Pukul
06.50. Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Anak-anak bergegas masuk ke kelas
bersiap untuk menyambut kedatangan bu Risma, guru kelas 4. Di deretan bangku
kedua, terlihat seorang anak laki-laki
dengan rambutnya yang berantakan sedang menggerak-gerakkan pulpen dengan
cepatnya. Berbeda jauh dengan Raffi yang rambutnya yang tersisir rapi, raut wajahnya tampak tenang duduk di samping
anak tersebut.
Tettt...tettt..!!!
bel berdering berulang-ulang, mengisyaratkan pelajaran pagi itu sudah siap
untuk dimulai. Sesaat suasana kelas menjadi tenang seketika. Beberapa pasang
mata menyudutkan pandangan pada bibir pintu menanti sosok bu Risma. Masih pada
anak laki-laki yang duduk di samping Raffi, Ia masih saja sibuk menulis
sesuatu, tanpa mengacuhkan bel masuk.
“Selamat pagi anak-anak,”,
sapa seseorang yang muncul dari balik pintu kelas tiba-tiba. Sosok wanita yang
ditunggu-tunggu itu hadir. Wajahnya yang asri melemparkan senyuman ramah.
“Selamat pagi bu guru..”,
balas anak-anak sambil berdiri kompak.
“Don! ada bu Risma!”,
bisik Raffi sambil menendang sepatu Doni pelan. Doni tak perduli, tak menyadari
kedatangan bu Risma dan tetap menyibukkan diri dengan bolpoinnya.
Melihat hanya Doni yang
masih duduk, bu Risma langsung berdiri di depan kelas, “Doni...”, tegur bu
Risma kemudian.
Doni masih acuh. “Don!”,
ucap Raffi lagi sambil menendang sepatu Doni kedua kalinya. Kali ini tendangan
sepatunya benar-benar membuat Doni tersentak hingga menghentikan polesan tinta
diatas bukunya.
“Ada apa sih..??”,kata
Doni segera sambil menatap Raffi sinis.
“Tuh, ada bu Risma.”,
jawab Raffi melempar pandangan ke depan kelas.
Doni lalu mengikuti
arah pandangan Raffi dan ...”Selamat pagi bu!!”, ucapnya lantang sambil
berdiri. Sontak keadaan kelas menjadi ramai, dipenuhi tawa anak-anak akan tingkahnya.
Bu Risma hanya bisa
tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Beberapa saat
kemudian...
“Kumpulkan PR-nya ke
depan!”, pinta bu Risma lantang -tanpa basa-basi-. Sejurus kemudian, seluruh
muridnya bergegas melaksanakan perintahnya itu. Lalu hanya dalam hitungan
detik, tumpukan buku di atas mejanya sudah menggunung.
Seperti biasa, sebelum
bu Risma menilai Pekerjaan Rumah muridnya, ia membaca satu-persatu si pemilik
buku. “Sinta...Rieke...Andy...Fadil...”
Sesaat setelah selesai
membaca, bu Risma menemukan kejanggalan. “Ada dua anak yang belum
mengumpulkan,”, katanya sambil menyebarkan pandangan penuh selidik. Sontak semua muridnya dibuat kaget, lalu mereka berusaha
meyakinkan diri jika mereka sudah mengumpulkan. “Siapa yang belum mengumpulkan
PR?”, tanya bu Risma kemudian. Sebenarnya bu Risma sudah mengetahui dua anak
yang belum mengumpulkan PR, tetapi ia ingin mengetahui kejujuran dan kesadaran
dari dua muridnya tersebut. Hingga setelah beberapa menit menunggu, tak ada
seorangpun yang mengaku. Lalu dilihatnya Raffi yang mencoba mengacungkan
tangannya ragu.
“Ya, Raffi. Ada apa?”,
tanya bu Risma.
“A...anu bu,”, jawab
Raffi tergagap.
Bu Risma menyernyitkan
dahi berpura-pura tak paham. “Anu apa?”
“Anu bu... buku saya
masih dipinjam Doni,”
Sesaat setelah
mendengar namanya disebut, Doni berhenti dari menulisnya dan langsung
mengembalikan buku Raffi yang dipinjamnya. Bu Risma tersenyum bangga mendengar
kejujuran dan keberanian Raffi.
“Doni dan Raffi, ayo,
kumpulkan bukunya,”, perintah bu Risma lagi. Raffi langsung melaksanakan perintah
dari Bu Risma, sedangkan Doni terlihat
enggan melaksanakannya. “Doni..?”,lanjut bu Risma mengingatkan.
“A..anu Bu..”, katanya
setengah ketakutan.
“Selesai maupun tidak
selesai, harus dikumpulkan.”, Potong Bu Risma tak mau tahu. Sepertinya bu Risma
sudah kenal betul kebiasaan buruk Doni. Tidak pernah mengerjakan Pekerjaan
rumah.
Masih di bangku baris
kedua, sambil membawa bukunya, Doni melangkahkan kakinya ragu. Raut wajahnya
tampak memerah menanggung malu. Sedangkan teman-temannya hanya
menggeleng-gelengkan kepala dibuat takjub oleh kebiasaan buruk Doni yang terus
dilakukan berulang-ulang.
“Baiklah, anak-anak. Siapkan
selembar kertas sekarang.”, pinta bu Risma sesaat setelah Doni kembali ke
tempat duduknya.
“Buat apa bu?”, tanya
salah seorang siswa.
Bu Risma hanya melempar
senyum tanpa menjawabnya. “Sudah siap?”, ucapnya lagi.
“Ulangan yah bu?”, tanya
salah seorang lagi.
“Nomor satu...”, lanjut
bu Risma tak menghiraukan. “Tidak boleh mencontek, apalagi ribut, karena ibu
hanya membacakan soalnya sekali saja,”
Sesaat kemudian keadaan
kelas menjadi tenang sampai pada sepuluh soal matematika dibacakan oleh bu Risma.
Dari tempat duduknya, bu Risma mulai memperhatikan gerak-gerik muridnya. Sesekali
didapatinya anak yang tengah menatap langit-langit kelas. Mungkin karena sedang
mengingat rumusnya, pikir bu Risma. Ada pula muridnya yang tengah sibuk
memainkan jemarinya sebagai alat bantu hitung. Sedangkan yang lain terlihat
serius menuliskan jawaban. Dalam pengawasannya yang terakhir, bu Risma
mengarahkan pandangannya pada dua anak yang duduk di bangku deretan nomor dua.
Siapa lagi kalau bukan Doni dan Raffi. Raffi, sahabat dekat Doni itu terlihat
lebih tenang. Sedangkan Doni, wajahnya tampak kebingungan dan gerakan bolpoin
dalam genggaman jarinya terlihat lambat. Bahkan, sesekali matanya melirik tajam
ke arah lembar jawaban Raffi. Selain itu, ketika menyadari aksinya tertangkap
oleh pandangan bu Risma, segera ia berpura-pura kelilipan.
Beberapa menit sudah
terlewatkan. Dalam pengawasannya, bu Risma melihat beberapa muridnya
menghentikan menulis, lalu meregangkan badan sesaat. “Yang sudah selesai, bisa
dikumpulkan.”, kata bu Risma. Tak lama, beberapa muridnya langsung mengikuti instruksinya.
“Bu, soal ulangannya
gampang banget,”, cetus seorang siswi
berponi kemudian.
Sambil melempar senyum
bangga, bu Risma berkomentar, “Kalau gampang, berarti kamu mengerjakan PR.”
Tumpukan kertas di atas
meja bu Risma semakin meninggi. Namun ada beberapa dari anak yang tampak masih sibuk
menghitung dan mengoreksi kembali jawaban mereka, termasuk Doni.
“Raffi..!”, tegur bu
Risma setelah melihat aksi Raffi yang memberikan lembar jawabannya pada Doni. Segera
bu Risma beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menghampiri mereka. Dilihat
oleh bu Risma, jawaban Raffi yang sudah terisi penuh. Berbeda dengan Doni, yang
masih menyisakan tujuh pertanyaan. “Waktunya sudah habis,”, kata bu Risma
sambil melirik jam tangannya. “Kumpulkan segera jawaban kalian lalu istirahat.”,
lanjut bu Risma memerintahkan.
Segera setelahnya,
semua murid bu Risma berbondong-bondong mengumpulkan lembar jawaban, lalu
dengan semangatnya mereka keluar kelas.
Dari ruangan kelas yang
sudah kosong, lagi-lagi bu Risma melihat Raffi yang tengah membacakan
jawabannya pada Doni. “Raffi.. Doni.. kalian tidak mau istirahat?”, tanya bu
Risma pelan. Raffi sudah pasti mengerti maksud bu Risma, hingga ia memaksa Doni
untuk mengumpulkan pekerjaannya. Tak lama, bu Risma menatap dua orang sahabat
sedang berjalan mendekatinya. Dilihatnya raut wajah Doni yang terlihat cemas,
berbeda dengan sahabatnya, Raffi yang terlihat tenang.
“Ini bu...”, ucap
mereka kompak menyodorkan lembar jawaban.
Sambil menerima lembar
jawaban mereka, bu Risma berkata, “Kalian bisa istirahat juga,”
Doni terlihat berat
untuk melangkahkan kakinya. “Bu...”, ucapnya setengah ketakutan.
“Ya..??”, jawab bu
Risma sambil melengos ke arah dua bocah yang masih berdiri di samping mejanya.
“Ada apa?? kalian tidak istirahat?”
Kedua bocah itu, Doni
dan Raffi menggeleng berbarengan.
Lalu sambil menundukkan
kepalanya, Doni berkata, “Bu... maaf. Doni tidak bisa mengerjakan soal dengan
baik. Doni takut nilai ulangannya jelek,”.
“Oh, begitu?,”, jawab
bu Risma ringan. Lalu segera melemparkan pertanyaan ke arah Raffi. “Kalau
kamu?”
Raffi menarik nafas lalu
menghembuskannya pelan. “Raffi juga minta maaf bu. Raffi sudah memberikan
contekan untuk Doni,”, jawabnya terlihat sedikit tegar dari Doni.
“Terus, alasan kamu
apa?”, tanya bu Risma pada Raffi.
“Doni tidak bisa
menjawab soal ulangan yang ibu berikan. Sebagai seorang sahabat, Raffi ingin
membantu Doni, dan....”
“Dan dengan cara
memberikan jawaban kepada Doni?”, potong bu Risma sudah mengerti.
Raffi mengangguk pelan,
sedangkan disampingnya, Doni masih tertunduk malu.
Mendengar pengakuan
mereka, bu Risma lantas tersenyum bangga. Kemudian memandang ke arah Doni. “Buat
Doni, apa sih yang susah?”, tanya bu Risma, lalu melanjutkannya, “soal yang ibu
kasih barusan kan sama persis dengan PR yang ibu kasih kemarin? bedanya hanya di penempatan nomornya.”.
“Doni tahu bu, setelah
melihat teman-teman dengan cepat bisa mengerjakan soal yang ibu kasih. Tapi, Doni
kan tidak mengerjakan PR. Baru sedikit sih, itu saja mencontek punya Raffi..”.
Kali ini bu Risma
terkekeh mendengar alasan Doni. “Buat Doni, kalau kamu mengerjakan PR, ibu
yakin kamu pasti bisa mengerjakan soal yang ibu kasih,” lanjut bu Risma, lalu
beralih menatap Raffi, “Dan buat Raffi, Ibu bangga dengan sikap persahabatanmu.
Tetapi ingat, persahabatan itu lebih bernilai dan bagus jika dalam hal yang
baik. Tetapi kalau dilakukan untuk hal-hal yang buruk, seperti mencuri, mencontek,
bukanlah persahaban yang baik. Dan seharusnya, Raffi belajar berkelompok bersama
Doni untuk bersama-sama mengerjakan PR. Bukan hanya memberikan contekan, Betul?”
Mendengar nasehat bu
Risma, Doni dan Raffi mengangguk pelan.
“Terus bu... hasil
ulangan saya pasti jelek yah?”, tanya Doni ragu.
“Yang tadi bukan
ulangan. Ibu hanya ingin tahu saja, apa kalian benar-benar mengerjakan PR. Seperti
yang ibu bilang, soal tadi untuk latihan. Dan sama persis dengan PR kemarin,”
Mendengar ucapan bu
Risma, Doni mulai tersenyum lega. “Bu.. Doni janji bakalan rajin mengerjakan
PR,” ucapnya tegas. Bu Risma tersenyum dan tersenyum.
oleh Tarmudi
Cerpen pertama untuk anak acara sayembara Puskurbuk 12
No comments:
Post a Comment