sekolah yang sangat bersih dan indah. Menurut orang-orang sih,
sekolahku adalah sekolah favorit dan sekolah paling bagus. Banyak teman-temanku
yang orang tuanya sebagai pejabat loh.... seperti papa. Pekerjaan papa sebagai
pejabat tentu memudahkanku untuk membeli apapun. Bahkan akhir-akhir ini aku
minta dibelikan Hape terbaru. Meski mama terkadang melarangku sih, bilangnya begini,
“Ella, kamu kan masih SD. Kok pegang Hape segala?,”.
Aku menjawab dengan
santai saja. Teman-teman Ella juga pada pegang hape mah,.
“Tapi nanti kamu jadi
malas belajar,”, kata mama lagi.
“Tidak mah..”, aku
menggeleng-geleng.
“Benar..?”, mama memastikan.
Yap!
akhirnya mama lunak juga. Kamu tahu tidak? dari kelas satu sampai kelas lima
aku selalu mendapatkan peringkat satu loh, mungkin mama takut akan nilaiku
bakalan merosot. Tapi itu tidak mungkin, kalau aku rajin belajar dan membaca
pasti pintar!
*******
Seminggu
setelah mempunyai hape, rasanya sangat membahagiakan. Selain bisa
telpon-telponan sama teman-teman, juga bisa sms-an. Entah tanpa disadari, aku mulai
malas belajar ataupun sekedar membaca buku.
Sewaktu sedang asik
bermain game di hape, tiba-tiba mama
masuk ke kamarku.
“Ella, kamu kok main
hape terus?”, tegur mama padaku.
Sambil gerakan tangan
masih asik mengutak-atik di atas layar, aku berkata, “Lagi seru nih mah,”
“Ada pak Kardi
datang...”, lanjut mama yang berhasil mengalihkan perhatianku.
Sejurus kemudian aku
menghentikan permainanku. Lalu segera melongok dari lubang pintu kamarku yang
kebetulan tepat menghadap ruang tamu. Benar kata mama! pak Kardi? tumben sekali
datang, pikirku. Pak Kardi adalah wali kelasku. Rumahnya memang tak jauh dari
rumahku. Bahkan, setiap pulang pergi ke sekolah, beliau selalu melintas di
depan rumahku, tak pernah mampir.
“Ad..ada apa ya pak?”,
ucapku terengah-engah setelah berlarian.
Pak Kardi tersenyum.
Ternyata beliau menunjukku untuk menjadi perwakilan kelas dalam lomba cerdas
cermat antar sekolah. Wah, asiknya! tentunya aku senang sekali. Aku pasti juara
lagi!, kataku dalam hati yakin.
**********
Satu
hari lagi tiba waktunya. Perlombaan yang kutunggu-tunggu. Aku yakin bakal
mendapatkan juara pertama seperti kelas empat dulu. Yah, aku adalah langganan
juara pertama. Bahkan, semua teman-teman dan guru-guru mengenalku dengan baik.
“Ella, besok
perlombaannya kan?”, tanya mama sambil memegang setir mobilnya.
Aku mantuk-mantuk. Seperti
biasa, tanganku masih sibuk di atas layar hape.
“Ella, dari kemarin
mama belum pernah lihat kamu belajar, malah sibuk terus dengan hapemu, ”,
timpal mama.
“Tenang saja mah, Ella
masih ingat pelajarannya kok,”
Kudengar mama mengendus
menarik nafas dalam. Mama hanya terdiam dan sepertinya pasrah sekaligus percaya
akan perkataanku.
Beberapa menit
kemudian, aku menghentikan permainan sesaat. “Mah.. kacanya dibuka dong,”,
pintaku kemudian.
Segera mama memencet
tombol di depannya, dan secara otomatis kaca mobil di dekat tempatku duduk
terbuka. Tanpa berpikir lagi, aku merogoh tas dan mengambil botol mineral bekas
yang aku beli di sekolah tadi pagi. Dari atas mobil yang masih laju, kulempar
botol itu keluar tepat saat aku melihat tempat sampah. Yap! ternyata lemparanku meleset dan... terdengar seseorang
merintih kesakitan.
Tanpa minta ke mama
untuk menghentikan mobil, aku berteriak ke luar. “Maaf yah..”.
“Maaf...sama siapa?”,
ucap mama dengan mata masih menatap lurus ke arah jalanan.
“A.. anu mah, Ella
minta maaf sama mama..”, jawabku berpura-pura.
“Loh, tumben kamu...”,
balas mama tak percaya. “Eh, Ella lihat perempuan yang tadi tidak?”, tanya mama
membuka pembicaraan baru.
“Yang mana? memangnya ada
orang lain di mobil ini selain Ella dan mama?”
“Bukan itu maksud mama.
Kamu tahu perempuan yang di samping tempat sampah itu? yang barusan kita
lewati..”
Deg!
jantungku terasa terhenti. Perempuan itu, Apa mungkin maksud mama perempuan
yang terkena lemparan botolku itu? mungkin
juga... mama tahu kejadian itu? gawat! , pikirku menerka-terka saat itu. “Em.. emang ke.. kenapa
dengan perempuan itu mah?”, tanyaku setengah ketakutan.
“Kamu kenal perempuan
itu tidak?”
Aku mengangkat bahu,
sedikit lega sih, ternyata pertanyaan mama tidak menjurus ke pelemparan
botolku. Hihihi..
Sejurus kemudian, mama
mulai memperlambat laju mobilnya. Seperti biasa, mobil yang kami tumpangi
memasuki gerbang pedesaan. Bukan jalan utama sih, tetapi jalan pintas ini bisa
mempersingkat waktu mama buat mempersiapkan makan malam, kata mama. Sesekali
mama melempar pandangan ke arah rumah yang berjejer rapi. Meski berdinding
anyaman bambu, tetapi pelataran rumah mereka sangat bersih. Pelataran rumah
mereka yang kebanyakan bersusunkan kardus dan botol bekas.
Mama memulai membuka
mulutnya kembali. “Di sanalah perempuan itu tinggal,”
“Kok mama tahu?”,
tanyaku heran.
“Kata mbok Ijah. Masih
ingatkan?”
“Mbok Ijah yang merawat Ella dulu?”, ucapku
mencoba mengingatnya kembali. Mbok Ijah sudah dua tahun lalu meninggal karena
terserang penyakit jantung. Saat itu, aku menangis dan mama tidak mengijinkanku
ikut mengantarkan Mbok Ijah ke peristirahatannya yang terakhir, karena takut
akan kondisiku, kata mama saat itu.
“Dulu, Mbok Ijah sempat
bercerita, kalau perempuan itu adalah tetangganya. Perempuan itu baik, suka membantu
orang tuanya dan dikenal pintar, katanya. Mama percaya sama mbok Ijah, karena
mama sering melihat perempuan itu sedang membaca koran bekas, dan buku-buku yang
ia temukan di tong sampah. Dan Kata mbok Ijah juga, perempuan itu namanya
Santi,”
Mendengar cerita mama,
hati saya menjadi panas. Mana mungkin ada yang lebih pintar dariku? apa lagi perempuan
yang bernama Santi itu. Hanya Seorang pemulung. “Pintarnya masih kalah sama
Ella kan mah..?”, tanyaku sebal..
“Eh, kamu jangan salah.
Di sekolah, dia selalu juara loh,”, timpal mama lagi.
Sebal!! sebal!! sebaaaaaaaallll!!
sepertinya mama lebih membanggakan perempuan itu daripada anaknya sendiri,
pikirku.
*********
Babak
kedua telah berakhir. Tinggal satu babak lagi penentuan akhir juara satu, dua
dan tiga. Bagiku kemenangan dalam lomba cerdas cermat adalah hal yang pasti
buatku. Tak perlu membaca buku lagi, ataupun belajar. Toh, sudah pasti aku yang
menjadi juara satu.
Di taman SD Kartini,
aku menunggu pengumuman. Menjadi wakil seri A sudah cukup membuktikan jika
akulah calon sang juara. Entah siapapun lawanku dari seri B dan C, aku tak
peduli. Hem... enaknya main game!,
pikirku ringan.
“Ella.. kamu kok tidak
belajar?,”, tegur pak Kardi sambil berjalan mendekat.
“Ah, bapak. lagi seru
nih,”, jawabku masih menatap layar hape. “Lagian Ella pasti masuk babak ke tiga
besar, seperti biasa,”, ucapku lagi dengan yakin.
“Ya sudah, bapak
percaya sama kamu,”,lanjut pak Kardi kemudian berlalu meninggalkanku.
Selang beberapa menit
kemudian, kulihat beberapa peserta tampak mengerubuti papan pengumuman. Tak
sedikit kulihat ekspresi wajah mereka yang kecewa. Bahkan, ada yang menangis
sesal. Di tengah-tengah, kulihat seorang perempuan yang tak asing bagiku,
sedang melompat-lompat ceria. Lalu, segera tubuhnya di peluk oleh gurunya,
pikirku dari seragamnya. Perempuan itu? aku mencoba mengingat-ingat sesuatu. Ah,
tidak penting!, kataku melupakannya.
Dari kejauhan pula, pak
Kardi dengan senyumnya menghampiriku kembali. Kumisnya yang rapi seolah-olah
menari-nari di atas bibirnya.
“Selamat la...”, pak
Kardi menyodorkan tangannya.
“Pasti masuk Final
kan?”, ucapku yakin.
Pak Kardi mengangguk
bangga. “Sekarang masuk sana, dua orang siap menjadi lawan kamu,”, lanjut pak
Kardi.
“Oke pak,”, ucapku sambil mengangkat jempol. Lalu, sambil
mengantongi hapeku, aku berlalu menuju ruang kelas. Babak finalpun segera
dimulai.
Aku mulai berjalan,
lalu menghentikan langkah sesaat setelah tiba di bibir pintu kelas. Aku mulai
menatap dua orang yang menjadi lawanku. “Hah..?? perempuan itu!”, seruku dalam
hati. Ya, perempuan pemulung itu ternyata salah satu yang menjadi lawanku.
Bagaimana bisa?, tanyaku lagi tak menyangka.
“Bella yah??”, tanya
salah seorang juri yang melihatku setengah bingung. Lalu menyuruhku untuk
segera bergabung dengan dua lawanku.
Sambil berjalan
menunduk, aku menghampiri mereka mengisi satu kursi yang memang untukku.
“Hai.. namaku Siska,”,
sapa seseorang menyodorkan tangan. Senyumanya yang ringan diberikannya untukku.
“Hai.. aku Rina,”, kata
perempuan berikutnya memperkenalkan diri.
Sambil nyengir kuda, aku
mengangkat kepala, lalu membalas sodoran tangan mereka. Untuk Siska, aku
berharap dia tidak mengenali wajahku yang pernah tidak sengaja melempar botol
dan mengenainya. Huft...
Selamat
kepada anak-anak yang sampai pada babak Final. Ucapan
salah seorang juri menghentikan obrolan kami bertiga.
Waktu terus berjalan,
hingga beberapa pertanyaan tak terasa sudah dilontarkan. Beberapa pencetan
tombolpun, sudah kami lakukan untuk merebut menjawab pertanyaan dari juri. Untuk
hasil sementara, aku dan Siska sejajar mengungguli Rina. Dan menjelang
pertanyaan terakhir dari babak perebutan, juri memberikan soal tentang pengetahuan
alam.
Jenis
nyamuk apakah yang menyebabkan penyakit malaria?
Beberapa detik, tak ada
suara pencetan tombol. Aku melihat wajah Rina kikuk, sama sepertiku yang
benar-benar tidak mengerti sama sekali. Berbeda dengan Siska, matanya terpejam
seperti mengingat sesuatu. Dan.... tettttt!!
bunyi tombol dari bangku Siska mengagetkanku. Aku menggigit jari melihat
bibirnya yang mulai terbuka. Tidak mungkin dia tahu, pikirku.
“Nyamuk Aedes Aegypty!”, jawabnya lantang.
Benar...!
kata salah seorang juri membahana ke seluruh penjuru ruangan.
Aku tidak percaya,
debutku sebagai juara satu dikalahkan oleh Siska. Kemudian dengan sekuat
tenaga, aku berlari, keluar menuju toilet. Aku menangis sesal. “Bagaimana
bisa??”, kataku sambil menatap cermin di sana.
“Karena aku membaca.
Yah, aku tahu hal itu dari koran yang pernah kubaca,”, seseorang tiba-tiba menjawab
ucapanku pada cermin.
Tak lama, di balik
bayangan cermin, tampak bayangan Siska muncul sambil mendekatiku. Pemulung itu!
Benar kata mama, dia pintar. Hanya bermodalkan membaca.
Kemudian aku berbalik
menghadapnya. “Siska.. maafin aku yah,”, ucapku sambil memeluknya.
“Kenapa?? karena botol
yang kamu lempar kemarin?, aku senang kok. Karena botol bekasmu, aku bisa
bersekolah. Yah, satu botol bekas sangat berarti bagiku,”, jawabnya dengan
tenang.
Ternyata dia sudah
mengenali wajahku dengan pasti. Bahkan, dahulu mbok Ijah juga sering bercerita
kepadanya tentangku, terang Siska.
Sejak saat itu, aku
dekat dengan Siska, meski seorang pemulung, tapi dia telah memberiku banyak
hal, bahwa tak selamanya prestasi itu bisa bertahan tanpa kita terus belajar
dan tidak meremehkannya. Dan membaca itu penting, bisa membuka pengetahuan yang
luas. Satu lagi! Siska menyarankanku untuk tidak terhipnotis dengan hape. Bisa-bisa lupa belajar, katanya. Hipnotis?
kalau begitu, selama ini aku tertidur dong? hihihihii... terima kasih Siska..
oleh Tarmudi
Cerpen anak 6
No comments:
Post a Comment