NavBar

Tuesday, May 12, 2015

Titik Terakhir - Guruku



Memasuki jam ketiga, Satrio, dengan cepat menghapus seluruh coretan yang bersarang di atas papan hitam. Coretan yang tak begitu indah, namun syarat makna. Sesekali kuperhatikan, mulutnya komat-kamit tiap mulai meleburkan ukiran debu putih dihadapannya itu. Bahkan tak jarang, ia sengaja menghentikan diri, lalu melongok ke coretan sebelahnya. Tak lama, ia manggut-manggut seolah-olah ada yang mengajaknya bicara. Lalu ia segera menghapus coretan kapur di hadapannya kembali.
Bukan hanya Satrio, yang saat itu memang petugas piket. Tapi, hampir semua teman sekelas melakukannya dengan cara yang sama. Mereka pikir, terlalu sayang, jika coretan yang dibuat oleh Ibu Kiki terbang mengabu begitu saja.  Hingga satu hal yang sering aku perhatikan, yakni sebuah titik yang tertinggal. Sebuah titik yang selayaknya menjadi saksi akhir dari permainan bersama kimia.
***
Masih tersimpan dengan rapi semua memori mengesankan bersama beliau. Terutama pada jam pertama dan kedua di hari selasa. Mendengar nama kimia saja, rasanya menjadi hari yang sangat menyeramkan. Bayangkan saja, suasana pagi yang segar, sudah dicekoki dengan materi yang begitu sangar. Di mata teman-teman juga, mungkin sosok Ibu Kiki menjadi momok yang sangat menakutkan. Guru yang berjasa dibalik pelajaran kimia itu bahkan tak jarang meletupkan suaranya hingga membuat keadaaan kelas menjadi tenang seketika. Ya, tenang dalam ketegangan.
Pagi itu, tak seorangpun yang berani datang terlambat, meski sedetik. Anehnya, ini hanya terjadi pada pelajaran kimia. Jelas, lontaran pedas yang diucapkan Ibu Kiki tak seorangpun yang mau menerimanya.
“Kenapa kamu telat?”, tanya beliau dengan penuh letupan. “Kamu mau jadi apa?”, lanjutnya lagi. Biasanya, siapapun yang menerima pertanyaan dari Ibu Kiki, hanya berbicara sedikit, “Maaf bu..”, tentunya dengan nada yang meliuk gemetar.
“Sudah. Besok, kalau pas pelajaran saya datang terlambat lagi, kamu mending keluar. Tidak usah ikut ulangan juga, apalagi tanpa alasan yang tidak jelas!”, ucap beliau lagi menjejal. “Kamu ini bisa mengganggu yang lainnya, tau tidak??”
Seperti sebuah tradisi, mereka yang mendapati ini, langsung menunduk pasrah, lalu hati berkobar berorasi untuk merubah diri. Terbukti nyata, hampir setiap pelajaran kimia menjadi jam yang pertama, siapapun yang pernah dicap sebagai anak siang, berangkat lebih awal, entah dengan kondisi mata yang masih tampak sayu, ataupun rambut yang tak begitu rapi tersisir. Di lain hari, diluar pelajaran kimia, entahlah. Kebiasaan si anak siang kembali seperti semula.
Antara kegarangan dan ketegasan memang tidak dapat kami bedakan terhadap sosok Ibu Kiki. Justru antara hidup dan matipun, sepertinya kami enggan membedakannya, meski hanya menyebutkan satu saja. Bagi kami, pelajaran kimia adalah hal yang paling terpenting. Meski harus berkali-kali memutar otak, hingga tiba-tiba memanas begitu saja lalu merontokkan benih-benih keceriaan di pagi hari.
Tubuhnya yang tinggi semampai berdiri di depan kami. Sambil menyebarkan pandang, ia melempar senyum ramah pada murid yang dididiknya-kami.
“Selamat pagi..”, sapanya.
Seperti biasa pula, sapaannya berbalas lusuh, “Pagi bu..”, kami kompak.
Sebuah intermezo pun dilemparkan beliau untuk kami. Beliau bercanda, memuji beberapa muridnya, kemudian disusul dengan gelak tawanya. Sedangkan kami, harus sedikit meringis mengirit energi akan leluconnya. Setelah sedikit intermezo, beliau lalu membuka buku materi yang akan disampaikan. Tak lama, beliau lalu mencermatinya sambil duduk di atas kursinya.
“Fandi tolong bacakan halaman tiga puluh dua...”, perintahnya sambil membenarkan posisi kacamatanya yang melorot.
Fandi, temanku, tentu dengan segera membuka halaman yang dimaksud. Kemudian dengan lantangnya ia membaca, meski dengan suara yang meliuk-liuk bak kaset pita yang molor. Sedangkan gerakan matanya tampak setia mengikuti gerakan jari telunjuknya yang berjalan mengikuti tiap susunan kata yang berderet menjadi sebuah kalimat, kemudian paragraf. Selesai.
“Fandi, coba sekarang tutup bukunya, terus terangkan lagi apa yang dimaksud dengan Ion, Molekul, dan senyawa yang barusan kamu baca.”, berondol Ibu Kiki melabrak otak Fandi. Tak elak, tantangan yang didapatnya membuat badannya setengah kaku. Lalu sembari menutup bukunya, ia menerawang ke langit-langit mencoba mengingat. Hal ini menjadi agenda rutin yang kami dapatkan secara bergulir. Ada yang grogi setengah nyawa, ada juga yang enteng menjawab dengan ringan, karena sebuah persiapan yang sudah dilakukan. Pada setiap pertanyaan yang terlontar, hampir seluruh muridnya terperanjat hebat. Dan tanpa komando pun, kami langsung berkomat-kamit menghafal jawaban yang mungkin akan dilontarkan ke lain pihak. Dahsyat!
Sebuah guratan yang dihidangkan oleh Ibu Kiki sangat kontras dengan mimik kami yang memerah padam. Senyum beliau terlihat menyebar melihat gelagat dan ekspresi yang kami tuangkan.
“Baguss.. pinter....”, pujinya pada siapa-siapa yang mampu menjawab pertanyaannya. Lega.
Tak lama setelah itu, beliau bangkit dari tempat duduknya, kemudian pada sebuah papan tulis ia mulai menggerakkan kapur putih mengukir angka. Tulisannya terbilang singkat, padat, ringan dan jelas. Demikian dengan setiap penjelasan yang dilontarkannya, selalu menjurus pada hal yang sebenarnya sulit, namun dibuatnya lebih mudah. Kami, dengan seksama memperhatikan dengan jeli setiap goresan yang terangkai jelas di depan mata. Lemparan pertanyaan selalu beliau berikan untuk kami yang kepergok tidak memperhatikannya. Sepanjang penjelasannya pula, kami dilarang menyentuh sebujur pena. Jika satu saja melanggar, tentu, akan semakin banyak lontaran pertanyaan yang menyerbu kepala.
Pada penjelasan terakhirnya, tak pernah terlewatkan pula saat beliau memberikan waktu pada kami untuk bertanya. Di sini, sedikit sekali yang memiliki nyali. Hingga akhirnya, kembali beliau menunjuk beberapa dari kami untuk maju ke depan kelas, kemudian mengerjakan soal yang akan beliau berikan. Seperti biasa, keadaan menjadi kalang kabut.
Tak butuh waktu yang singkat memang, untuk memahami dalam pelajaran kimia khususnya. Tetapi seperti sudah terancang dengan rapi, Ibu Kiki menunjuk satu dari kami untuk bisa menjelaskan ataupun memaparkan kembali apa yang telah beliau jelaskan kepada murid-muridnya. Tentu dengan bahasa yang lebih halus, penuh rasa persahabatan. Hal tersebut tentunya tidak diberikan secara Cuma-Cuma. Guru kita yang berkacamata ini juga selalu memberikan sedikit ceklist pada nama muridnya yang berani tampil ke depan kelas. Seperti uji nyali, banyak dari kami yang mau mau ragu. Tetapi tak sedikit pula yang berani menjelaskan materi secara terperinci, meski dengan segerompolan peluh di dahinya, ataupun jemari yang bergetar, serta suara yang tersendat-sendat.
Bel pergantian pelajaran berdering, beliau tidak pernah absen untuk memberikan tugas kepada kami, kemudian perintahnya untuk membaca materi berikutnya.
***
Dari dalam ruang kelas, beberapa dari kami terlihat panik sambil menulis apa yang dihadapan kami. Ya, terkadang kami tidak menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Bisa dikatakan kemampuan kami terbatas. Tapi bagaimanapun itu, ditengah gurun pasir yang tandus selalu ada oase yang mencegah dehidrasi, membasahi tenggorokan. Pasti dua atau tiga orang dari kami selalu menjadi harapan yang selalu menyala sepanjang waktu.
“Eehhh.. ada ibu Kiki!”, bisik siapa saja yang melihat kepala menyembul naik turun dari balik jendela kaca kelas. Jelas sekali, itu bu Kiki! Dari bentuk kepalanya yang terbungkus kain halus saja sudah kentara. Apalagi... suara celetukan sepatunya yang semakin mendekat. Buru-buru kami kembali ke tempat masing-masing, lalu berharap-harap cemas. Ada yang terlihat sumringah sudah pasti, mengingat tugas yang sukses tergarap dengan sempurna.
Seperti biasa, Ibu Kiki berbicara sambil menyebar senyum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tugas. Beliau meminta kami untuk maju dan membahas setiap tugas satu-persatu. Siapapun yang maju, sudah pasti memasang wajah yang berbinar-binar, karena sudah selesai mengerjakannya. Tapiii.... tunggu!
“Kalian kalau maju tidak usah membawa buku tugas. Cukup ditulis diketahui, kemudian dijawab, dan terangkan pada yang lain!”, terangnya menyentak sanubari.
Dunia serasa hendak runtuh. Mereka yang terlanjur menempel pada papan hitam mendadak kaku. Wajah yang berbinar? Mendadak mengkerut.
Hampir saben tugas, kami tidak bisa menyelesaikan satu dua pertanyaan. Lalu dengan semangatnya beliau mengukir tiap lambang senyawa kimia dengan beberapa angka. Ukirannya sangat jelas. Tebal, bahkan lebih tebal dari ukuran biasanya dan terlihat lebih besar. Sedangkan kedua bola matanya terlihat jeli menatap puluhan pasang mata di depannya. Hingga kemudian ukirannya berakhir dengan suara ketukan keras. Dan setelah kulihat, itu tanda titik.
***
Ulangan harian. Layaknya sebuah kereta, kami mengerjakannya dengan penuh keyakinan. Betapa tidak? Ingatan itu... ya, paling tidak membekas di dalam otak. Beberapa soal yang diajukan pun tak jauh beda dari yang beliau paparkan. Semuanya terekam secara sempurna, meski terkadang harus menggigit ujung pulpen untuk mengoreknya, ataupun dengan menggaruk rambut, agar semua ingatan terbuka sempurna, kami bisa melakukan itu semua.
Hingga pada hasil akhir yang menentukan. “Ini dia, yang ibu inginkan!”, katanya sambil bedecak kagum pada hasil yang kami peroleh. Meski tak secara keseluruhan. Titik terakhirnya, menyentak, hingga membekas sampai pada ingatan yang takkan pernah berbekas, dan selalu ada tentangnya.
***
Beberapa bulan kemudian, Senin, diatas sebuah podium Kepala Sekolah Negeri 3 Slawi berdiri dengan penuh senyu semangat. Kedua tangannya tampak kuat membentang sebuah stopmap berwarna merah jambu. Kumisnya yang tebal terlihat mulai mendekat pada sebuah mikrofon.
“Anak-anakku yang saya banggakan. Bapak di sini ingin memberikan ucapan selamat kepada putra-putri sekolah kita yang tercinta, yang telah memenangkan perlombaan atau olimpiade yang diadakan satu minggu yang lalu. Bagaimanapun, kita harus berbangga pada mereka yang sudah mengharumkan nama sekolah kita.”, tukas pak Susono menggema. “Juara Tiga Olimpiade Matematika oleh Dwi Agus... Juara Tiga Olimpiade Komputer oleh Opik...”, demikian ak Susono beruntun membacakan. Lautan remaja berbaju putih abu-abu tampak antusias mendengarkan. Dan semakin antusias, ketika yang ditungu-tunggu itu datang... “Juara pertama Olimpiade kimia, diraih oleh Dayat..”
Tepukan meriah menyusul dengan cepat. Semakin meriah tepukannya, hingga mengantarkan langkah sahabat berprestasi kami, terkhusus Dayat hingga sampai di hadapan pak Susono. Pada deretan para pahlawan di depan kami, terlihat senyum yang mengembang dari seorang Ibu Kiki. Kacamatanya berkerlip memantulkan cahaya yang berpendar, entah dari mana. Bahagia!
 “Beliau telah membimbing saya dengan penuh kesabaran dan semangat. Beliau juga mengajari saya bagaimana caranya menjadi siswa yang unggul. Kerap kali saya melakukan kesalahan, beliau menegur saya, tapi dengan cara yang berbeda. Yang kutahu, itu cambuk, cambuk agar saya percaya, semuanya bisa. Dan ini semua terjadi.... Terima Kasih Ibu Kiki..”, kata Dayat berseloroh.
Antara ketegasan dan kegarangan adalah dua hal yang berbeda. Tapi kebanyakan insan menganggapnya sama saja. Padahal jika diruntut, sebuah ketegasan selalu berdasarkan pada alasan dan tujuan yang kuat yang bisa memberikan suatu hasil yang lebih baik, bahkan memuaskan. Sedangkan kegarangan hanyalah subuah emosi yang meletup-letup yang tidak anda kemanfaatannya sama sekali. Dan pada akhirnya, kami mengerti. Titik.

No comments: