NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Siapa Yang Menang?"

“Deriel Widyatama dapat sembilan puluh,”, seru bu Sinta membacakan hasil ulangan matematika Deriel.
Yeess!!.  kata salah seorang murid laki-laki kegirangan.
“Deriel, bu Guru belum selesai membacakan semua. Jadi, jangan ribut,”, sergah bu Sinta kemudian pada murid laki-lakinya tersebut. Deriel. Salah satu murid kelas lima yang dikenal pandai itu bertubuh sedang dan tegap. Tingginya tak jauh berbeda dari teman-temannya. Yang membedakan hanyalah statusnya sebagai anak seorang polisi. Sedangkan teman-temannya yang lain hanyalah berorang-tuakan seorang petani. Ayah Deriel berpindah tugas sejak ia duduk di kelas satu. Deriel dan mama, mau tidak mau harus hidup bersama papa. Kehidupan di kotanya terdahulu tentu berbeda jauh dengan tempatnya sekarang. Di sebuah desa terpencil yang asri, sejuk, serta bebas asap kendaraan dan polusi.
Di desa, jumlah sekolah tak begitu banyak seperti halnya di kota. Bahkan, semuanya bisa dihitung dengan hitungan jari. Di dekat rumah baru Deriel, ada sebuah sekolah yang bernama SD Harapan. Sekolah itu sangatlah sederhana. Fasilitasnya masih seperti jaman dahulu. Tentu saja sangat berbeda jauh dari sekolah Deriel sebelumnya. Di sekolah sebelumnya, tentunya sudah memakai papan tulis putih dan spidol. Sedangkan di SD Harapan ini, batang kapur dan papan hitam masih menjadi alat utama dalam pengajaran. Lantainya pun, jauh dari kesan mengkilap, karena memang hanya berlapis tanah seadanya. Meskipun SD Harapan terlihat biasa, tetapi setiap ruangan selalu terlihat bersih dan asri dengan tanaman berbunga yang tumbuh subur di sekitarnya.
Awalnya Deriel tidak bersedia bersekolah di SD Harapan ini, karena belum terbiasa dengan keadaan. Tetapi karena sekolah lain yang keberadaanya jauh, mama Deriel terus berusaha membujuknya. Dan lambat laun, akhirnya Deriel mengikuti kata mama.
Lima tahun kemudian, Deriel semakin merasakan kebahagiaan bersekolah di SD Harapan. Selain sekolahnya yang nyaman, ia juga memiliki teman-teman yang sangat baik.
Kembali ke suasana kelas, bu Sinta kemudian melanjutkan membacakan hasil ulangan muridnya. Deriel kembali duduk tenang dan mulai mendengarkan dengan seksama.
“Berikutnya, nilai yang tertinggi,”, kata bu Sinta melanjutkan.
Apah?, seru Deriel dalam hatinya terkejut. Ia tidak menyangka jika ada orang lain yang bisa mengalahkan nilai ulangan matematikanya. Semua anak terlihat kaku, dan berharap nama mereka yang akan di sebut bu Sinta. Tak terkecuali bagi Rio, laki-laki yang duduk di depan Deriel. Sesekali wajahnya menunduk, dengan mulutnya yang berkomat-kamit membaca doa.
“Yang mendapatkan nilai seratus adalah.....”, lanjut bu Sinta sambil menyebar pandangan ke penjuru kelas. “Rio!!!,”, seru bu Sinta kemudian. Santer, semua teman-temannya menyambut dengan tepukan meriah. Rio lantas tersenyum gembira memperoleh nilai yang dari dulu sudah diusahakannya.
“Hai, selamat nih,”, ucap Deriel menepuk punggung Rio. “Akhirnya ada yang mengalahkan nilai matematikaku juga ,”, lanjut Deriel terkekeh.
Seraya merespon jabatan Deriel, Rio berkata, “Tapi kesepakatan buat menggendong sang pemenang tidak lupa kan??”
Deriel mengangkat jempolnya, lalu dihadapkannya di depan Rio. “oke bos..”, balas Deriel disusul dengan tertawa renyah bersama.
Rio adalah salah satu sahabat dekat Deriel. Ia penduduk asli desa. Awal pertemanan adalah ketika pertama kali Deriel menjadi bagian di SD Harapan. Anak-anak menjauhi Deriel, hanya karena mereka takut berteman dengan anak polisi. Tetapi, dengan penuh keberanian dan percaya diri, Rio mendekati Deriel. Dari sana, akhirnya Rio menjadi teman pertama Deriel di sekolah. Lambat laun kemudian, teman-teman yang lainpun mulai segan berkenalan dengan Deriel. Selain itu, berdasarkan keterangan bu Siska, Rio mulai tahu jika Deriel adalah murid terpandai di kelasnya. Kesederhanaannya membuat Deriel semakin nyaman berteman dengan Rio. Rio juga merasakan hal yang sama. Dan ternyata, Deriel, anak yang selama ini ditakuti oleh teman-teman Rio, memiliki hati yang baik dan suka bergaul.
Pertemanan antara Rio dan Deriel bukanlah pertemanan yang dibilang biasa. Tetapi sebuah pertemanan yang selalu menjadi perhatian siswa lain di sekolah karena kepandaian mereka berdua. Tak hayal, terdengar kabar jika mereka selalu bersaing untuk mendapatkan nilai yang terbaik di kelasnya. Tetapi, siapapun yang menjadi pemenang, keduanya saling menghargai dan memberikan dukungan. Bahkan, mereka mengadakan kesepakatan bahwa siapa yang mendapatkan nilai ulangan lebih rendah, akan mendapatkan hukuman yaitu menggendong pemenangnya, yaitu yang memperoleh nilai lebih tinggi. Persaingan antara Rio dan Deriel pun mendapatkan acungan jempol dari para guru. Dan ternyata mereka berdua juga bersepakat untuk tidak duduk dalam satu bangku, karena bagaimanapun juga, mereka harus membagikan ilmu pada teman-teman yang lainnya.
*********
“Siap..? Jalan!!”, perintah Rio. Dengan penuh semangat dan tertawa kecil, Deriel menopang tubuh Rio di atas punggungnya lalu berjalan mengitari ruang kelas. Sedangkan Rio yang asik bertenggreng bergaya ala koboi menikmati posisinya sebagai juara. Sebelumnya, Rio-lah yang selalu menggendong Deriel, karena pada saat itu, nilai matematika tertinggi masih dipegang oleh Deriel. Tetapi dengan berjuang keras, akhirnya Rio bisa mengalahkannya.
“Kali ini aku kalah, tapi besok pasti menang!”, ucap Deriel optimis dengan nafasnya tesengkal-sengkal setelah selesai menahan berat badan Rio.
Sebagai tanda terima kasih, Rio memijit punggung Deriel pelan. “Aku tunggu di ulangan IPA besok,”, tantangnya pada Deriel.
Sambil menyeka keringatnya, Deriel berkata pesimis,”Wah, kalau IPA sih aku belum tentu menang. Kamu kan tahu sendiri, kalau aku tidak suka IPA. Lagian kamu selalu dapat yang tertinggi,”
Rio menghentikan pijitannya, lalu duduk di samping Deriel. “Nanti aku bantu,”, ujarnya.
Deriel terperangah setengah kaget. “Apa?? maksudnya? kasih contekan?!”
Rio terkekeh mendengar ucapan sahabatnya,”Huss... bukan begitu maksudnya,”, terang Rio. “Nanti kita bisa belajar bareng,”
“Oo....begitu..”, kata Deriel sambil manggut-manggut tertawa.
“Tapi ada syaratnya..,”,potong Rio.
Deriel menyernyitkan dahi terkejut. “Apa?! masak pakai syarat segala?”
“Ya! syaratnya, kamu harus suka sama pelajaran IPA. Karena,  jika kamu membenci IPA, maka kamu akan tetap susah untuk menguasainya,”
Deriel mengangguk mengerti. “Ah, begitu saja?”, katanya ringan. “Gampang..!!”.
*********
Hamparan langit luas terlihat berwarna kemerahan. Di ufuk barat, semburat mentarinya mulai terbenam secara perlahan-lahan. Bayangan pepohonan, dan beberapa rumah terlihat memanjang di atas permukaan tanah dan tampak mulai memudar. Di dalam sebuah bayangan gubug, terlihat pula dua bayangan yang bergerak-gerak.
“Sekarang kamu paham bukan?”, kata Rio sambil menghentikan polesan pulpennya di atas bukunya.
Sambil menatap tajam ke arah coretan yang di buat Rio, Deriel mengangguk paham. Pertanyaannya yang bertubi-tubi mengenai IPA telah terjawabkan oleh Rio. “Kamu ternyata pintar juga yah,”, pujinya sambil terkekeh.
“Pintar karena rajin......”, balas Rio tak melanjutkan.
“Belajar!!”, kata Deriel meneruskan ucapan Rio dengan lantang. Pelajaran IPA yang membebani pikirannya terasa menghilang. Hal itu terlihat dari tertawanya yang sangat lepas.
“Riel, aku pulang dulu yah?”, kata Rio menghentikan Deriel yang masih tertawa. “ Sebentar lagi ayahku pulang, aku harus membantu Ibu menyiapkan makanan untuknya,”
Oke, salam buat bapa dan Ibumu yah,”, balas Rio kemudian.
Lalu dengan sigap, Rio meraih sepedanya, kemudian sambil berlalu meninggalkan Deriel, ia melambaikan tangannya, lalu berkata, “Besok kutunggu! aku pastikan kamu yang akan menggendongku lagi,”
“Lihat saja besok, kawan!,”, balas Dariel dengan teriakan. “Terima kasih..!!”, lanjutnya yang tak yakin ucapannya sampai ke telinga Rio dan hanya berbalas lambaian.
Sesaat setelah Rio menghilang dari pandangannya, Deriel segera mengemasi bukunya. Lalu dengan segera ia sepeda merahnya. Dengan penuh semangat, ia berlalu meninggalkan gubug yang hanya beratap daun alang-alang kering . Gubug yang terletak di belakang sekolah itu sengaja mereka jadikan tempat belajar bersama, karena selain dekat dengan rumah mereka, area di sekitarnya juga sangat indah, dengan tanaman padi yang luas, juga beberapa tanaman lain yang tampak subur.
*********
Meskipun siang sudah menyapa, tetapi udara di sekitar SD Harapan masih terasa sejuk. Beberapa siswa tampak riang bermain kejar-kejaran di taman. Ada juga yang sibuk bercengkrama sambil menyusupkan makanan ke dalam mulut mereka. Tepat di pintu masuk perpustakaan, tampak beberapa siswa berlalu-lalang keluar masuk. Hal seperti ini hampir  menjadi keseharian siswa SD Harapan ketika beristirahat pada pukul sembilan. Sepertinya mereka benar-benar mempergunakan waktu istirahat sekedar untuk menghibur diri setelah lelah menerima pelajaran pagi tadi. Tetapi, lain hal dengan dua sahabat karib, antara Deriel dan Rio yang masih tampak serius berbincang-bincang di sudut ruangan perpustakaan. Tak lupa, dengan sebuah buku yang terbuka lebar di hadapan mereka, yang sudah siap mereka lahap.
“Riel, ulangan IPA tadi oke kan?”, bisik Rio pelan, mengingat mereka sedang di dalam ruang perpustakaan.
Deriel menoleh ke arah Rio, lalu menjawab,”Terima kasih..”
Rio menyernyitkan dahinya tak paham dengan jawaban Deriel, “Maksudnya??”
Yap! sepertinya berkat belajar sama kamu kemarin, ulangan IPA pagi tadi lancar,”
“Wah, bagus kalau begitu,”
“Berarti kamu harus siap-siap menggendongku dong,”, lanjut Deriel sambil nyengir kuda.
Rio membalas sengit ucapan temannya, “Eittss... kayaknya terbalik deh,”
Perbincangan mereka diakhiri dengan deringan bel masuk. Keduanya benar-benar yakin akan hasil ulangan mereka. Sudah pasti, siapa yang kalah dalam persaingan itu harus mendapatkan hukuman gendong.
Di ruang kelas, ternyata bu Sinta sudah terduduk manis. Bolpoinnya tampak menari-nari di atas tumpukan lembaran kertas. Wajah ramahnya tampak serius memantengi tiap lembarannya. Selang tak lama kemudian, senyumnya menghampiri tiap muridnya yang berdatangan. Beberapa anak berusaha membalas senyum bu Sinta berat. Mungkin karena mereka cemas memikirkan hasil ulangan IPA pagi tadi –sebelum istirahat-.
Setelah bangku kelas terlihat penuh, bu Sinta kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan kelas. “Baiklah, langsung saja, bu Guru akan membagikan hasil ulangan,”, katanya mengumumkan.
Ucapan bu Sinta tidak mendapatkan respon apapun. Beberapa muridnya tampak sibuk menggigit kuku cemas, sebagiannya lagi tampak berdoa mengharapkan kebaikan nilai, dan selebihnya terlihat berantusias mengetahui nilai yang akan dibagikan bu Sinta, termasuk Rio dan Deriel.
Setelah beberapa kali pembagian, berikutnya yang tersisa hanyalah nilai Rio dan Deriel.
“Deriel...”, panggil bu Sinta sambil melempar senyum. Segera Deriel memenuhi panggilan bu Sinta, lalu dilihatnya lembaran kertas ulangan yang sudah berukirkan angka delapan puluh dengan tinta merah. “Selamat yah,” , lanjut bu Sinta kemudian. Deriel tersenyum berat. Sepertinya ia tidak merasa puas dengan hasil yang di dapatnya. Wajar saja, karena dia benar-benar lemah dalam pelajaran IPA, pikirnya pesimis.
Di depan kelas, selembar kertas tampak masih digenggam oleh bu Sinta. Senyumnya melebar ketika ia menatapnya. “Rio...”, lanjutnya memanggil Rio. Tanpa berpikir panjang, Rio segera menghampiri bu Sinta. “Selamat.. kamu dapat nilai sempurna,”, ucap bu Sinta Kemudian setelah melihat hasil ulangannya, Rio melompat-lompat kegirangan. Wajah cemasnya benar-benar menghilang.
“Dapat nilai berapa?”, tanya Rio pada Deriel kemudian.
Tanpa menjawab, Deriel langsung menyodorkan hasil ulangannya pada Rio. Melihat wajah murung sahabatnya, rasanya Rio enggan untuk membahas hukuman gendong pada Deriel. Lalu, Rio hanya menyelusuri hasil ulangan Deriel. Disana, ia mendapati sesuatu yang ganjal. Tak lama, Rio kemudian mendekati bu Sinta sambil membawa hasil ulangan Deriel. Di sana diketemukan, bahwa jawaban yang seharusnya benar, belum terhitung oleh bu Sinta. Tapi akhirnya semua itu sudah dibenarkan kembali oleh bu Sinta, tentunya karena ketelitian Rio.
“Riel... nih,”, ucap Rio sambil menghampiri Deriel. Lalu dikembalikannya hasil ulangan sahabatnya.
Sesaat setelah melihat nilai ulangannya kembali...“Horeee!!!”  seru Deriel melompat-lompat kegirangan. Nilainya menjadi seratus, sama seperti nilai yang didapatkan Rio.
Dengan nilai mereka yang sama, seharusnya hukuman gendong tidak diberlakukan. Tetapi dengan bersemangat, mereka justru saling menggendong bergiliran sambil tertawa renyah. Huh, ada-ada saja mereka ini....

oleh Tarmudi
Cerpen anak 4

No comments: