NavBar

Monday, May 11, 2015

Cerita Pendek Anak "Pak Taka dan Layang-layangnya"

Belakangan ini wajah Pak Taka tampak murung. Tidak seperti dulu, saat pertama kali berjualan layang-layang. Kini, di samping lapaknya, berjajaran layang-layang yang lebih beraneka warna. Lain hal dengan barang dagangnnya, yang hanya berlapis kertas putih polos. Saat itu juga ,pembeli di lapak pak Taka semakin sepi, meskipun harga dagangannya sudah diturunkan. Tetapi hasilnya sama saja.
Dengan wajah penuh asa, pak Taka pulang ke rumahnya. Hari itu tak seperserpun uang yang didapatnya. Padahal, dari dulu, hidup keluarganya hanya bisa bergantung pada barang dagangannya, layang-layang..
“Ah, kalau begini terus, mau makan apa besok nanti?”, keluh Pak Taka sambil merebahkan tubuhnya di atas lantai. Matanya menatap langit-langit rumah, sambil sesekali gerakan telapak tangannya mengipas di area wajahnya terasa panas karena terik saat berjualan seharian tadi.
“Papa..!!”, seru salah seorang anak mendekati pak Taka kemudian.
Segera Pak Taka bangkit menyambut Jaka, anak satu-satunya itu.
“Papa... Jaka lagi menggambar,”, kata anak Pak Jaka yang baru duduk di kelas satu ini.
Sambil menyembunyikan wajah lelahnya, pak Taka tersenyum lebar, lalu bertanya, “Mana??”
“Di kamar,”, jawabnya ceria. “Sebentar ya pa..”, katanya lagi sambil meninggalkan pak Taka sendiri.
Entah ketika melihat Jaka, pak Taka selalu merasa terhibur oleh keceriaannya. Apalagi Jaka selalu membuat bangga pak Taka. Terakhir dikabarkan, Jaka mendapatkan juara satu di kelasnya. “Aku harus semangat!”, ucap pak Taka dalam hatinya. Yah, ia ingin melihat Jaka, anaknya bisa bersekolah seperti anak-anak yang lainnya. Ia tak ingin jika Jaka kelak menjadi seperti dirinya, seorang penjual layang-layang. Pernah suatu ketika, saat ditanya pak Taka tentang cita-cita Jaka. “Jaka Ingin menjadi penjual layang-layang pa..”, begitu kata Jaka dengan polosnya.
Mendengar ucapan anaknya, lantas pak Taka bertanya kembali, “Loh, kok bisa?”
“Jaka ingin seperti papa. Dengan layang-layang, hidup papa, Jaka, dan mama bisa bahagia selamanya,”
Deg! saat itu pak Taka tak bisa berbicara lagi. Bibirnya mulai bergetar, nyaris tak mempercayai perkataan anaknya. Begitulah pak Taka. meskipun susah, tetapi ia berusaha menunjukkan rasa bahagianya. “Jaka tidak mau menjadi polisi? atau dokter?”, tanya pak Taka lagi sambil menyeringai.
Tanpa menjawab pertanyaan dari ayahnya, Jaka langsung berdiri tegap. “Siap pak!”, katanya tegas sambil hormat. “Siap pak! Jaka siap menyuntik mama...!”, lanjutnya lagi.
“Ih, papa kenapa? kok senyum-senyum sendiri?”, kata Jaka tiba-tiba. Kemudian ia mulai meletakkan cangkir yang berisi teh hangat di tangannya dengan hati-hati.
 “Eh.. Jaka,”, balas pak Taka kikuk setelah lamunannya dibuyarkan oleh anaknya.
Sambil bergabung duduk di atas lantai, dengan polosnya Jaka memberikan kesimpulan atas tingkah orang yang dihadapannya, “Pasti layang-layangnya laku banyak ya pa?”
Mendengar ucapan anaknya, pak Taka hanya tersenyum. “Amin...”, katanya sambil menyeruput wedang teh di hadapannya. “Tehnya enak sekali,”, lanjut papa memuji mencairkan suasana.
“Ah, masak si?”, kata Jaka memastikan. Lalu segera dibalas dengan anggukan papa. “Teh buatan Jaka gitu lohhh...,”, katanya lagi sambil menepuk dada.
Jaka sepertinya benar-benar menghibur Ayahnya. Begitulah, hampir setiap hari dilakukan olehnya. Di pagi hari, mamanya yang harus menyiapkan sarapan pagi. Yah, meski hanya dengan lauk  seadanya, tidak seperti dulu yang bisa makan daging. Eh, pak Taka juga pernah berjanji, jika kelak dagangannya laku besar, setiap hari bakalan makan daging loh. Tentu saja itu membuat Jaka senang. Di siang hari, mama harus menjadi buruh cuci sampai sore hari. Sehingga, pada saat papa pulang, Jaka yang selalu menemani papa dan sekedar membuatkan wedang teh.
“Eh, pa. Tunggu di sini dulu ya,”, pinta Jaka sambil berlalu meninggalkan papa. Dilihat oleh Pak Taka, Jaka melangkahkan kaki menuju kamar. Bukan kamar Jaka, bukan pula kamar papa dan mama Jaka, melainkan kamar mereka bertiga.
“Kelak ketika dewasa, papa ingin melihatmu menjadi orang yang berhasil, tidak seperti mama dan papamu,”, ucap pak Taka dalam hatinya.
Tak lama, dalam hitungan menit, sosok anak laki-laki berwajah polos dengan senyumnya yang mengembang keluar dari kamar. Dengan membawa selembar kertas, ia berjalan mendekati pak Taka.
“Kertas apa itu?”, tanya pak Taka penasaran.
“Gambar Jaka,”,jawabnya setengah malu.
“Papa bisa lihat?”
Sedikit ragu menyerahkan hasil gambarnya, Jaka lalu berkata, “Tapi...papa jangan tertawa yah?”
Sambil terkekeh melihat tingkah anaknya, Pak Taka lalu mengangguk mengiyakan.
Sekarang, pak Taka sedang memperhatikan gambar buatan Jaka. Dilihatnya gambar tiga orang yang tengah menerbangkan layang-layang dengan bertuliskan papa, Jaka, dan Mama. “Ah, ini luar biasa!”, kata pak Taka dalam hatinya. Tak sampai disitu, layang-layang di sana, digambarkan wajah papa, mama dan Jaka. “Wah, gambarnya bagus!”,Puji pak Taka kemudian.
Sambil tersenyum lega mendapat pujian, Jaka berkata, “Jaka ingin, papa, mama dan Jaka bisa terbang tinggi, seperti layang-layang.”.
“Papa yakin, besok kamu jadi orang yang sukses!”, seru pak Taka dalam hatinya. Lalu sambil menahan haru, seorang anak laki-laki kecil dihadapannya, Jaka segera dipeluknya erat.
“Pa, gambar Jaka..”, ucap Jaka yang menyadari gambarnya terhimpit badan papa dan dirinya.
Papa tertawa kecil, lalu melepaskan pelukan, dan dilihatnya gambar Jaka kembali.
“Eh, tunggu!”, sergah pak Taka dalam hatinya tiba-tiba. Dengan serius, matanya memperhatikan tiap guratan gambar Jaka. Gambar Jaka terlihat tak biasa, sepertinya ada sesuatu yang...... “Yap!”, tegas pak Taka lagi. Dengan segera, ia meraih –layang-layang-barang dagangannya yang tak jauh dari tempatnya duduk dengan Jaka. “Jaka bisa tolong ambilkan pensil?”, pinta pak Taka kemudian. Segera setelahnya, Jaka datang dengan perangkat tulisnya. Lalu dengan serius, pak Taka segera mengukir sesuatu di atas layang-layang polosnya.
“Pa, kok muka Jaka digambar di layang-layang? kan itu buat di jual?”, tanya Jaka penasaran.
“Hemmm..”, gumam pak Taka. “Terima kasih Jaka. Papa senang sekali. Sepertinya papa menemukan.... ide. Yah, ide supaya layang-layang kita laku kembali,”, kata pak Taka.
Jaka menyernyitkan dahinya tak paham, “Loh, maksudnya? bukannya tadi papa ngomong kalau layang-layang papa laku terjual?”
Pak Taka hanya membalas dengan senyuman berbeda makna. Wah, ketahuan berbohong deh, pikir pak Taka. Tapi, yang terpenting itu bisa menghibur Jaka. Untuk mengalihkan perhatian, Pak Taka lalu meminta Jaka untuk membantunya menggambarkan wajah teman-teman Jaka di atas layang-layangnya.
Selang setelah beberapa menit, layang-layang berwajah jualan pak Taka selesai.
Besoknya, dengan penuh keyakinan pak Taka berangkat menuju lapaknya kembali. Tak jauh dari sekolah pula, Jaka kemudian mengajak teman-temannya untuk melihat layang-layang yang bergambar wajah mereka. Semua teman-teman Jaka senang. Lalu dalam hitungan menit, mereka membeli layang-layang berwajah mereka sendiri. Bukan hanya harganya yang murah, tetapi sangat kreatif, kata salah seorang teman Jaka. Semenjak itu,  barang dagangan pak Taka habis terjual dan sejak itu pula, ia mendapatkan pesanan layang-layang bergambar wajah. Disitulah kembalinya kehidupan  bahagia mereka.

Oleh Tarmudi
Cerpen Anak 11 - Pak Taka dan Layang-layangnya

No comments: