NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Gara-gara Upacara"

Huff...! hari senin lagi, hari senin lagi!, keluh Kokom sambil mengucek-kucek matanya. “Iya mah...”, serunya lagi setelah beberapa kali teriakan mama mendarat di telinganya. Hari senin. Hari yang sangat dibenci oleh Kokom. Harus berangkat lebih awal, karena harus mengikuti upacara. “Ah, pokoknya semua gara-gara upacara!”, ketus Kokom geram. Gara-gara upacara, ia merasa tidak puas dengan tidurnya. Gara-gara upacara, ia meski membawa topi. Apalagi, gara-gara upacara, ia harus rela memanggang badannya di bawah terik matahari, begitu keluhnya lagi.
“Aha!”, seru Kokom lagi menemukan ide. Wajahnya yang lusuh -pagi itu- berubah menjadi ceria seketika. Setelah mandi, sarapan pagi, dan memakai seragam, Kokom berpamitan pada mama. Lalu ia melangkahkan kakinya dengan tegas, tetapi tidak seperti hari-hari biasanya, langkah kakinya kali ini diperlambat. Begitu santainya. “Dengan begini, aku tidak perlu mengikuti upacara, hihii....”, katanya dalam hati. Hingga sampai di pintu gerbang sekolah, Kokom masih saja memperpendek langkah kakinya. Padahal, banyak teman-temannya yang berlarian masuk tak mau ketinggalan upacara pagi itu. Entah apakah ia tidak melihat teman-temannya atau sekedar berpura-pura tidak tahu.
Upacara hari senin segera dimulai...suara keras dari sound sistem menyambut. Setelah memasuki pintu gerbang, dilihatnya barisan teman-temannya di lapangan yang sedang bersiap mengikuti upacara. Satu deretan di barisan guru pun sepertinya sudah penuh. Kemudian Kokom segera menarik ujung topinya ke bawah agar wajahnya tak terlihat. Lalu sambil menunduk dan berjalan berdimit-dimit, ia menuju ke kelasnya. “Yes!”, serunya lagi setelah berhasil memasuki kelas. Setelah itu, segera ia bersembunyi di pojok kelas. Ia tak mau ada orang yang mendapatinya tidak mengikuti upacara. Hingga sampai pada pertengahan pelaksanaan upacara, Kokom masih tidak menyadari akan kesalahannya itu. Tetapi, mendadak wajahnya setengah ketakutan. Dilihatnya dua ekor cicak saling menggigit. Bukan takut karena pertarungan antar cicak, tetapi takut pada cicak yang bisa-bisa jatuh di badannya. Ketakutannya berawal saat setahun yang lalu, ketika Kokom sedang santainya makan keripik singkong sambil menonton televisi. Saking seriusnya menonton televisi, ia tidak menyadari, bahwa ada seekor cicak yang masuk ke dalam keripiknya. Hihihi... akhirnya, setelah kunyahan di mulutnya usai, ia mengambil kembali keripik dalam genggamannya. Tetapi, ia merasakan ada yang berbeda. Tangannya menyentuh benda yang lembek, dan bergerak-gerak. Penasaran, Kokom melihat ke dalam keripiknya. Lalu, dengan cepat cicak itu keluar melintasi tangannya. Sontak, Kokom terkejut dan langsung melemparkan keripiknya, kemudian lari terbirit-birit. Hihihi...
Masih di dalam kelas, Kokom segera bangkit dari tempat duduknya, tak mau pengalaman buruknya dengan cicak terulang lagi. Tetapi sial buatnya, belum sempat ia berpindah, salah seekor cicak jatuh dan..... yap!! cicak itu tepat jatuh di atas topinya. Merasakan hal tersebut,  lalu dengan segera Kokom melepas dan melempar topi dari kepalanya. Lagi dengan wajah setengah ketakutan, ia berlari keluar kelas.
Brukkkk... aww, Kokom sepertinya menabrak sesuatu.
Mendadak, telinganya terasa panas. “Kokom..!??!”, ucap salah seorang yang tak jauh dari Kokom.
“Ampun pak,”, katanya setelah dilihatnya pak Kardi sudah berdiri di depannya sambil menjewer daun telinga Kokom.
 “Ah, kamu lagi, kamu lagi.”, kata pak Kardi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sambil meringis kesakitan, Kokom mengatakan, “Kali ini yang terakhir pak,”
“Tidak bisa. Kamu harus ikut bapak ke kantor,”, jawab pak Kardi menolak alasan Kokom. Sepertinya Kokom tak lagi memiliki senjata ampuh untuk menghindar dari upacara bendera. Beberapa alasanpun sudah ia pakai, tapi sepertinya pak Kardi sudah mengetahui semua gelagatnya. Wajar saja, beliau adalah salah satu pengawas di sekolah. Hampir setiap hari senin ia selalu mendapati Kokom tidak mengikuti upacara bendera dengan berbagai macam alasan. Saat itu dengan penuh pengertian, pak Kardi percaya penuh pada ucapan Kokom. Pernah, Kokom beralasan sakit. Padahal hanya berpura-pura saja. Hari senin berikutnya, ia berpura-pura ke toilet lebih lama karena sakit perut, katanya. Kemudian selanjutnya, ia tidak mengikuti upcara lagi dengan alasan yang sama. Tapi ternyata, dengan santainya ia menyantap tempe goreng di kantin. Kali ini, keberuntungannya sepertinya sudah berakhir. Pak Kokom memergokinya. Sampai saat itu, semua kedok Kokom terbongkar. Lalu ia dihukum untuk berdiri di depan kelas. Tidak jera, Kokom melakukan kesalahannya lagi.
Di kantor, nama Kokom diperbincangkan oleh seluruh guru-gurunya. Di atas kursi empuk pak Kardi, ia duduk. Kata pak Kardi, ada seseorang yang akan menemuinya.
“Kokom..”, kata seseorang mendekat.
“Bu Lia.”, kata Kokom dalam hatinya.
Bu Lia lantas segera duduk disamping Kokom. “Loh, dipanggil bu Lia kok diam saja?”, katanya lagi.
Bibir Kokom bungkam, wajahnya tertunduk lusuh menanggung malu. Bu Lia, guru agama kelasnya yang dikenal sangat baik itu kini ada dihadapannya.
“Bu Lia boleh bertanya tidak?”
Kokom mengangguk.
“Kokom tahu tanggal kemerdekaan Republik Indonesia?”
“Tanggal tujuh belas agustus tahun 1945 bu,”, jawab Kokom lancar.
“Pintar!”, seru bu Lia kemudian. “Kok Indonesia bisa merdeka yah?”, lanjut bu Lia.
“Karena para penjajah dikalahkan oleh perjuangan para pahlawan kita,”
“Wah, Kokom benar-benar pintar yah,”, ucap bu Lia memuji. “Kokom pasti sudah tahu juga, jika pahlawan kita yang gigih itu berusaha untuk mengibarkan bendera kita, sang merah putih, bukan?”
Kokom mengangguk.
“Dahulu, untuk mengibarkan bendera merah putih sangatlah sulit, penuh dengan perjuangan. Tetapi, sekarang. Berkat pahlawan kita, kita tidak perlu bersusah payah untuk mengibarkannya,”
Mendengar perkataan bu Lia, mendadak Kokom teringat satu hal. Mama pernah bercerita, bahwa dahulu, almarhum kakek adalah seorang prajurit Indonesia. Itu sebabnya, mama selalu berusaha membangunkanku lebih awal di hari senin agar aku bisa mengikuti upacara bendera. Kata mama, selain belajar yang rajin, dengan mengikuti upacara bendara, berarti sudah menghormati jasa-jasa para pahlawan, termasuk kakek. Aku bangga mempunyai kakek seorang pahlawan, meskipun aku belum sempat melihatnya.
Ah, jahatnya aku ini, pikir Kokom. Dahulu kakek dan teman-temannya berjuang membela tanah air tak kenal waktu. Kehujanan dan kepanasan selalu mengiringi perjuangan mereka. Apalagi akan kelaparan dan kehausan yang tak jarang mereka dapatkan. Walau hanya dengan bambu runcing, mereka berusaha menyelamatkan tanah Indonesia. Sedangkan aku? tidak pernah mengikuti upacara gara-gara takut kepanasan. Padahal, itu tak sebanding dengan perjuangan para pahlawan, termasuk kakek.
“Bu, Kokom minta maaf..”, kata Kokom sambil meraih tangan bu Lia.
“Loh, kenapa minta maaf?”, kata bu Lia keheranan.
“Kokom mengerti maksud perkataan bu Lia. Kokom memang tidak pernah menghargai jasa para pahlawan. Kokom jahat ya bu?”, tanya Kokom sambil meneteskan air mata. “Kokom jarang mengikuti upacara, selalu saja membuat alasan,”
Bu Lia segera meraih tubuh Kokom, lalu dipeluknya erat. “Ibu Lia tahu, kalau Kokom orang yang baik. Dengan menyadari kesalahanmu, itu sudah cukup menghormati para pahlawan kita. Dan, minta maaf lah sama pahlawan kita dengan mendoakannya, bukan dengan bu Lia. Bu Lia hanya bisa memberikan nasehat. Dan juga mulai senin depan, Kokom harus berubah..”
“Baik bu, itu sudah pasti!”, jawab Kokom riang.
Setelah menyadari kesalahannya, Kokom lebih bersemangat lagi ketika hari senin tiba. Bahkan seringkali ia meminta untuk menjadi pemimpin upacara. Minggu depan tanggal tujuh belas agustus, tepat hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dan sekarang, Kokom sedang sibuk berlatih komando karena ia terpilih menjadi perwakilan sekolahnya sebagai pemimpin upacara. “Aku cinta Indonesia”, kata Kokom mengakhiri penyesalannya

oleh Tarmudi
Cerpen Anak - Gara-gara Upacara

No comments: