NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Aku Soekarno Kecil"

“Tino.. bangun, sudah siang,”, seru mama membangunkanku. Aku tak mau bangkit dari tempat tidurku. Hari itu adalah tanggal 17 Agustus. Tepat di hari Kemerdekaan negara kita tercinta, Republik Indonesia. Mungkin semua orang merayakannya dengan suka cita. Tetapi berbeda denganku yang harus berdiri di atas panggung di depan puluhan pasang mata teman-teman. Ya, Pak Joni, wali kelas lima menunjukku untuk menjadi peserta lomba Soekarno Kecil. Entah apa yang ada di pikiran pak Joni yang memilih anak yang dikenal pendiam dan pemalu ini. Bahkan di kelas, aku selalu dipanggil ‘si bisu’. Aku malu, aku takut mereka mentertawakanku di atas panggung nanti. Aku juga takut mengecewakan pak Joni dan tentunya, nama sekolah bakal menjadi taruhannya. “Pak, saya tidak mau.. tidak bisa,”, begitulah alasanku untuk menolak. Tetapi pak Joni selalu memaksaku dan meyakinkanku bahwa aku pasti bisa. Akhirnya, dengan terpaksa aku mengikuti kemauan pak Joni. L
“Mah.. hari ini Tino tidak enak badan,”, ucapku sambil menarik selimut menutupi wajahku. Mungkin dengan begitu, aku bisa terbebas dari bayang-bayang teman-teman yang menertawakanku.
“Tino, Pak Joni tadi menelpon. Katanya, kamu sudah siap belum?”, kata mama membuka selimutku pelan.
Aku merapatkan selimut lagi. “Bilang saja, Tino lagi tidak enak badan mah...”. Sepertinya mama mendengarkan omonganku. Kurasakan dia berlalu dari kamarku. Untuk mengikuti lomba Soekarno kecil bukanlah hal yang mudah untukku. Siapa sih yang tidak kenal dengan bapak presiden yang pertama itu? Tentu saja bukan seperti aku yang pendiam dan penakut. Dan sudah pasti bukannya terkesima mendengar naskah proklamasi yang aku bacakan, malahan mentertawakanku. Aku benar-benar takut!
“Tino.. Pak Joni sebentar lagi ke sini,”, kata mama lagi yang sudah memasuki kamarku lagi.
Terkejut, segera aku bangkit dari tidurku. “Apaaaa..?!”, kataku setengah panik. Pak Joni bakalan tahu kalau aku hanya pura-pura sakit. Dan pasti akan kecewa denganku, pikirku saat itu.
“Loh, memangnya kenapa?”, kata mama menyernyitkan dahi. “Pak Joni cuma ingin menjengukmu,”
“Mama, tolong bilang sama pak Joni, tidak usah ke sini. Tino bakalan berangkat,”, balasku sambil berlari menuju kamar mandi. Dengan wajah setengah bingung, mama mendengarkan ucapanku.
Beberapa menit berlalu, kulewati waktu untuk mandi sampai memakai seragam merah putihku. Di atas kasur, aku terduduk dengan perasaan yang benar-benar bingung dan cemas. Kenapa semua ini terjadi padaku? Kalau aku mundur dari Lomba Soekarno Kecil, sudah pasti aku tidak akan ditertawakan di atas panggung nanti. Tetapi pak Joni bakalan kecewa dan tentunya nama sekolahku menjadi taruhannya, pikirku lagi.
“Kamu ini kenapa?”, ucap mama yang ternyata sudah kembali lagi. “Kamu pura-pura sakit ya?”, tanya mama mulai mendekat.
Aku mengangguk pelan.
“Kenapa?”, tanya mama penasaran.
“Tino takut mah...”
“Takut kenapa? Ikut Lomba Soekarno kecil?”, ucap mama lagi.
“Kok mama tahu??”, tanyaku heran.
Mama melempar pandangan tepat di bawah sebuah cermin. Astaga! ternyata aku lupa merapikannya. Naskah teks proklamasi itu ternyata masih di sana. Ya, semalam aku berlatih membacakan teks proklamasi itu di depan cermin, itu saran dari pak Joni agar aku bisa tampil percaya diri. Tetapi, apa yang dikatakan pak Joni sepertinya sangat tidak berarti. Bahkan, perasaan takut masih saja menggelayuti pikiranku.
“Kamu belum hafal teks proklamasinya?”, tanya mama sambil mengelus rambutku pelan.
Aku menggeleng.
“Terus??”
“Takut ditertawakan teman-teman,”, balasku sambil menunduk.
“Loh, kenapa? seperti waktu kelas satu dulu?”
Aku mengangguk kembali. Ternyata mama masih ingat kejadian burukku di kelas satu. Teman-teman mentertawakanku saat aku bernyanyi di depan kelas. Sejak saat itu, aku benar-benar kehilangan percaya diri. Sejak saat itu pula, aku menjadi takut untuk berbicara, dan lebih memilih diam. Itu sebabnya teman-teman kemudian memanggilku ‘si bisu’.
“Tino, itu kan waktu kelas satu? sekarang kamu sudah kelas lima. Kamu harus berani dan percaya diri. Kamu juga harus membuktikan kalau kamu bisa...”, tegas mama mendukungku. “Kamu tahu bapak Soekarno bukan?”, lanjut mama.
Aku menarik nafas panjang dan mendengarkan ucapan mama yang membuatku mulai menemukan keberanian. “Bapak Soekarno? Beliau bapak presiden yang tangguh, cerdas, tegas, dan berani dalam membela tanah air,”, jawabku sambil sesekali menatap mama.
“Nah, itu benar. Kalau Tino jadi bapak Soekarno, tidak mungkin kan membaca teks kemerdekaan  Indonesia dengan gugup dan ketakutan?”
Aku mengangguk setuju dengan ucapan mama.
“Kalau kamu berani, pasti teman-temanmu tidak lagi memanggilmu dengan sebutan ‘si bisu’, iya tidak?”, kata mama terkekeh kecil sambil memencet hidungku lalu menggoyangnya pelan.
“Hah?! dari mana mama tau kalau aku itu...”, tanyaku tak melanjutkan. Heran sekali, pikirku. Setahuku, tidak ada yang tahu kalau aku dipanggil ‘si bisu’, kecuali teman-teman sekelas. Aku benar-benar malu kalau mama mengetahui hal ini.
“Mama tahu dari pak Joni. Itu alasan kenapa beliau memilih kamu, katanya, kamu sebenarnya anak yang pemberani,”, timpal mama lagi meyakinkanku.
Entah apa yang harus aku lakukan. Perasaan malu pada mama tentangku yang di panggil ‘si bisu’ , ditambah perasaan senang dan semangat bercampur menjadi satu. Aku hanya bisa memeluk erat mama. “Terima kasih mah...”
*********
Di atas panggung yang berhiaskan bendera merah putih, sudah melewatkan puluhan peserta Lomba Soekarno kecil dari perwakilan berbagai sekolah. Beberapa diantara mereka terlihat percaya diri membacakan teks proklamasi dengan gaya seperti Bapak Soekarno, meskipun sesekali mereka lupa dengan isi teksnya. Tetapi, penampilan mereka dengan penutup kepala, kemeja dan sepatu sepertinya menghipnotis penonton. Alhasil, penampilan mereka selalu diakhiri dengan tepuk tangan.
Di kursi peserta yang berderet, hanya tersisa tiga orang, termasuk aku. Menjadi peserta penutup adalah hal yang paling menegangkan. Semua perhatian akan benar-benar tertuju padaku. Sesaat pikiranku tentang ‘si bisu’ muncul tiba-tiba. Tetapi dengan penuh keyakinan, aku menutup mata dan mengingat kata mama. Aku adalah seorang Soekarno kecil. Aku harus benar-benar menjadi sosok seperti beliau. Tegas, berani dan semangat!.
“Peserta yang terakhir, dari SD tunas Bangsa. Kita sambut Tino...!!”, suara menggelegar memenuhi ruangan. Tubuhku mendadak lemas. Keringat dingin mengucur deras di keningku. Aku masih terduduk tak mau bangkit dari tempatku.
“Tino..??”, suara dari sound sistem memanggilku kembali,
Entah kenapa nyaliku mendadak menciut. Kakiku tak bisa digerakkan. Dalam setengah kecemasan, tiba-tiba seseorang menepuk punggungku.  “Tino... pak Joni percaya, pasti kamu bisa! kamulah Soekarno kecil itu!”, timpal pak Joni meyakinkanku. Aku mulai menarik nafas panjang, lalu bangkit dan berjalan mendekati panggung. Sesaat ketika beberapa tangga panggung kutapaki, suara ruangan tiba-tiba menggelegar. Antara tawa dan tepukan tangan bercampur. Terkadang suasa sumbang memanggilku ‘si bisu’ mendarat di telingaku, tapi terlanjur aku melangkahkan kaki, tak bisa lari.
Duk..duk..duk.. aku mengetuk mikrofon yang sudah di depan bibirku. Entah kenapa, suara itu sepertinya membungkam suara yang lain. Yah, suasana ruangan menjadi sunyi seketika. Tak bisa dipercaya, sekarang aku benar-benar sedang berdiri di depan puluhan pasang mata. Di deretan depan kursi penonton, terlihat bapak dan ibu guru dari lain sekolah yang tengah menatapku tajam. Di deretan belakang, sudah pasti anak-anak berpakaian merah putih dengan mata terbelalak terlihat siap memasang telinga untuk suaraku. Lalu tepat pada deretan SD Tunas bangsa, beberapa dari mereka tengah menggigit jari dan mengaitkan telapak tangan. Wajah mereka terlihat mencemaskanku. Di samping mereka, kulihat sosok pak Joni yang tersenyum menatapku sambil mengacungkan jempolnya untukku. Penjelajahan mata kuhentikan, kemudian kualihkan pada teks proklamasi di hadapanku. Meskipun sudah hafal, tetapi aku harus benar-benar berpenampilan seperti bapak Soekarno. Tegas, lantang dan penuh semangat. Aku menarik nafas panjang, lalu menutup mata dan berdoa. Di sana, kuingat pesan mama dan pak Joni. Aku bukanlah ‘si bisu’, tetapi akulah Soekarno kecil. Aku pasti bisa!!
 
Lalu aku mulai membuka katup mataku perlahan. Jantungku yang berdebar kencang, mulai mampu kukendalikan, hingga bibirku yang bergetar sudah sanggup aku kuasai, sampai pada tanganku yang masih menggetarkan teks proklamasi, bisa tertahankan.


PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekoesaan d.l.l,
diselenggarakan dengan tjara seksama dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnja,
Djakarta, 17 boelan 8 tahoen ‘45
atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
 


Tino.....!!!!!! teriakan membahana memenuhi telingaku sesaat setelah aku selesai membacakannya. Tepukan meriah merayap di telingaku. Aku tak percaya bisa  melakukannya. Dan hingga sampai pada turun dari panggung, aku disambut oleh pak Joni. “Hebat!”, katanya sambil mengangkat jempol. Aku tak peduli akan hasilnya nanti, yang terpenting adalah aku bisa membuktikan kalau aku bisa, dan sudah berusaha melakukan yang terbaik.
Selang setelah penghentian beberapa menit waktu untuk penjurian, saat-saat yang ditunggu-tunggu tiba. Apalagi kalau bukan pengumuman pemenang perlombaan.
“Berdasarkan keputusan dewan juri, maka dengan ini bisa ditentukan sebagai juara Lomba Soekarno kecil,”, kata pembawa acara di atas panggung.
“Juara tiga di raih oleh Sandi Maulana dari SD Mulawarman. Juara kedua di raih oleh Dika Irawan dari SD semesta,”, lanjutnya disusul dengan tepukan meriah. “Dan Juara pertama diraih oleh....”, ucapnya lagi sengaja menunda. Sesaat Tepukan itu semakin mengecil. Tino...!! Budi..!! Delon..!! teriakan penonton menyusul kemudian menebak-nebak sang juara Soekarno kecil. Bagiku, keberanianku adalah segala-galanya. Entah siapa yang menjadi pemenangnya, pikirku puas.

“Soekarno kecil diraih oleh siswa dari SD Tunas Bangsa!!”. SD Tunas Bangsa? itu...aku!. Yah, aku menjadi pemenangnya. Aku tak percaya. Tino..!! teriakan itu membahana langsung menyambutku. Lalu seseorang menyodorkan sepucuk kertas bertuliskan  coretan “si bisu”  dan diganti dengan “Soekarno kecil”. Senangnya.

Tino si Bisu Soekarno Kecil

oleh Tarmudi
Cerita Pendek Anak 5 

No comments: