NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Sapu Tangan Noni"

Istirahat pertama telah usai. Anak-anak mulai hengkang dari tempatnya bermain di taman, makan di kantin, dan membaca buku di perpustakaan. Tanpa terkecuali, semuanya harus segera masuk ke kelas dan menyambut pelajaran berikutnya. Beberapa anak terlihat terburu-buru sambil berjalan menyayat gorengan tempe yang masih ada di genggamannya. Sedangkan yang lainnya masih asik melanjutkan cerita mereka yang belum usai sambil melangkah ke ruangan kelas. Lala, anak perempuan yang berikat rambut ekor kuda terlihat ceria tak seperti biasanya. Langkahnya yang pasti penuh dengan senyuman sampai pada tempat duduknya.
            Tak lama setelahnya, Ibu Dewi segera membuka jam pelajaran ketiganya. Diraihnya kapur putih, lalu digoreskannya ke atas sebuah papan hitam dihadapannya. Sesekali matanya membaca tiap kalimat yang terukir di atas buku dalam genggamannya. Noni, salah satu siswi perempuan terlihat serius menyalin tiap kata di atas buku tulisnya, sama seperti teman-temannya juga.
“Ah, capek..”, keluh Noni kemudian sambil merogoh kantong bajunya. Rupanya ia ingin mengelap kucuran keringat di keningnya. Sepertinya makanan soto yang sudah dilahap di kantin masih mempengaruhinya, ditambah dengan tulisan bu Dewi yang masih panjang. “Saputanganku...”,ucap Noni dalam hatinya setelah ia tak mendapati saputangannya di kantong. Dari kantong, kemudian dia beralih merogoh ke tas, dan di laci bangkunya. Tetapi ia tetap tak mendapati sapu tangannya.
Mengetahui temannya terlihat kikuk, Sisi, teman sebangku Noni bertanya,”Eh, ada apa?”
“Kamu lihat saputanganku tidak?”, tanya Noni.
Sisi mengangkat bahunya, lalu melanjutkan menulis.
“Duh....”, keluh Noni lagi kesal. Kemudian ia melengos ke arah sampingnya lagi. “Eh, kamu bener tidak melihat saputanganku?”
Merasa terganggu, Sisi lantas mengeluarkan saputangan miliknya. “Nih, pakai saja saputanganku dulu. Aku lagi menulis nih,”, kata Sisi agak kesal.
Noni menolak saputangan Sisi. “Tidak. Aku ingin saputanganku. Titik.”, katanya sambil menunduk kemudian dan menghentikan menulis. Matanya terlihat berkaca-kaca. Lalu segera teringat di kepalanya, bahwa saputangannya bukanlah saputangan biasa. Saputangan spesial dari om Dudi yang dibelinya dari luar negeri. Pokoknya itu bukan saputangan biasa!, kata Noni dalam hati.
“Eh, kamu benar-benar tidak tahu dimana saputanganku?”, tanya Noni lagi penuh selidik.
Sisi berhenti menulis. Telinganya terasa pecah mendengar ucapan teman sebangkunya itu. “Kamu menuduhku?”
“Loh, bisa saja kan?”, tangkis Noni. “Sama siapa aku duduk? kemudian pergi ke kantin sampai kembali ke kelas lagi?? sama kamu kan??”, lanjut Noni kehilangan kesabaran.
“Buat apa coba? aku juga punya saputangan sendiri, dan tentunya lebih bagus dari saputananmu,”, balas Sisi geram.
Tanpa disadari, perdebatan mereka terdengar oleh Ibu Dewi. “Kalian berdua... ada apa?”, tanya bu Dewi menatap Sisi dan Noni. Dengan segera, perhatian anak-anak tertuju pada mereka berdua hingga mengakibatkan tersendatnya pelajaran saat itu. Lalu Noni segera membuka mulutnya dan menceritakan kejadian yang menimpanya. Akhirnya, Ibu Dewi berkata akan membantu Noni untuk menemukan saputangannya setelah anak-anak selesai menyalin tulisannya.
Tak lama kemudian, bu Dewi keluar kelas, dan kembali dengan segelas air putih di genggamannya, lalu mengumumkan kejadian yang dialami oleh Noni. “Tahukah kalian? bahwa mencuri ataupun mengambil barang orang lain adalah dosa besar, dan tentunya kalian akan masuk ke neraka,”, kata bu Dewi.
Tak ada satupun suara yang masuk. Anak-anak mengangguk membenarkan ucapan Ibu dewi. Tetapi berbeda dengan Lala, wajahnya yang sebelumnya ceria menjadi sedikit kaku. Wajahnya menunduk dan sorotan matanya tertuju pada lubang kantong di bajunya. Sebuah lembaran kain berlipat yang indah, berhiaskan bunga-bunga dan beraroma harum. Berikut, saputangan itu, tak pernah ia lihat sebelumnya. Saputangan yang ia temukan di kantin itu ingin sekali ia miliki. “Tetapi apa mungkin itu milik Noni?”, katanya dalam hati. Lala diam sejenak, dan.... “Ah, saputangan ini milikku,”, akunya dalam hati. Sepertinya saat itu setan sedang bersama Lala, hingga ia tak perduli dengan ucapan bu Dewi.
“Baik, kalau tidak ada yang mengaku, Ibu minta kalian meminum air yang sudah dibacakan doa. Dan siapa yang mencuri, pasti bakalan kena akibatnya,”, lanjut bu Dewi menakut-nakuti.
Dag..dig..dug... jantung Lala semakin berdegup kencang. Ucapan Ibu Dewi kali ini, mengingatkan Lala pada ucapan ayahnya. Jika seorang pencuri yang meminumnya, perut akan berubah menjadi gendut. Ohh.. tidak!, Lala gusar. Lain hal dengan teman-temannya, yang mengangguk yakin menyetujui ucapan Ibu Dewi. Sedangkan, setan tampaknya masih terus menguasai otak Lala untuk terus-terusan berbuat dosa.
“Giliran kamu,”, kata teman disamping  Lala sambil menyodorkan segelas air putih.
 “Bu.. saya sedang berpuasa hari ini,”, kata Lala berpura-pura. Ternyata, bu Dewi mempercayai penuh ucapannya. Pikir Ibu Dewi, seseorang yang berpuasa tidak mungkin berbohong.
Setelah semuanya selesai, tak seorangpun yang mau mengaku. Kemudian Ibu Dewi berkata lagi, “Ibu minta kalian berdiri semua, kemudian mengikuti kata-kata ibu, jika benar-benar bukan kalian pencurinya. Dan perlu kalian ketahui, dengan kejujuran, pasti malaikat akan bersama kalian kemanapun kalian pergi. Tetapi sebaliknya, jika kalian berbuat kebohongan, kalian akan bersama setan di saat berbohong kemanapun kalian pergi, dan tentunya di akhirat nanti, setan akan membawa kalian ke dalam neraka,”. Lagi-lagi Ibu Dewi menakut-nakuti.
Tak sedikit dari anak-anak dibuat merinding oleh perkataan Ibu Dewi.
“Kalian mau menjadi teman setan?”, lanjut Ibu Dewi
“Tidak.....”, jawab anak-anak kompak.
Lala. Mendadak kakinya bergetar, hingga tak mampu berdiri tegak. Keringat dinginnya mengucur dari keningnya, meski beberapa kali diusap dengan tangannya, tetapi tetap saja mengalir.
Anak-anak sudah berdiri bersiap untuk bersumpah. Sedangkan Noni terlihat antusias ingin segera mendapatkan saputangannya. Tapi tiba-tiba......
Tetttttttttt....... bel istirahat kedua datang. Lalu, Ibu Dewi menunda sumpah dari anak-anak, hingga ia memutuskan untuk melanjutkannya setelah istirahat nanti.
****
            Di kantor, Ibu Dewi yang sedang sibuk menulis sesuatu di datangi oleh seorang perempuan berwajah muram.
“Bu...”, sapa perempuan itu menghentikan tulisan bu Dewi. Perempuan itu mendekat, lalu menarik nafas panjang, dan berkata, “Bu, sebenarnya saputangan Noni ada pada saya. Tetapi saya tidak mencurinya. Saya menemukan saputangan itu di atas meja kantin. Saat itu saya tidak tahu kalau itu milik Noni,”
Mendengar pengakuan perempuan yang bernama Lala itu, Ibu Dewi tersenyum, lalu berkata,”Ibu sudah tahu,”
Lala terkejut, mendadak tak tahu apa yang harus diperbuatnya selain mengeluarkan saputangan itu dari kantongnya. “Ini bu...”, katanya gugup. “Dari mana Ibu Dewi tahu, jika saputangan Noni ada padaku?”, Lala bertanya-tanya dalam hatinya.
“Ibu bangga sama Lala,”, lanjut bu Dewi. “Ibu bangga karena Lala sudah berbuat jujur, meski di kelas tadi, Lala tidak berani mengakuinya. Ibu tahu, mungkin Lala malu dengan teman-teman. Tetapi, sekali lagi, kejujuran itu memang harus dikatakan, meskipun itu pahit. Karena itu bisa menyebabkan fitnah pada orang lain yang tidak melakukannya,”
“Benar sekali...!”, kata salah seorang –dari arah belakang- menyambung ucapan Ibu Dewi.
Mendengar suara yang tak asing, Lala menengok ke belakang. Dilihatnya Noni dan Sisi. Kemudian, Lala segera memeluk mereka dan dengan penuh penyesalan, ia mengakui semua perbuatannya. Karena ketidakjujurannya, Sisi dituduh Noni. ugh, aku benar-benar jahat, kata Lala dalam hatinya.
Saputangan itu masih di genggaman Lala. Lalu dengan senyuman, ia mengembalikannya ke Noni. “Ini saputanganmu, aku minta maaf.... dan jangan khawatir, saputanganmu belum sempat kupakai,”, kata Lala.
Segera saputangan itu berpindah tangan. “Seharusnya, aku yang mengucapkan terima kasih padamu,”, kata Noni. “Coba deh, kalau saputanganku yang tertinggal di kantin ini diambil orang lain, pasti aku tidak bisa mendapatkannya kembali...”
Lala kembali memeluk Noni dan Sisi. Sedangkan bu Dewi tersenyum bahagia melihat kebahagiaan ketiga muridnya. “Sekarang, kamu menjadi sahabat terbaiku, sama seperti Sisi...”, lanjut Noni sambil menyapukan saputangannya di kening Lala. Mendengar ucapan Noni ditambah merasakan lembutnya saputangan itu, Lala tersenyum ceria.
“Eh, ke kantin yuk, aku traktir..”, sela Sesil. Lala dan Noni mengangguk setuju.
Ketika mereka bersemangat berjalan keluar ruangan bu Dewi, tiba-tiba....
“Tunggu!”, cegah bu Dewi menghentikan langkah mereka kemudian.“Bukannya Lala sedang berpuasa?”, tanyanya dengan tertawa. Yah, padahal kan Lala Cuma berpura-pura, hihii..
Sontak, suasana ruangan bu Dewi mendadak bergemuruh penuh tawa

oleh Tarmudi
Cerpen Anak - Sapu Tangan Noni

No comments: