NavBar

Tuesday, May 12, 2015

Lukisan Ronsok

Aku berjalan menyusuri lorong perkampungan mewah. Sungguh terlampau mewah jika dibandingkan dengan rumahku yang hanya berdinding kayu, pun tak begitu rapat berjajar. Di siang hari, semburat matahari selalu menerobos masuk melalui celah-celah genting lalu membentuk banyak garis putih panjang menyilaukan-bagai pedang yang baru diasah-tajam. Saat malam datang,  lampu minyak harus bekerja ekstra mengedarkan cahayanya ke setiap sudut ruangan, tapi tak begitu berdaya  memberikan kehangatan untuk kami walau sekali. Dan satu lagi! tikus menyukai rumah kami.
“Kak!!  ini banyak botol..”, teriak seorang gadis menghentikan langkahku. Segera aku berbalik arah. Kulihat, gadis yang memanggilku sedang memasukkan kepalanya ke dalam sebuah tong besar. Tanpa berpikir ulang, aku langsung meletakkan karung yang kupanggul di tanah begitu saja. Kemudian berjalan cepat mendekati Citra sambil memperhatikan sekeliling.
“Dede, kakak sudah bilang, mulai sekarang dede tidak perlu mencari rongsok!”, kataku sedikit meletup.

Acuh, Citra enggan mengangkat kepalanya. Tangannya bertambah sibuk mengais-ngais isi tong.
“Dede... kak Andi bilang apa?!”. Aku mulai kesal.
“Mama... ada komplotan pencuri rongsok nih. Nana takut nanti boneka Nana dicuri ,”, entah suara darimana dengan cepat menyambar telingaku. Tak perduli, segera kutarik tangan Citra. Kulihat, kedua tangan mungilnya menggenggam dua buah botol plastik. Dengan cepat kuambil semua yang ada digenggamannya, lalu kulemparkan kembali ke dalam tong yang mendadak akrab dengan Citra. “Kakak sudah bilang. Mulai sekarang, kamu tidak perlu mencari rongsokan lagi, paham??”, pintaku sambil membersihkan tangannya.
“Tapi kak....”
Aku tak mau mendengar lagi apa yang akan dikatakannya. “Pokoknya jangan!”, jemariku melingkar kuat di pergelangan tangannya, kemudian kutariknya pelan sambil mengambil langkah.
“Tunggu kak!”, lagi-lagi Citra menghentikan langkahku.
Segera aku menundukkan badan mensejajarkan diri. “Ada apa?”, tanyaku. Citra merapatkan bibirnya lalu menggeleng pelan. “Rongsok lagi??!”. Mendengar perkataanku, gadis mungil itu kemudian menunduk. Apa aku ini berlebihan?, pikirku. Segera aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Kupikir agar emosi ini terkendali. Sambil melakukannya, kuraih karung yang ada di sampingku. “Ini, kakak sudah dapat banyak...”
Citra mengangkat kepalanya sebentar, lalu menunduk lagi. Mungkin saat itu dia menganggap, jika aku yang selama ini dianggap malaikat, berubah menjadi setan dengan mata yang menyala merah.
Entahlah, begitu tega aku membentaknya. Tak ada  secuilpun maksudku membuatnya terluka.  Tak tega, aku kemudian mengusap rambutnya yang sebahu. Kemudian kubisikkan pelan, “Adik kakak yang cantik, pinter dan penurut... kakak sayang sekali sama dede. Dede sayang sama kakak juga kan?”
Masih menunduk, dia mengangguk pelan.
“Terima kasih Citra,”, balasku.“Dede masih ingat lagu Indonesia Raya yang semalam?”
Persis seperti sebelumnya, Citra hanya  mengangguk pelan.
“Kalau begitu coba dong, kakak kepengin dengar suara dede. Tapi biar tidak lupa, sambil menunduk ya... yang kencang! Oke?
***
“Mama.. ada pencuri sampah...”, “Mama.. ada preman tukang rongsok..”, “Mama.. rongsok kita jangan dibuang yaa... nanti dicolong sama mereka..”
Teriakan anak sebayaku menjadi iringan langkah kami di sepanjang lorong perumahan. Karung gendutku yang berisi rongsok, sengaja tak kupanggul lagi. Kubiarkan suara seretannya terus berirama mengiringi lantunan Indonesia Raya dari adik kecilku, tangan mungilnya masih erat kugenggam. Biarlah dek... biarkan kakak yang tahu dan merasakan semua ini. Lorong sepertinya tak ada ujung, padahal tepat di pojok sana, rumah kami berdiri. Untukku memang terlalu bosan menatap wajah-wajah manusia yang sengaja berseliweran menatap tubuh kami. Beberapa hanya mengintip lewat jendela. Entah, mereka seperti melihat buronan saja!
***
Aroma lumpur mulai tercium. Banyak manusia yang protes dengan ucapanku. Mereka bahkan menganggap aroma ini tak lebih dari aroma bangkai. Tapi, seperti yang kubilang, ini lumpur! Lumpur syurga. Tak mudah untuk mendapatkan aroma ini. Butuh perasan keringat, kasih sayang, berjuang dengan lautan lumpur yang sebenarnya.
“...hiduplah Indonesia Raya....”, Citra menghentikan suaranya. “Kak, sudah sampai ya?”, ucapnya sembari mengangkat kepalanya. Mungkin hidungnya sudah mengendus sejak tadi.
Tak sempat aku menjawab, ia langsung berlari masuk ke dalam rumah. Jemariku tak protes untuk melepaskannya. Kulihat tas yang menempel di punggungnya bergoyang ke kanan dan ke kiri ceria..
Ibu... karena makhluk kecil itu, hampir saja aku melupakanmu. Ibu dan Citra. Dua wanita yang saat ini kumiliki memang selalu memberikan kesan yang indah dalam hidupku. Terlebih ketika dua tahun silam. Bagiku, kematian ayah seperti bencana yang besar. Tapi Ibu menguatkanku untuk tetap menjalani hidup sebagaimana sebelumnya. Untuk Citra, dia masih terlalu kecil untuk mengerti hal yang satu ini. Yang hanya dia tahu adalah jika ayahnya tengah tertidur pulas di suatu tempat yang sangat jauh.
Aku mencari-cari ibu. Ibu biasanya berada di teras bersama dengan tumpukan kardus, botol plastik, dan gelas plastik hasil pencariannya. Ia merangkainya, termasuk rongsok yang kubawa setiap pulang sekolah ini. Ibulah yang merapikannya. Tapi, mana ibu?
“Kakak... dipanggil ibu,”, lagi-lagi suara si kecil Citra mampir di telingaku. Tak berapa lama, sosoknya muncul di hadapanku dengan tangannya yang menggenggam gorengan tempe. Mulutnya terlihat masih mengunyah pelan. “Kakak.. dipanggil ibu,”, ucapnya lagi.
Melihatnya makan saja, aku merasa sejuk dan damai. Bersyukur, dalam kekurangan tak selamanya serba kurang. Seperti biasa, aku menunduk, mensejajarkan diri, “Ibu di mana?”
“Di dalam kak...”, katanya lagi sambil menyayat tempe dengan giginya.
Aku hanya melempar senyum, lalu seraya lebih dekat, kubuka mulutku lebar. Citra tersenyum simpul mengerti maksudku, lalu segera memasukkan tempe yang digenggamnya ke dalam mulutku. “Nyamm..nyaaamm..terima kasih Citra yang cantik,”, candaku. “Yuk,”.
***
“Citra, main bonekanya di luar saja yaa...”, pinta Ibu ramah. Dengan segera Citra mengikuti ucapan ibu. Duduk di atas kursi kayu coklat yang memanjang, Ibu sesekali memastikan Citra jika dia sudah di halaman. Tak lama kemudian Ibu mendehem, lalu menatapku yang juga duduk di atas kursi yang sama.
“Kamu berkelahi lagi di sekolah?”
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar lontaran pertanyaan ibu barusan. Segera kualihkan pandanganku ke lantai yang masih berupa tanah seadanya. Beberapa barisan semut tengah berbaris merayap entah kemana tujuannya, aku tak mau tahu.
“Andi.. kamu jawab pertanyaan ibu nak,”
Mendengar ucapannya lagi, aku hanya bisa menghela nafas panjang. Selebihnya, leherku serasa dicekik! Lidah? Serasa kaku membeku.
“Ib...Ibu.. tahu dari mana?”, tanyaku tergagap.
Ibu membuka telapak tangannya. Ditunjukkannya sebuah surat yang terlihat lusuh karena diremas. “Ini apa?? Surat peringatan yang ketiga!”
Aku terhenyak. Surat peringatan ketiga?? Itu artinya......
Ibu mulai bangkit dari duduknya, lalu berdiri di dedapanku yang masih menunduk setengah ketakutan. Tak lama, gumpalan kertas mengalihkan pemandanganku. Ibu menjatuhkannya tepat pada titik sorot mataku yang sembab. Kuikuti gumpalan kertas pengacau tanpa berkedip. Jatuh tanpa mengaduh, kemudian menggelinding tanpa suara, lalu berhenti.
“Andi, lihat ibu!”
Ibu marah. Tak pernah sekalipun aku melihatnya semarah ini. Ibu yang selama ini berdiam diri. Ibu yang selama ini selalu membuatku semangat bersekolah selepas ayah pergi. Ibu yang selalu bilang tak akan marah. Ibu, kenapa? Apa kesalahanku begitu besar di matamu? Sungguh Andi tak bermaksud mengecewakan ibu..
Pelan-pelan aku mulai mengangkat kepala. Mataku? Sengaja kupejamkan. Aku tak terlalu siap menatap mata ibu. Dan kini, wajahku benar-benar menghadap ibu. Aku masih tak memiliki nyali untuk segera membuka mata. Tak lama juga, kurasaan ada yang meleleh dari balik kedua mataku. Yang kemudian kutahu, aku menangis.
“Ibu?”, aku membatin. Tak lagi aku mendengar suaranya. Entah apa yang ibu lakukan di luar sana, aku tak tahu. Takut, aku semakin kencang mengatupkan kelopak mataku. Tapi, kubiarkan saja air mataku keluar dengan bebasnya. Andai air mataku mampu berbicara, ingin rasanya kutanyakan apa yang terjadi dengannya. Nafas yang sulit kuatur, jantung berdegup cepat, telinga yang setengah ketakutan, juga hati yang remuk. Ibu, maafkan Andi.. Aku terisak. Tapi tiba-tiba ada yang memeluk tubuhku erat. “Ibu?”, batinku lagi. Aku masih tak punya cukup nyali membuka mata ini.
“Andi, maafkan Ibu nak...”
“Ini ibu!”, batinku meyakinkan. Mendadak kelopak mataku kehilangan tenaga. Air mataku semakin merangsek hendak tumpah. Kubiarkan tumpah, hingga aku benar-benar melihat! “ibu..”, Segera kubalas pelukannya erat.
Dan akhirnya kutahu, air mataku mampu berbicara. Menjadi saksi bisu, akan kecintaanku pada ibu. Cairan bening yang mampu berbicara pada hati seorang ibu. Atau mungkin... sosokku yang mirip dengan almarhum ayah?. Ah, aku tak begitu perduli. Bagiku, asalkan ibu yang kukenal telah kembali...
***
Aku memeluk Citra kuat-kuat. Kuusap rambutnya pelan, sangat halus. Kemudian kucium, sangat wangi. Seumur hidup, baru kali ini aku melihatnya memakai baju yang bersih dan cantik. Tapi sayang, sebentar lagi paman mengambilnya dariku. Katanya, nasib Citra akan lebih baik jika hidup dengannya. Kalaupun hidup denganku, bisa-bisa citra akan tetap menjadi pemulung!.
Seminggu yang lalu, Ibu telah pergi. Ibu menyuruhku untuk mengirimkan sepucuk surat buat paman yang ada di kota. Saat itu ibu sedang sakit keras. Tak lama, esok harinya paman datang. Aku mendengarkan pembicaraan mereka tepat saat aku meletakkan minum untuk paman. Ibu menitipkan kami sama paman. Mendengar itu, hampir saja membuat air yang baru kuletakan tumpah. Firasat ibu memang benar. Ia pergi meninggalkan kami.
Aku menolak untuk hidup dengan paman. Yang ada hanya akan merepotkannya. Aku memilih sendiri dan akan pergi entah kemana. Aku hanya menitipkan Citra, berharap nasibnya akan menjadi lebih baik dariku yang hanya sampai kelas enam. Itu saja tidak lulus, karena surat peringatan yang ketiga setahun lalu itu.
Tapi aku bersyukur, ibu sudah mengerti alasanku. Saat itu, saat teman-temanku menganggapku sebagai anak sampah, aku hanya bisa terdiam pasrah. Tapi tidak untuk adikku, Citra. Begitu jahatnya mereka yang menganggap adik cantikku sampah pula. Citra yang baru masuk kelas satu tentu sangat sedih (Mungkin mereka sudah sering melihat Citra memulung bersamaku sebelum ia sekolah). Semenjak itu, aku bertekad untuk selalu menjaganya. Tak apa aku beradu otot, asalkan mulut mereka tak mencecar adikku. Bahkan, sering pula aku mempersilahkan mereka untuk mengejekku, tapi tidak untuk Citra.
Semenjak di keluarkan dari sekolah, aku tetap memulung seperti biasa. Kemudian mengantar Citra dan menunggunya di gerbang sekolah. Sering kutanyakan padanya tentang teman-temannya, dan teman-temanku. Katanya baik-baik saja. Tapi, tetap saja membuatku resah. Dalam perjalanan pulang, masih sebuah karung berisi rongsok kupanggul. Citra yang berjalan disampingku sesekali menjengkelkanku. Bagaimana tidak? tiap ada tong sampah, selalu ia berlari. Apalagi kalau bukan mencari rongsok!. Tapi, selalu saja kujamu dia dengan rayuan manis. “Citra yang cantik, nanti baju kamu kotor. Kan besok mau dipakai lagi?”. Senyuman manisnya menjawab ucapanku. Sungguh menyejukkan.
Tangan mungilnya melambai-lambai. Di dalam angkot, Citra yang dipangku paman tampak senang. Bagaimana tidak? Yang kusampaikan padanya: Ibu ada di rumah paman. Kakak Andi akan segera menyusul. Ya, Citra masih tak tahu jika ibu telah bersanding kubur dengan ayah. Sebelumnya tak lupa kukatakan pada paman, untuk selalu membalas suratku, terutama mengenai Citra. Dan setidaknya akan kukirimkan uang pada paman untuk Citra.
***
Sudah lima tahun aku mendekam di balik jeruji besi. Sejak lima tahun itu pula, hanya dua buah surat balasan yang kuterima dari paman. Itu saja surat yang sudah terlampau lama. Surat pertama yang kuterima dua minggu setelah perpisahan dengan Citra. Dikabarkan, kondisinya baik-baik saja, meski sering menanyakan menyoal aku dan Ibu, tapi paman memang orang yang paling jago merangkai kata. Meski suatu saat nanti beliau harus menjelaskan perihal yang sesungguhnya. Tentu kelak ketika Citra besar nanti. Surat kedua, surat yang kuterima dua tahun berikutnya. Disana hanya terukir ucapan terima kasih atas uang pemberianku. Dan tentang citra, tak begitu banyak diceritakan, hanya saja prestasinya yang dibilang bagus.
Untung ada pak Samsul. Perkenalan dengannya sangat singkat. Di tong sampah! tepat ketika sedang mengais isi tong,  kutemukan bungkusan kecil, setelah kubuka berisi butiran yang kupikir permen. Pak Samsul dari belakang menepuk punggungku, kemudian meminta permen yang kupegang. Demikian seterusnya terjadi berakli-kali di tempat yang sama. Hingga akhirnya beliau menawariku untuk bekerja dengannya. Dengan bayaran yang besar, pemulung mana yang tak mau. Tapi sama saja, aku tetap menggunakan baju lusuh, dan wajah yang dekil. Tapi, dari pekerjaan itu pula lama-kelamaan rongsokan kuanggap tak lagi berguna. Lihatlah! Aku memakai jas, kemeja dan dasi. Aku dianggapnya seperti anak sendiri. Memasuki hotel berbintang, perumahan mewah, kafe bersama pak Samsul menemui kliennya. Yang kulakukan hanyalah mengikuti perintahnya. Hingga dua tahun bersamanya, aku bisa mengontrak rumah yang mewah. Lebih mewah dari rumahku dulu, apalagi dengan rumah-rumah di sepanjang lorong perkampungan itu. Aku benar-benar bisa menghirup udara yang sebenarnya. Segar dan jauh dari aroma lumpur. Aku pun bisa membeli motor dan mulai bisa pergi ke manapun. Termasuk pergi berkunjung ke rumah Paman. Tentu dengan hati yang berbingar aku berharap bisa bertemu Citra.
Tiba di rumah paman, aku tak melihat siapa-siapa. Di sana, hanya rumah kosong tak berpenghuni. Berkali-kali aku mengetuk pintu sambil berseru salam, tak ada jawaban. Tapi, tiba-tiba seseorang datang mengagetkanku dari arah belakang.
“Selamat Pagi. Anda kami tangkap!”.
Aku diam membisu. Lidahku kelu saat mereka menggiringku ke dalam mobil. Di balik jerui besi, kulihat pak Samsul tengah berdiri meratap. Dunia sepertinya enggan melihatku bahagia. Dunia seakan-akan dijungkir balikkan begitu saja. Penangkapan pak Samsul oleh polisi turut serta menyeretku. Permen?? Ini semua gara-gara permen!. Panjang lebar aku dibuahi pertanyaan, sampai berbuih aku mengatakan tak menahu tentang perkara yang kulakukan. Begitu bodohnya aku. Yah, bodoh sekali. Bodoh karena tak mau mengaku dan berpura-pura tak tahu. Bodoh karena melanjutkan pekerjaan yang sudah kuketahui haram. Tak lama berproses, aku diharuskan menetap di hotel prodeo 15 tahun lamanya.
Hidup dalam penderitaan, manusia mana yang mengaku jika waktu berjalan begitu cepat. Tapi aku  menginginkannnya. Aku ingin segera bertemu dengan paman dan Citra. Di balik jeruji, aku selalu mencoba menghibur diri agar bahagia. Ya, dengan kebahagiaan, waktu akan terasa begitu cepat. Sangat cepat hingga menyisakan satu tahun masa mendekamku. Empat belas tahun sudah aku menikmati dinginnya hotel prodeo. Disana, semua narapidana diberikan pelatihan. Termasuk aku yang diasah dengan bakat melukis. Belakangan lukisanku dipamerkan dalam acara pundi amal polri, kemudian dilelang. Tiap kali melukis, tak lupa kuhadirkan pula beberapa carik surat untuk Citra yang tak pernah terkirim. Berulang kali kukirimkan, berulang kali pula kertas itu kembali lagi.
Seminggu lagi lapas tempatku mendekam akan mengadakan bakti sosial. Semua napi dilibatkan dalam melakukan pelelangan keahlian mereka. Ada yang membuat kerajinan, alat musik dari bambu, hiasan rumah, ada juga yang ahli memasak. Dan beberapa napi memiliki keahlian seperti saya, melukis. Entah ketika kuhadapkan diri pada kain kanvas yang lebar, pikiranku terbang melayang. Seperti burung yang terkurung sekian lama, kemudian bebas lepas. Sungguh bahagianya. Ingin rasanya aku mengenang wajah mereka: ayah, Ibu, citra, termasuk diriku. Dengan jeli aku mulai membentuk garis-garis wajah dengan latar syurga rongsok. Sesekali bola mata ini kututup sebentar mencoba mengingat kembali sosok mereka. Tapi, tak jarang pula sengaja kulakukan lebih lama, hingga kurasakan mereka hadir kembali. Tak terasa, air mata turut menyambut. Cairan bening meleleh lalu mengular di pipiku.
***
Di dalam ruangan, tampak manusia-manusia berdasi berjejal keluar masuk. Pebisnis, kolektor hingga pejabat negara menyambangi tempat kami. Tempat berkaryanya para narapidana! Aduhai, wajahku terasa terbakar. Yah, dipikiran mereka mungkin kami rendah. Seorang pembunuh, pemerkosa, pecandu, pencuri dan sebagainya. Aku tak begitu yakin kalau mereka benar-benar melihat karya kami. Jelas terlihat, beberapa napi tampak berdiri membisu. Jiwa seorang penjual lenyap begitu saja. Kulihat pula tingkah mereka yang hanya tersenyum lebar, sambil menunduk merendah. Memang kontras dengan polah mereka sewaktu di dalam sel.
“Mas, ini lukisannya bagus,”. Ucap seseorang tiba-tiba memangkas pengedaran mataku.
“Maa..makasih pak,”, kataku gugup.
Seorang laki-laki tua di hadapanku itu kemudian mengedarkan pandangannya lagi. Dia menunjuk salah satu lukisanku yang lainnya. “Yang itu.. gambar siapa?”
“Ohh, yang ini gambar saya juga pak. Ini keluuu....”, buru-buru aku memotong ucapanku. Tempat ini terlalu buruk. Sungguh malu ayah, Ibu dan citra memiliki aku yang seorang napi ini. “Maaf pak, tapi lukisan ini tidak dijual. Ini buat dekorasi saja. Bapak bisa pilih yang lain..”, kataku dengan cepat menjelaskan.
Pak tua itu kemudian mengikuti saranku. Tapi hanya melirik sebentar saja. Kemudian dia enyah. Beberapa orang berdasi sama saja, hanya numpang lewat. Tapi tak begitu masalah.
Lama berdiri menebar senyum -sambil mengajak pengunjung sekedar menengok hasil lukisanku- sebuah kursi kujadikan sandaran bokongku. Tapi kemudian seorang wanita muda datang dengan seorang laki-laki yang tampak sebayanya.
“Selamat datang..”, aku menyapa mereka berdua.
Si wanita dengan santunnya menebar senyum. Deg! Aku merasa sudah lama mengenal simpulnya. Tapi, percuma saja aku mengingatnya. Empat belas tahun lamanya tampak mustahil melihat senyum sepertinya. Toh, manusia yang satu sel denganku berjakun semua!.
“Haloo, mas??”
Aku tersentak kaget. “Eh, iya bu.., ada yang bisa saya bantu??”, tanyaku sedikit panik. Malu, tak sadar jika pikiran ini menggerayang terlalu jauh mengingat senyumannya.
“Pah, kalau yang ini bagus tidak ya dipasang di kamar tamu,”;”Pah, ini bagus tidak yah dipasang di kamar calon bayi kita,”;”Pah, ini terlihat alami, sejuk juga kalau ditaruh di kamar mandi,”;”Pah, aku bingung mau pilih yang mana. Semuanya bagus,”, ucapan wanita itu berjejal yang ditujukan untuk laki-laki yang tampak setia mengikutinya dari belakang. Sedangkan aku yang juga mengikuti langkah mereka berdua selalu mendapat pertanyaan yang itu-itu saja: mas, yang ini harganya berapa? Boleh ditawar tidak?. Tapi bagaimanapun pertanyaannya, aku tak begitu perduli. Aku hanya menjawab ringan, “Murah bu. Bisa kok...”, sambil tetap menanti senyuman dari bibirnya. Sesekali kudapati itu, dan terasa menyejukkan.
Tapi Entahlah, tiba-tiba saja senyuman itu berubah.Wajahnya mendadak pucat pasi dan terlihat murung. Lama wanita itu berdiri mematung sambil memandang, lalu mengusap lembut lukisan yang khusus kutempatkan paling atas. “Mas, yang ini lukisan siapa?”, tanya wanita tersebut.
Mendengar pertanyaannya, jelas dengan sigap aku membalas, “Maaf bu, lukisan itu tidak dijual. Silahkan cari yang lain saja,”
Wanita itu masih menatap kosong ke arah lukisanku, kemudian tangannya mulai merayap mengelus tiap wajah yang terpoles di sana. “Saya hanya ingin tahu saja. Ini lukisan siapa?”, nadanya bertambah sedikit kencang.
Laki-laki yang tepat berdiri di  belakang wanita tersebut langsung membujuk pelan, “Sudah mah, lagian hanya lukisan wajah biasa dan rongsokan pula. Masih banyak yang lebih bagus,”
“Aku ingin lukisan ini pah,”
“Loh, tadi kan kata masnya lukisan itu tidak dijual?”
“Berapapun harganya mas,”, wanita itu kekeh ingin memiliki lukisanku.
Mendadak mulutku terkunci rapat. Tak mampu menyaksikan cairan bening tumpah dari kedua mata wanita itu. Raut wajahnya persis seperti... Citra! Ya, aku baru mengingatnya! Citra adikku. Tapi... apa mungkin dia?
Dengan langkah gugup aku mendekat, lalu berdiri di dekat wanita yang kupikir Citra. “Ibu bisa memilikinya. Ibu bisa mengambilnya kapanpun,”, kataku menjurus. Wanita itu segera menatapku pilu. Lalu tersenyum. Kembali otakku berlari mengingat paras Citra. Sesekali pula kupadankan wanita itu dengan polesan Citra yang tergores di atas kain kanvas. “Asal ada syaratnya.”, lanjutku.
“Apa?”, katanya menahan tangis.
“Ibu harus berjalan menunduk, dari sini ke arah pintu keluar. Sambil menyanyikan lagu Indonesia raya. Ingat! Tidak boleh mendengarkan mereka yang ada di sini,”.
Suami wanita itu hampir saja menyerudukku, tapi istrinya dengan sigap membiarkan dirinya melakukan itu.
Wanita itu lalu mengikuti aturanku. Menunduk, lalu menyanyikan lagu Indonesia raya dengan lantang meski terdengar  menyiur lambai. Seperti kaset molor. Pantas saja, ia menangis! Semua pengunjung memperhatikannya. Keadaan ruangan mendadak sunyi. Tak lama kulihat wanita itu telah sampai di bibir pintu. Dia segera berbalik. Dia melemparkan senyum untukku. “Kak Andy!!!!”. Dia berlari menghampiriku kembali. Aku menangkap badannya. Hingga kami benar-benar berpelukan penuh isak tangis. Semua hadirin tampak tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi..... Jauh sebelumnya, mungkin Citra merasakan apa yang aku rasakan. Sebuah ikatan batin memang tak bisa dipisahkan.
Citra, bawalah lukisan ke dalam duniamu. Berbahagialah bersamanya, dan biarkanlah kakak yang merasakan getirnya nafas dunia ini...

Oleh Tarmudi
Naskah Lomba Cerpen Remaja 23/ 9/2013

No comments: