NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Jangan Remehkan Pemulung"

Perkenalkan namaku Bella. Mama, papa termasuk teman-teman sekolahku biasa memanggilku Ella. Kenapa? itu karena sewaktu masih kecil, saat aku memperkenalkan diri, belum bisa mengucapkan huruf B secara jelas. Jadi cuma Ella deh, hihihi... Oh iya, aku bersekolah di SD Nuansa. Sekolah yang sangat bersih dan indah. Menurut orang-orang sih, sekolahku adalah sekolah favorit dan sekolah paling bagus. Banyak teman-temanku yang orang tuanya sebagai pejabat loh.... seperti papa. Pekerjaan papa sebagai pejabat tentu memudahkanku untuk membeli apapun. Bahkan akhir-akhir ini aku minta dibelikan Hape terbaru. Meski mama terkadang melarangku sih, bilangnya begini, “Ella, kamu kan masih SD. Kok pegang Hape segala?,”.
Aku menjawab dengan santai saja. Teman-teman Ella juga pada pegang hape mah,.
“Tapi nanti kamu jadi malas belajar,”, kata mama lagi.
“Tidak mah..”, aku menggeleng-geleng.
“Benar..?”, mama memastikan.
Yap! akhirnya mama lunak juga. Kamu tahu tidak? dari kelas satu sampai kelas lima aku selalu mendapatkan peringkat satu loh, mungkin mama takut akan nilaiku bakalan merosot. Tapi itu tidak mungkin, kalau aku rajin belajar dan membaca pasti pintar!
*******
Seminggu setelah mempunyai hape, rasanya sangat membahagiakan. Selain bisa telpon-telponan sama teman-teman, juga bisa sms-an. Entah tanpa disadari, aku mulai malas belajar ataupun sekedar membaca buku.
Sewaktu sedang asik bermain game di hape, tiba-tiba mama masuk ke kamarku.
“Ella, kamu kok main hape terus?”, tegur mama padaku.
Sambil gerakan tangan masih asik mengutak-atik di atas layar, aku berkata, “Lagi seru nih mah,”
“Ada pak Kardi datang...”, lanjut mama yang berhasil mengalihkan perhatianku.
Sejurus kemudian aku menghentikan permainanku. Lalu segera melongok dari lubang pintu kamarku yang kebetulan tepat menghadap ruang tamu. Benar kata mama! pak Kardi? tumben sekali datang, pikirku. Pak Kardi adalah wali kelasku. Rumahnya memang tak jauh dari rumahku. Bahkan, setiap pulang pergi ke sekolah, beliau selalu melintas di depan rumahku, tak pernah mampir.
“Ad..ada apa ya pak?”, ucapku terengah-engah setelah berlarian.
Pak Kardi tersenyum. Ternyata beliau menunjukku untuk menjadi perwakilan kelas dalam lomba cerdas cermat antar sekolah. Wah, asiknya! tentunya aku senang sekali. Aku pasti juara lagi!, kataku dalam hati yakin.
**********
Satu hari lagi tiba waktunya. Perlombaan yang kutunggu-tunggu. Aku yakin bakal mendapatkan juara pertama seperti kelas empat dulu. Yah, aku adalah langganan juara pertama. Bahkan, semua teman-teman dan guru-guru mengenalku dengan baik.
“Ella, besok perlombaannya kan?”, tanya mama sambil memegang setir mobilnya.
Aku mantuk-mantuk. Seperti biasa, tanganku masih sibuk di atas layar hape.
“Ella, dari kemarin mama belum pernah lihat kamu belajar, malah sibuk terus dengan hapemu, ”, timpal mama.
“Tenang saja mah, Ella masih ingat pelajarannya kok,”
Kudengar mama mengendus menarik nafas dalam. Mama hanya terdiam dan sepertinya pasrah sekaligus percaya akan perkataanku.
Beberapa menit kemudian, aku menghentikan permainan sesaat. “Mah.. kacanya dibuka dong,”, pintaku kemudian.
Segera mama memencet tombol di depannya, dan secara otomatis kaca mobil di dekat tempatku duduk terbuka. Tanpa berpikir lagi, aku merogoh tas dan mengambil botol mineral bekas yang aku beli di sekolah tadi pagi. Dari atas mobil yang masih laju, kulempar botol itu keluar tepat saat aku melihat tempat sampah. Yap! ternyata lemparanku meleset dan... terdengar seseorang merintih kesakitan.
Tanpa minta ke mama untuk menghentikan mobil, aku berteriak ke luar. “Maaf yah..”.
“Maaf...sama siapa?”, ucap mama dengan mata masih menatap lurus ke arah jalanan.
“A.. anu mah, Ella minta maaf sama mama..”, jawabku berpura-pura.
“Loh, tumben kamu...”, balas mama tak percaya. “Eh, Ella lihat perempuan yang tadi tidak?”, tanya mama membuka pembicaraan baru.
“Yang mana? memangnya ada orang lain di mobil ini selain Ella dan mama?”
“Bukan itu maksud mama. Kamu tahu perempuan yang di samping tempat sampah itu? yang barusan kita lewati..”
Deg! jantungku terasa terhenti. Perempuan itu, Apa mungkin maksud mama perempuan yang terkena lemparan botolku itu?  mungkin juga... mama tahu kejadian itu? gawat! , pikirku  menerka-terka saat itu. “Em.. emang ke.. kenapa dengan perempuan itu mah?”, tanyaku setengah ketakutan.
“Kamu kenal perempuan itu tidak?”
Aku mengangkat bahu, sedikit lega sih, ternyata pertanyaan mama tidak menjurus ke pelemparan botolku. Hihihi..
Sejurus kemudian, mama mulai memperlambat laju mobilnya. Seperti biasa, mobil yang kami tumpangi memasuki gerbang pedesaan. Bukan jalan utama sih, tetapi jalan pintas ini bisa mempersingkat waktu mama buat mempersiapkan makan malam, kata mama. Sesekali mama melempar pandangan ke arah rumah yang berjejer rapi. Meski berdinding anyaman bambu, tetapi pelataran rumah mereka sangat bersih. Pelataran rumah mereka yang kebanyakan bersusunkan kardus dan botol bekas.
Mama memulai membuka mulutnya kembali. “Di sanalah perempuan itu tinggal,”
“Kok mama tahu?”, tanyaku heran.
“Kata mbok Ijah. Masih ingatkan?”
 “Mbok Ijah yang merawat Ella dulu?”, ucapku mencoba mengingatnya kembali. Mbok Ijah sudah dua tahun lalu meninggal karena terserang penyakit jantung. Saat itu, aku menangis dan mama tidak mengijinkanku ikut mengantarkan Mbok Ijah ke peristirahatannya yang terakhir, karena takut akan kondisiku, kata mama saat itu.
“Dulu, Mbok Ijah sempat bercerita, kalau perempuan itu adalah tetangganya. Perempuan itu baik, suka membantu orang tuanya dan dikenal pintar, katanya. Mama percaya sama mbok Ijah, karena mama sering melihat perempuan itu sedang membaca koran bekas, dan buku-buku yang ia temukan di tong sampah. Dan Kata mbok Ijah juga, perempuan itu namanya Santi,”
Mendengar cerita mama, hati saya menjadi panas. Mana mungkin ada yang lebih pintar dariku? apa lagi perempuan yang bernama Santi itu. Hanya Seorang pemulung. “Pintarnya masih kalah sama Ella kan mah..?”, tanyaku sebal..
“Eh, kamu jangan salah. Di sekolah, dia selalu juara loh,”, timpal mama lagi.
Sebal!! sebal!! sebaaaaaaaallll!! sepertinya mama lebih membanggakan perempuan itu daripada anaknya sendiri, pikirku.
*********
Babak kedua telah berakhir. Tinggal satu babak lagi penentuan akhir juara satu, dua dan tiga. Bagiku kemenangan dalam lomba cerdas cermat adalah hal yang pasti buatku. Tak perlu membaca buku lagi, ataupun belajar. Toh, sudah pasti aku yang menjadi juara satu.
Di taman SD Kartini, aku menunggu pengumuman. Menjadi wakil seri A sudah cukup membuktikan jika akulah calon sang juara. Entah siapapun lawanku dari seri B dan C, aku tak peduli. Hem... enaknya main game!, pikirku ringan.
“Ella.. kamu kok tidak belajar?,”, tegur pak Kardi sambil berjalan mendekat.
“Ah, bapak. lagi seru nih,”, jawabku masih menatap layar hape. “Lagian Ella pasti masuk babak ke tiga besar, seperti biasa,”, ucapku lagi dengan yakin.
“Ya sudah, bapak percaya sama kamu,”,lanjut pak Kardi kemudian berlalu meninggalkanku.
Selang beberapa menit kemudian, kulihat beberapa peserta tampak mengerubuti papan pengumuman. Tak sedikit kulihat ekspresi wajah mereka yang kecewa. Bahkan, ada yang menangis sesal. Di tengah-tengah, kulihat seorang perempuan yang tak asing bagiku, sedang melompat-lompat ceria. Lalu, segera tubuhnya di peluk oleh gurunya, pikirku dari seragamnya. Perempuan itu? aku mencoba mengingat-ingat sesuatu. Ah, tidak penting!, kataku melupakannya.
