NavBar

Monday, December 26, 2011

KAMBING BETINA part 1


Semburat sinar keorange-orangean terlempar di pelataran sebuah rumah di tepi jalan Ardhan. 24. Nomor rumah itu tampak mengkilap memantulkan kembali sinar ke segala arah. Termasuk gerobak hijau -bertuliskan “BUBUR AYAM KHAS SEMARANG” bervisi maknyussss- yang tengah melintas.
Tingg ... ting.... tingg.... suara yang begitu akrab di telinga Susi. Gadis itu segera berlarian -dari rumah bernomor 24- menyambut kedatangan pak Tato, penjual bubur ayam kesukaannya.
“pak, biasa yah, gak pake sambel,”, ucapnya setelah menghampiri pak Tato
inggih mbak,” (iya mbak) jawab pak Tato sambil membuka pancinya yang menyembulkan kepulan asap panas.
Susi duduk di sebuah kursi yang melintang. Sarung kesukaanya dijempit oleh pahanya. “pak, kemarin emang tindak pundi  (pergi kemana)toh?” , tanya Susi cemberut. “kemarin susi tungguin pak Tato tau,”
Pak Tato terkekeh lalu berkata, “kemarin itu kan hari minggu?  Pak Tato libur mbak,”. Ia menyodorkan mangkok berisi bubur ayam bertabur kerupuk udang di atasnya. “mbak ini. awas panas,”,ucapnya lagi mengingatkan.
Dengan sigap Susi meraihnya. “oh, kalau hari minggu libur yah? Justru rame loh pak. Lumayan kan buat tambah-tambah juga,”
wonten (ada)urusan mbak,”, ucap pak Tato lagi
Susi yang sedang menyantap berhenti seketika. Dalam kemulan mulutnya dia berkata lagi,” urusan napa (apa)pak? Golek (cari)istri lagi toh?,”
Pak Tato terkekeh lagi.“ah, mbak ini bisa-bisa saja. Kalau bapak jadi pejabat boleh lah,”, ujarnya masih tertawa. “anak-anak Cuma pengen liburan saja kok,”
Susi tersedak seketika mendengar curhatan galau pak Tato. Nafasnya seperti diujung tanduk. Sorot matanya memerah dan berkaca-kaca.  “bapak ini, ada-ada saja,”, ucapnya sambil mengelus-elus dada. Pak Tato sesaat terdiam sambil menyodorkan segelas air putih. Hampir saja dia membunuh pelanggannya, pikirnya. Tanpa satu kata, di tepi jalan itu Susi melanjutkan  melahap semangkuk bubur ayam di genggamannya. Sesekali dia memuji bubur ayam laki-laki separuh baya itu, seorang perantauan dari daerah Semarang. Lama, mereka semakin akrab ngobrol ngalor-ngidul. Dengan logat yang masih mengental,  laki-laki yang baru merantau 5 tahun di Jakarta itu bertanya tentang keadaan seputar Semarang. Dan dengan wajah semangat pula Susi menjawab semuanya dengan logat yang sama –Semarangan-.
Kini, tinggal sesuap lagi susi benar-benar menelan habis makanan favoritnya itu. Waktu seakan-akan melambat, menarik-ulur sesendok bubur yang hampir masuk ke dalam mulutnya. Sepertinya susi ingin menikmati lebih dahsyat lagi detik-detik terakhir itu. Tapi tiba-tiba...
hueeekkkzzzzz!!!!!!  Buliran-buliran kecil beraroma kental menyeruak -menusuk hidung- mucrat di depan matanya. Kental dan berair. Dari buliran itu dilihatnya sebiji kacang tanah yang masih utuh. Segera susi menanggalkan menyantap bubur yang tinggal sesendok itu. Ia lempar mangkoknya di atas rerumputan, lalu mendesis jijik dan mengumpat seorang gadis yang dia anggap menjadi biang keroknya.
“aduh, mbak.. kalau mau buang sampah jangan sembarangan dong,”, umpatnya kesal.
Sambil menungging memegang perut, gadis itu berkata, “maaf mbak, saya tidak sengaja,”. Logat jawanya begitu kental di telinga Susi, oleh karnanya, dia tersenyum.
“mbak, dari jawa yah?”
Gadis itu mengangguk. “maaf mbak, saya gak terbiasa naik angkot, jadi mabok deh,”, ujarnya kemudian.
Susi tersenyum lagi. Dia merasakan kedekatan dengan orang yang sama –sama-sama jawa-. “mboten nopo-nopo, ( tidak apa-apa)


Siapakah gadis yang sempat membuat Susi kesal itu? Logatnya sama-sama jawa, darianakah dia? Terus apa dia begitu penting buat keidupan Susi selanjutnya?
Monggo...... tetep di TKP


No comments: