“Tino.. bangun, sudah
siang,”, seru mama membangunkanku. Aku tak mau bangkit dari tempat tidurku.
Hari itu adalah tanggal 17 Agustus. Tepat di hari Kemerdekaan negara kita tercinta,
Republik Indonesia. Mungkin semua orang merayakannya dengan suka cita. Tetapi
berbeda denganku yang harus berdiri di atas panggung di depan puluhan pasang
mata teman-teman. Ya, Pak Joni, wali kelas lima menunjukku untuk menjadi
peserta lomba Soekarno Kecil. Entah apa yang ada di pikiran pak Joni yang
memilih anak yang dikenal pendiam dan pemalu ini. Bahkan di kelas, aku selalu
dipanggil ‘si bisu’. Aku malu, aku takut mereka mentertawakanku di atas
panggung nanti. Aku juga takut mengecewakan pak Joni dan tentunya, nama sekolah
bakal menjadi taruhannya. “Pak, saya tidak mau.. tidak bisa,”, begitulah
alasanku untuk menolak. Tetapi pak Joni selalu memaksaku dan meyakinkanku bahwa
aku pasti bisa. Akhirnya, dengan terpaksa aku mengikuti kemauan pak Joni. L
“Mah.. hari ini Tino
tidak enak badan,”, ucapku sambil menarik selimut menutupi wajahku. Mungkin
dengan begitu, aku bisa terbebas dari bayang-bayang teman-teman yang
menertawakanku.
“Tino, Pak Joni tadi
menelpon. Katanya, kamu sudah siap belum?”, kata mama membuka selimutku pelan.
Aku merapatkan selimut
lagi. “Bilang saja, Tino lagi tidak enak badan mah...”. Sepertinya mama
mendengarkan omonganku. Kurasakan dia berlalu dari kamarku. Untuk mengikuti
lomba Soekarno kecil bukanlah hal yang mudah untukku. Siapa sih yang tidak
kenal dengan bapak presiden yang pertama itu? Tentu saja bukan seperti aku yang
pendiam dan penakut. Dan sudah pasti bukannya terkesima mendengar naskah
proklamasi yang aku bacakan, malahan mentertawakanku. Aku benar-benar takut!
“Tino.. Pak Joni
sebentar lagi ke sini,”, kata mama lagi yang sudah memasuki kamarku lagi.
Terkejut, segera aku
bangkit dari tidurku. “Apaaaa..?!”, kataku setengah panik. Pak Joni bakalan
tahu kalau aku hanya pura-pura sakit. Dan pasti akan kecewa denganku, pikirku
saat itu.
“Loh, memangnya
kenapa?”, kata mama menyernyitkan dahi. “Pak Joni cuma ingin menjengukmu,”
“Mama, tolong bilang
sama pak Joni, tidak usah ke sini. Tino bakalan berangkat,”, balasku sambil
berlari menuju kamar mandi. Dengan wajah setengah bingung, mama mendengarkan
ucapanku.
Beberapa menit berlalu,
kulewati waktu untuk mandi sampai memakai seragam merah putihku. Di atas kasur,
aku terduduk dengan perasaan yang benar-benar bingung dan cemas. Kenapa semua
ini terjadi padaku? Kalau aku mundur dari Lomba Soekarno Kecil, sudah pasti aku
tidak akan ditertawakan di atas panggung nanti. Tetapi pak Joni bakalan kecewa
dan tentunya nama sekolahku menjadi taruhannya, pikirku lagi.
“Kamu ini kenapa?”,
ucap mama yang ternyata sudah kembali lagi. “Kamu pura-pura sakit ya?”, tanya
mama mulai mendekat.
Aku mengangguk pelan.
“Kenapa?”, tanya mama
penasaran.
“Tino takut mah...”
“Takut kenapa? Ikut
Lomba Soekarno kecil?”, ucap mama lagi.
“Kok mama tahu??”,
tanyaku heran.
Mama melempar pandangan
tepat di bawah sebuah cermin. Astaga! ternyata aku lupa merapikannya. Naskah
teks proklamasi itu ternyata masih di sana. Ya, semalam aku berlatih membacakan
teks proklamasi itu di depan cermin, itu saran dari pak Joni agar aku bisa
tampil percaya diri. Tetapi, apa yang dikatakan pak Joni sepertinya sangat
tidak berarti. Bahkan, perasaan takut masih saja menggelayuti pikiranku.
“Kamu belum hafal teks
proklamasinya?”, tanya mama sambil mengelus rambutku pelan.
Aku menggeleng.
“Terus??”
“Takut ditertawakan
teman-teman,”, balasku sambil menunduk.
“Loh, kenapa? seperti
waktu kelas satu dulu?”
Aku mengangguk kembali.
Ternyata mama masih ingat kejadian burukku di kelas satu. Teman-teman mentertawakanku
saat aku bernyanyi di depan kelas. Sejak saat itu, aku benar-benar kehilangan
percaya diri. Sejak saat itu pula, aku menjadi takut untuk berbicara, dan lebih
memilih diam. Itu sebabnya teman-teman kemudian memanggilku ‘si bisu’.
“Tino, itu kan waktu
kelas satu? sekarang kamu sudah kelas lima. Kamu harus berani dan percaya diri.
Kamu juga harus membuktikan kalau kamu bisa...”, tegas mama mendukungku. “Kamu
tahu bapak Soekarno bukan?”, lanjut mama.
Aku menarik nafas
panjang dan mendengarkan ucapan mama yang membuatku mulai menemukan keberanian.
“Bapak Soekarno? Beliau bapak presiden yang tangguh, cerdas, tegas, dan berani
dalam membela tanah air,”, jawabku sambil sesekali menatap mama.
“Nah, itu benar. Kalau Tino
jadi bapak Soekarno, tidak mungkin kan membaca teks kemerdekaan Indonesia dengan gugup dan ketakutan?”
Aku mengangguk setuju
dengan ucapan mama.
“Kalau kamu berani,
pasti teman-temanmu tidak lagi memanggilmu dengan sebutan ‘si bisu’, iya
tidak?”, kata mama terkekeh kecil sambil memencet hidungku lalu menggoyangnya
pelan.
“Hah?! dari mana mama
tau kalau aku itu...”, tanyaku tak melanjutkan. Heran sekali, pikirku. Setahuku,
tidak ada yang tahu kalau aku dipanggil ‘si bisu’, kecuali teman-teman sekelas.
Aku benar-benar malu kalau mama mengetahui hal ini.
“Mama tahu dari pak
Joni. Itu alasan kenapa beliau memilih kamu, katanya, kamu sebenarnya anak yang
pemberani,”, timpal mama lagi meyakinkanku.
Entah apa yang harus
aku lakukan. Perasaan malu pada mama tentangku yang di panggil ‘si bisu’ ,
ditambah perasaan senang dan semangat bercampur menjadi satu. Aku hanya bisa
memeluk erat mama. “Terima kasih mah...”
*********
Di
atas panggung yang berhiaskan bendera merah putih, sudah melewatkan puluhan
peserta Lomba Soekarno kecil dari perwakilan berbagai sekolah. Beberapa
diantara mereka terlihat percaya diri membacakan teks proklamasi dengan gaya seperti
Bapak Soekarno, meskipun sesekali mereka lupa dengan isi teksnya. Tetapi,
penampilan mereka dengan penutup kepala, kemeja dan sepatu sepertinya
menghipnotis penonton. Alhasil, penampilan mereka selalu diakhiri dengan tepuk
tangan.
Di kursi peserta yang
berderet, hanya tersisa tiga orang, termasuk aku. Menjadi peserta penutup adalah
hal yang paling menegangkan. Semua perhatian akan benar-benar tertuju padaku.
Sesaat pikiranku tentang ‘si bisu’ muncul tiba-tiba. Tetapi dengan penuh
keyakinan, aku menutup mata dan mengingat kata mama. Aku adalah seorang
Soekarno kecil. Aku harus benar-benar menjadi sosok seperti beliau. Tegas,
berani dan semangat!.
“Peserta yang terakhir,
dari SD tunas Bangsa. Kita sambut Tino...!!”, suara menggelegar memenuhi ruangan.
Tubuhku mendadak lemas. Keringat dingin mengucur deras di keningku. Aku masih
terduduk tak mau bangkit dari tempatku.
“Tino..??”, suara dari sound sistem memanggilku kembali,
Entah kenapa nyaliku
mendadak menciut. Kakiku tak bisa digerakkan. Dalam setengah kecemasan,
tiba-tiba seseorang menepuk punggungku. “Tino... pak Joni percaya, pasti kamu bisa!
kamulah Soekarno kecil itu!”, timpal pak Joni meyakinkanku. Aku mulai menarik
nafas panjang, lalu bangkit dan berjalan mendekati panggung. Sesaat ketika
beberapa tangga panggung kutapaki, suara ruangan tiba-tiba menggelegar. Antara
tawa dan tepukan tangan bercampur. Terkadang suasa sumbang memanggilku ‘si
bisu’ mendarat di telingaku, tapi terlanjur aku melangkahkan kaki, tak bisa
lari.
Duk..duk..duk..
aku
mengetuk mikrofon yang sudah di depan bibirku. Entah kenapa, suara itu sepertinya
membungkam suara yang lain. Yah, suasana ruangan menjadi sunyi seketika. Tak
bisa dipercaya, sekarang aku benar-benar sedang berdiri di depan puluhan pasang
mata. Di deretan depan kursi penonton, terlihat bapak dan ibu guru dari lain
sekolah yang tengah menatapku tajam. Di deretan belakang, sudah pasti anak-anak
berpakaian merah putih dengan mata terbelalak terlihat siap memasang telinga
untuk suaraku. Lalu tepat pada deretan SD Tunas bangsa, beberapa dari mereka
tengah menggigit jari dan mengaitkan telapak tangan. Wajah mereka terlihat
mencemaskanku. Di samping mereka, kulihat sosok pak Joni yang tersenyum
menatapku sambil mengacungkan jempolnya untukku. Penjelajahan mata kuhentikan,
kemudian kualihkan pada teks proklamasi di hadapanku. Meskipun sudah hafal,
tetapi aku harus benar-benar berpenampilan seperti bapak Soekarno. Tegas,
lantang dan penuh semangat. Aku menarik nafas panjang, lalu menutup mata dan
berdoa. Di sana, kuingat pesan mama dan pak Joni. Aku bukanlah ‘si bisu’,
tetapi akulah Soekarno kecil. Aku pasti bisa!!
|
PROKLAMASI
Kami
bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan indonesia.
Hal-hal
yang mengenai pemindahan kekoesaan d.l.l,
diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnja,
Djakarta,
17 boelan 8 tahoen ‘45
atas
nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
Tino.....!!!!!!
teriakan membahana memenuhi telingaku sesaat setelah aku selesai membacakannya.
Tepukan meriah merayap di telingaku. Aku tak percaya bisa melakukannya. Dan hingga sampai pada turun
dari panggung, aku disambut oleh pak Joni. “Hebat!”, katanya sambil mengangkat
jempol. Aku tak peduli akan hasilnya nanti, yang terpenting adalah aku bisa
membuktikan kalau aku bisa, dan sudah berusaha melakukan yang terbaik.
Selang setelah
penghentian beberapa menit waktu untuk penjurian, saat-saat yang
ditunggu-tunggu tiba. Apalagi kalau bukan pengumuman pemenang perlombaan.
“Berdasarkan keputusan
dewan juri, maka dengan ini bisa ditentukan sebagai juara Lomba Soekarno
kecil,”, kata pembawa acara di atas panggung.
“Juara tiga di raih
oleh Sandi Maulana dari SD Mulawarman. Juara kedua di raih oleh Dika Irawan
dari SD semesta,”, lanjutnya disusul dengan tepukan meriah. “Dan Juara pertama
diraih oleh....”, ucapnya lagi sengaja menunda. Sesaat Tepukan itu semakin
mengecil. Tino...!! Budi..!! Delon..!!
teriakan penonton menyusul kemudian menebak-nebak sang juara Soekarno kecil.
Bagiku, keberanianku adalah segala-galanya. Entah siapa yang menjadi
pemenangnya, pikirku puas.
|
Tino
si Bisu Soekarno Kecil
oleh Tarmudi
Cerita Pendek Anak 5
No comments:
Post a Comment