“Deriel
Widyatama dapat sembilan puluh,”, seru bu Sinta membacakan hasil ulangan
matematika Deriel.
“Yeess!!. kata salah seorang
murid laki-laki kegirangan.
“Deriel, bu Guru belum
selesai membacakan semua. Jadi, jangan ribut,”, sergah bu Sinta kemudian pada
murid laki-lakinya tersebut. Deriel. Salah satu murid kelas lima yang dikenal pandai
itu bertubuh sedang dan tegap. Tingginya tak jauh berbeda dari teman-temannya. Yang
membedakan hanyalah statusnya sebagai anak seorang polisi. Sedangkan
teman-temannya yang lain hanyalah berorang-tuakan seorang petani. Ayah Deriel
berpindah tugas sejak ia duduk di kelas satu. Deriel dan mama, mau tidak mau
harus hidup bersama papa. Kehidupan di kotanya terdahulu tentu berbeda jauh
dengan tempatnya sekarang. Di sebuah desa terpencil yang asri, sejuk, serta bebas
asap kendaraan dan polusi.
Di desa, jumlah sekolah
tak begitu banyak seperti halnya di kota. Bahkan, semuanya bisa dihitung dengan
hitungan jari. Di dekat rumah baru Deriel, ada sebuah sekolah yang bernama SD Harapan.
Sekolah itu sangatlah sederhana. Fasilitasnya masih seperti jaman dahulu. Tentu
saja sangat berbeda jauh dari sekolah Deriel sebelumnya. Di sekolah sebelumnya,
tentunya sudah memakai papan tulis putih dan spidol. Sedangkan di SD Harapan
ini, batang kapur dan papan hitam masih menjadi alat utama dalam pengajaran. Lantainya
pun, jauh dari kesan mengkilap, karena memang hanya berlapis tanah seadanya. Meskipun
SD Harapan terlihat biasa, tetapi setiap ruangan selalu terlihat bersih dan asri
dengan tanaman berbunga yang tumbuh subur di sekitarnya.
Awalnya Deriel tidak
bersedia bersekolah di SD Harapan ini, karena belum terbiasa dengan keadaan. Tetapi
karena sekolah lain yang keberadaanya jauh, mama Deriel terus berusaha membujuknya.
Dan lambat laun, akhirnya Deriel mengikuti kata mama.
Lima tahun kemudian,
Deriel semakin merasakan kebahagiaan bersekolah di SD Harapan. Selain
sekolahnya yang nyaman, ia juga memiliki teman-teman yang sangat baik.
Kembali ke suasana
kelas, bu Sinta kemudian melanjutkan membacakan hasil ulangan muridnya. Deriel
kembali duduk tenang dan mulai mendengarkan dengan seksama.
“Berikutnya, nilai yang
tertinggi,”, kata bu Sinta melanjutkan.
Apah?,
seru
Deriel dalam hatinya terkejut. Ia tidak menyangka jika ada orang lain yang bisa
mengalahkan nilai ulangan matematikanya. Semua anak terlihat kaku, dan berharap
nama mereka yang akan di sebut bu Sinta. Tak terkecuali bagi Rio, laki-laki
yang duduk di depan Deriel. Sesekali wajahnya menunduk, dengan mulutnya yang
berkomat-kamit membaca doa.
“Yang mendapatkan nilai
seratus adalah.....”, lanjut bu Sinta sambil menyebar pandangan ke penjuru
kelas. “Rio!!!,”, seru bu Sinta kemudian. Santer, semua teman-temannya menyambut
dengan tepukan meriah. Rio lantas tersenyum gembira memperoleh nilai yang dari
dulu sudah diusahakannya.
“Hai, selamat nih,”,
ucap Deriel menepuk punggung Rio. “Akhirnya ada yang mengalahkan nilai
matematikaku juga ,”, lanjut Deriel terkekeh.
Seraya merespon jabatan
Deriel, Rio berkata, “Tapi kesepakatan buat menggendong sang pemenang tidak
lupa kan??”
Deriel mengangkat
jempolnya, lalu dihadapkannya di depan Rio. “oke bos..”, balas Deriel disusul dengan tertawa renyah bersama.
Rio adalah salah satu sahabat
dekat Deriel. Ia penduduk asli desa. Awal pertemanan adalah ketika pertama kali
Deriel menjadi bagian di SD Harapan. Anak-anak menjauhi Deriel, hanya karena mereka
takut berteman dengan anak polisi. Tetapi, dengan penuh keberanian dan percaya
diri, Rio mendekati Deriel. Dari sana, akhirnya Rio menjadi teman pertama
Deriel di sekolah. Lambat laun kemudian, teman-teman yang lainpun mulai segan
berkenalan dengan Deriel. Selain itu, berdasarkan keterangan bu Siska, Rio
mulai tahu jika Deriel adalah murid terpandai di kelasnya. Kesederhanaannya
membuat Deriel semakin nyaman berteman dengan Rio. Rio juga merasakan hal yang
sama. Dan ternyata, Deriel, anak yang selama ini ditakuti oleh teman-teman Rio,
memiliki hati yang baik dan suka bergaul.
Pertemanan antara Rio
dan Deriel bukanlah pertemanan yang dibilang biasa. Tetapi sebuah pertemanan
yang selalu menjadi perhatian siswa lain di sekolah karena kepandaian mereka
berdua. Tak hayal, terdengar kabar jika mereka selalu bersaing untuk
mendapatkan nilai yang terbaik di kelasnya. Tetapi, siapapun yang menjadi
pemenang, keduanya saling menghargai dan memberikan dukungan. Bahkan, mereka
mengadakan kesepakatan bahwa siapa yang mendapatkan nilai ulangan lebih rendah,
akan mendapatkan hukuman yaitu menggendong pemenangnya, yaitu yang memperoleh
nilai lebih tinggi. Persaingan antara Rio dan Deriel pun mendapatkan acungan
jempol dari para guru. Dan ternyata mereka berdua juga bersepakat untuk tidak
duduk dalam satu bangku, karena bagaimanapun juga, mereka harus membagikan ilmu
pada teman-teman yang lainnya.
*********
“Siap..?
Jalan!!”, perintah Rio. Dengan penuh semangat dan tertawa kecil, Deriel
menopang tubuh Rio di atas punggungnya lalu berjalan mengitari ruang kelas. Sedangkan
Rio yang asik bertenggreng bergaya ala koboi menikmati posisinya sebagai juara.
Sebelumnya, Rio-lah yang selalu menggendong Deriel, karena pada saat itu, nilai
matematika tertinggi masih dipegang oleh Deriel. Tetapi dengan berjuang keras,
akhirnya Rio bisa mengalahkannya.
“Kali ini aku kalah,
tapi besok pasti menang!”, ucap Deriel optimis dengan nafasnya tesengkal-sengkal
setelah selesai menahan berat badan Rio.
Sebagai tanda terima
kasih, Rio memijit punggung Deriel pelan. “Aku tunggu di ulangan IPA besok,”,
tantangnya pada Deriel.
Sambil menyeka
keringatnya, Deriel berkata pesimis,”Wah, kalau IPA sih aku belum tentu menang.
Kamu kan tahu sendiri, kalau aku tidak suka IPA. Lagian kamu selalu dapat yang
tertinggi,”
Rio menghentikan
pijitannya, lalu duduk di samping Deriel. “Nanti aku bantu,”, ujarnya.
Deriel terperangah
setengah kaget. “Apa?? maksudnya? kasih contekan?!”
Rio terkekeh mendengar
ucapan sahabatnya,”Huss... bukan begitu maksudnya,”, terang Rio. “Nanti kita
bisa belajar bareng,”
“Oo....begitu..”, kata Deriel
sambil manggut-manggut tertawa.
“Tapi ada syaratnya..,”,potong
Rio.
Deriel menyernyitkan
dahi terkejut. “Apa?! masak pakai syarat segala?”
“Ya! syaratnya, kamu
harus suka sama pelajaran IPA. Karena,
jika kamu membenci IPA, maka kamu akan tetap susah untuk menguasainya,”
Deriel mengangguk
mengerti. “Ah, begitu saja?”, katanya ringan. “Gampang..!!”.
*********
Hamparan
langit luas terlihat berwarna kemerahan. Di ufuk barat, semburat mentarinya
mulai terbenam secara perlahan-lahan. Bayangan pepohonan, dan beberapa rumah
terlihat memanjang di atas permukaan tanah dan tampak mulai memudar. Di dalam
sebuah bayangan gubug, terlihat pula dua bayangan yang bergerak-gerak.
“Sekarang kamu paham
bukan?”, kata Rio sambil menghentikan polesan pulpennya di atas bukunya.
Sambil menatap tajam ke
arah coretan yang di buat Rio, Deriel mengangguk paham. Pertanyaannya yang
bertubi-tubi mengenai IPA telah terjawabkan oleh Rio. “Kamu ternyata pintar
juga yah,”, pujinya sambil terkekeh.
“Pintar karena
rajin......”, balas Rio tak melanjutkan.
“Belajar!!”, kata Deriel
meneruskan ucapan Rio dengan lantang. Pelajaran IPA yang membebani pikirannya
terasa menghilang. Hal itu terlihat dari tertawanya yang sangat lepas.
“Riel, aku pulang dulu
yah?”, kata Rio menghentikan Deriel yang masih tertawa. “ Sebentar lagi ayahku
pulang, aku harus membantu Ibu menyiapkan makanan untuknya,”
“Oke, salam buat bapa dan Ibumu yah,”, balas Rio kemudian.
Lalu dengan sigap, Rio meraih
sepedanya, kemudian sambil berlalu meninggalkan Deriel, ia melambaikan
tangannya, lalu berkata, “Besok kutunggu! aku pastikan kamu yang akan
menggendongku lagi,”
“Lihat saja besok,
kawan!,”, balas Dariel dengan teriakan. “Terima kasih..!!”, lanjutnya yang tak
yakin ucapannya sampai ke telinga Rio dan hanya berbalas lambaian.
Sesaat setelah Rio
menghilang dari pandangannya, Deriel segera mengemasi bukunya. Lalu dengan segera
ia sepeda merahnya. Dengan penuh semangat, ia berlalu meninggalkan gubug yang
hanya beratap daun alang-alang kering . Gubug yang terletak di belakang sekolah
itu sengaja mereka jadikan tempat belajar bersama, karena selain dekat dengan
rumah mereka, area di sekitarnya juga sangat indah, dengan tanaman padi yang
luas, juga beberapa tanaman lain yang tampak subur.
*********
Meskipun
siang sudah menyapa, tetapi udara di sekitar SD Harapan masih terasa sejuk.
Beberapa siswa tampak riang bermain kejar-kejaran di taman. Ada juga yang sibuk
bercengkrama sambil menyusupkan makanan ke dalam mulut mereka. Tepat di pintu
masuk perpustakaan, tampak beberapa siswa berlalu-lalang keluar masuk. Hal
seperti ini hampir menjadi keseharian
siswa SD Harapan ketika beristirahat pada pukul sembilan. Sepertinya mereka
benar-benar mempergunakan waktu istirahat sekedar untuk menghibur diri setelah
lelah menerima pelajaran pagi tadi. Tetapi, lain hal dengan dua sahabat karib,
antara Deriel dan Rio yang masih tampak serius berbincang-bincang di sudut
ruangan perpustakaan. Tak lupa, dengan sebuah buku yang terbuka lebar di
hadapan mereka, yang sudah siap mereka lahap.
“Riel, ulangan IPA tadi
oke kan?”, bisik Rio pelan, mengingat
mereka sedang di dalam ruang perpustakaan.
Deriel menoleh ke arah
Rio, lalu menjawab,”Terima kasih..”
Rio menyernyitkan
dahinya tak paham dengan jawaban Deriel, “Maksudnya??”
“Yap! sepertinya berkat belajar sama kamu kemarin, ulangan IPA pagi
tadi lancar,”
“Wah, bagus kalau
begitu,”
“Berarti kamu harus siap-siap
menggendongku dong,”, lanjut Deriel sambil nyengir kuda.
Rio membalas sengit
ucapan temannya, “Eittss... kayaknya terbalik deh,”
Perbincangan mereka
diakhiri dengan deringan bel masuk. Keduanya benar-benar yakin akan hasil
ulangan mereka. Sudah pasti, siapa yang kalah dalam persaingan itu harus
mendapatkan hukuman gendong.
Di ruang kelas,
ternyata bu Sinta sudah terduduk manis. Bolpoinnya tampak menari-nari di atas
tumpukan lembaran kertas. Wajah ramahnya tampak serius memantengi tiap
lembarannya. Selang tak lama kemudian, senyumnya menghampiri tiap muridnya yang
berdatangan. Beberapa anak berusaha membalas senyum bu Sinta berat. Mungkin
karena mereka cemas memikirkan hasil ulangan IPA pagi tadi –sebelum istirahat-.
Setelah bangku kelas
terlihat penuh, bu Sinta kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di
depan kelas. “Baiklah, langsung saja, bu Guru akan membagikan hasil ulangan,”, katanya
mengumumkan.
Ucapan bu Sinta tidak
mendapatkan respon apapun. Beberapa muridnya tampak sibuk menggigit kuku cemas,
sebagiannya lagi tampak berdoa mengharapkan kebaikan nilai, dan selebihnya
terlihat berantusias mengetahui nilai yang akan dibagikan bu Sinta, termasuk
Rio dan Deriel.
Setelah beberapa kali
pembagian, berikutnya yang tersisa hanyalah nilai Rio dan Deriel.
“Deriel...”, panggil bu
Sinta sambil melempar senyum. Segera Deriel memenuhi panggilan bu Sinta, lalu
dilihatnya lembaran kertas ulangan yang sudah berukirkan angka delapan puluh
dengan tinta merah. “Selamat yah,” , lanjut bu Sinta kemudian. Deriel tersenyum
berat. Sepertinya ia tidak merasa puas dengan hasil yang di dapatnya. Wajar
saja, karena dia benar-benar lemah dalam pelajaran IPA, pikirnya pesimis.
Di depan kelas,
selembar kertas tampak masih digenggam oleh bu Sinta. Senyumnya melebar ketika
ia menatapnya. “Rio...”, lanjutnya memanggil Rio. Tanpa berpikir panjang, Rio
segera menghampiri bu Sinta. “Selamat.. kamu dapat nilai sempurna,”, ucap bu Sinta
Kemudian setelah melihat hasil ulangannya, Rio melompat-lompat kegirangan.
Wajah cemasnya benar-benar menghilang.
“Dapat nilai berapa?”, tanya
Rio pada Deriel kemudian.
Tanpa menjawab, Deriel
langsung menyodorkan hasil ulangannya pada Rio. Melihat wajah murung sahabatnya,
rasanya Rio enggan untuk membahas hukuman gendong pada Deriel. Lalu, Rio hanya menyelusuri
hasil ulangan Deriel. Disana, ia mendapati sesuatu yang ganjal. Tak lama, Rio kemudian
mendekati bu Sinta sambil membawa hasil ulangan Deriel. Di sana diketemukan,
bahwa jawaban yang seharusnya benar, belum terhitung oleh bu Sinta. Tapi
akhirnya semua itu sudah dibenarkan kembali oleh bu Sinta, tentunya karena
ketelitian Rio.
“Riel... nih,”, ucap
Rio sambil menghampiri Deriel. Lalu dikembalikannya hasil ulangan sahabatnya.
Sesaat setelah melihat
nilai ulangannya kembali...“Horeee!!!” seru Deriel melompat-lompat kegirangan.
Nilainya menjadi seratus, sama seperti nilai yang didapatkan Rio.
Dengan nilai mereka yang
sama, seharusnya hukuman gendong tidak diberlakukan. Tetapi dengan bersemangat,
mereka justru saling menggendong bergiliran sambil tertawa renyah. Huh, ada-ada
saja mereka ini....
oleh Tarmudi
Cerpen anak 4
No comments:
Post a Comment