Dari kejauhan pula, pak Kardi dengan senyumnya menghampiriku kembali. Kumisnya yang rapi seolah-olah menari-nari di atas bibirnya.
“Selamat la...”, pak Kardi menyodorkan tangannya.
“Pasti masuk Final kan?”, ucapku yakin.
Pak Kardi mengangguk bangga. “Sekarang masuk sana, dua orang siap menjadi lawan kamu,”, lanjut pak Kardi.
Oke pak,”, ucapku sambil mengangkat jempol. Lalu, sambil mengantongi hapeku, aku berlalu menuju ruang kelas. Babak finalpun segera dimulai.
Aku mulai berjalan, lalu menghentikan langkah sesaat setelah tiba di bibir pintu kelas. Aku mulai menatap dua orang yang menjadi lawanku. “Hah..?? perempuan itu!”, seruku dalam hati. Ya, perempuan pemulung itu ternyata salah satu yang menjadi lawanku. Bagaimana bisa?, tanyaku lagi tak menyangka.
“Bella yah??”, tanya salah seorang juri yang melihatku setengah bingung. Lalu menyuruhku untuk segera bergabung dengan dua lawanku.
Sambil berjalan menunduk, aku menghampiri mereka mengisi satu kursi yang memang untukku.
“Hai.. namaku Siska,”, sapa seseorang menyodorkan tangan. Senyumanya yang ringan diberikannya untukku.
“Hai.. aku Rina,”, kata perempuan berikutnya memperkenalkan diri.
Sambil nyengir kuda, aku mengangkat kepala, lalu membalas sodoran tangan mereka. Untuk Siska, aku berharap dia tidak mengenali wajahku yang pernah tidak sengaja melempar botol dan mengenainya. Huft...
Selamat kepada anak-anak yang sampai pada babak Final. Ucapan salah seorang juri menghentikan obrolan kami bertiga.
Waktu terus berjalan, hingga beberapa pertanyaan tak terasa sudah dilontarkan. Beberapa pencetan tombolpun, sudah kami lakukan untuk merebut menjawab pertanyaan dari juri. Untuk hasil sementara, aku dan Siska sejajar mengungguli Rina. Dan menjelang pertanyaan terakhir dari babak perebutan, juri memberikan soal tentang pengetahuan alam.
Jenis nyamuk apakah yang menyebabkan penyakit malaria?
Beberapa detik, tak ada suara pencetan tombol. Aku melihat wajah Rina kikuk, sama sepertiku yang benar-benar tidak mengerti sama sekali. Berbeda dengan Siska, matanya terpejam seperti mengingat sesuatu. Dan.... tettttt!! bunyi tombol dari bangku Siska mengagetkanku. Aku menggigit jari melihat bibirnya yang mulai terbuka. Tidak mungkin dia tahu, pikirku.
“Nyamuk Aedes Aegypty!”, jawabnya lantang.
Benar...! kata salah seorang juri membahana ke seluruh penjuru ruangan.
Aku tidak percaya, debutku sebagai juara satu dikalahkan oleh Siska. Kemudian dengan sekuat tenaga, aku berlari, keluar menuju toilet. Aku menangis sesal. “Bagaimana bisa??”, kataku sambil menatap cermin di sana.
“Karena aku membaca. Yah, aku tahu hal itu dari koran yang pernah kubaca,”, seseorang tiba-tiba menjawab ucapanku pada cermin.
Tak lama, di balik bayangan cermin, tampak bayangan Siska muncul sambil mendekatiku. Pemulung itu! Benar kata mama, dia pintar. Hanya bermodalkan membaca.
Kemudian aku berbalik menghadapnya. “Siska.. maafin aku yah,”, ucapku sambil memeluknya.
“Kenapa?? karena botol yang kamu lempar kemarin?, aku senang kok. Karena botol bekasmu, aku bisa bersekolah. Yah, satu botol bekas sangat berarti bagiku,”, jawabnya dengan tenang.
Ternyata dia sudah mengenali wajahku dengan pasti. Bahkan, dahulu mbok Ijah juga sering bercerita kepadanya tentangku, terang Siska.
Sejak saat itu, aku dekat dengan Siska, meski seorang pemulung, tapi dia telah memberiku banyak hal, bahwa tak selamanya prestasi itu bisa bertahan tanpa kita terus belajar dan tidak meremehkannya. Dan membaca itu penting, bisa membuka pengetahuan yang luas. Satu lagi! Siska menyarankanku untuk tidak terhipnotis dengan hape. Bisa-bisa lupa belajar, katanya. Hipnotis? kalau begitu, selama ini aku tertidur dong? hihihihii... terima kasih Siska..

oleh Tarmudi
Cerpen anak 6

No comments: